Semua Bab AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA: Bab 1 - Bab 10
117 Bab
Bab 1
--Seorang calon suami itu belum tentu benar-benar akan menjadi jodohmu. Bagaimana jika Tuhan mengambilnya sebelum akad?— *** Dering ponsel terdengar berulang kali. Aku menggeliat malas. Siapa, sih jam segini pake acara nelpon segala? Malas-malasan aku bangkit dan mengambil benda pipih itu di ujung kaki. Entah bagaimana caranya ponsel ini bisa sampai di sana. mungkin karena tidurku yang nggak bisa diem.  Kugeser tombol berwarna hijau dan langsung terdengar isak tangis dari seberang sana.  “Za, sorry, gue harus kasih tau lo … kalau Rico … Rico meninggal tadi malam.” Terdengar suara Kinara di seberang sana. dia adalah saudara sepupu Rico—calon suamiku. “Apa?!” pekikku kaget.  
Baca selengkapnya
Bab 2
“Maksudnya gimana ya, Mas?” tanyaku takut-takut dengan bibir gemetar. Dia yang telah berbalik, kembali memutar badannya menghadapku.  “Apa perkataanku kurang jelas?” Dia balik bertanya dengan wajahnya yang tak berhenti masam.   “Aku … aku ….” Entah apa yang harus aku ucapkan agar dia mengasihaniku. Jangankan untuk tidur di kursi atau lantai, bahkan di kasur pun aku tidak nyaman. Rasa mual kerap melanda dan menyiksa.  “Aku apa? Mau beralibi kalau kamu sedang hamil? Hemh, jangan takut. Tentu saja aku tahu. Kamu tahu, kata apa yang cocok untuk barang bekas?” tanyanya dengan bibir terangkat sebelah.  Aku menggeleng pelan seraya menatapnya.  Tubuhnya dia condongkan mendekati
Baca selengkapnya
Bab 3
Itu, biar nanti Om Hendro aja yang jelasin sama kamu. Atau … Albany sendiri. Tante tidak berhak menjelaskan ini sama kamu.” Tante Rita mengakhiri kalimatnya dengan embusan napas panjang. Aku tak ingin lagi memaksa jika Tante Rita tak berkenan menjelaskan.  “Iya, Tante nggak apa-apa. Za mau istirahat dulu ya. Rasanya lelah sekali, mungkin efek dari kehamilan juga,” pamitku padanya. Seulas senyum kembali terukir di wajahnya, walaupun tak semanis biasanya.  “Iya, Sayang. Istirahatlah,” katanya mengiringi langkahku menuju kamar Rico.  Kamar itu ada di lantai dua. Aku pernah ditunjukan oleh almarhum calon suamiku itu, dulu. sebuah kamar yang luas dan tentu saja nyaman. Kamar ini berwarna hijau muda. Rico bilanng, dia suka warna hijau, karena warna itu menggambarkan ketenangan dan menjad
Baca selengkapnya
Bab 4
“Mas. bersikaplah sopan pada orangtua,” pintaku dengan nada tegas. Tante Rita mengelus pundakku dan menggeleng pelan, seolah ingin mengatakan tidak perlu mengkhawatirkannya. Atau mungkin Tante Rita ingin mengatakan kalau aku jangan melawan Al.  Albany tak menjawab ucapanku, dia pergi tanpa berkata-kata lagi.  “Aku tadi mendengar percakapan antara Om Hendro dan suamiku, Tante. Apakah Al memang baru datang di rumah ini?” tanyaku saan Tante Rita mengajakku duduk di sofa.  “Iya. Jadi, Tante harap kamu bisa memaklumi sikap Al yang seperti itu.” “Apa Tante tau soal Al sudah lama?” tanyaku penasaran.  Tante Rita mengembus napas berat sambil menerawang jauh.  “Tante tau saat dulu Om Hendro
Baca selengkapnya
Bab 5
Pagi itu aku membantu menyiapkan sarapan di meja. Walaupun Bi Yuyun berulang kali melarangku, tapi aku hanya ingin melakukan sesuatu di rumah ini daripada hanya sekedar berdiam diri.  “Mbak Za, duduk saja. Biar Bibi yang nyiapin semuanya,” katanya sambil menarik tubuhku agar duduk.  “Nggak, Bi. Aku mau nyiapin sarapan buat suami. Bibi tenang aja, aku nggak akan gangguin kerjaan Bibi. Aku cuman ingin nyiapin sarapan buat Mas Al. oiya, Bibi tau nggak selama di sini dia suka sarapan apa?” aku coba menelisik. Kali aja, Bi Yuyun memperhatikan kebiasaan Albany selama di sini.  “Oh, Mas Al. Bibi kurang tau juga, tapi biasanya dia  cuman minum kopi aja sebelum berangkat. Katanya dia udah kenyang walaupun cuman minum kopi. Ibu Rita sama Pak Hendro suka nyuruh Mas Al buat makan tapi Mas Al-nya yang nggak mau.”
Baca selengkapnya
Bab 6
Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun. Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran. Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku. “Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi. “Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku. “Eh, Aa udah pulang. I
Baca selengkapnya
Bab 7
“Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku. Bu Ningsih malah menggeleng. “Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu. “Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.” Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan. “Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.” Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat
Baca selengkapnya
Bab 8
“Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam. “Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin. “Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan. “Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya. “Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya. Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.” Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d
Baca selengkapnya
Bab 9
“Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya. Deg. Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi? “Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran. “Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan. “Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A
Baca selengkapnya
Bab 10
“Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah.   “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.”    “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi.   Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya.   “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas  masak tadi. **   Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi.   Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status