Biasanya ketika malam minggu tiba, orang-orang pasti akan menghabiskan waktu bersama teman atau pasangannya. Begitu juga dengan Alena sebelum pindah ke Jakarta. Malam minggu menjadi waktu wajib bagi Alena, Bara, Nitha, dan Nathan untuk berkumpul bersama. Entah akan pergi jalan-jalan melihat keramaian kota atau jika sudah malas, mereka hanya mengadakan acara makan-makan di rumah sambil bercerita segala hal. Selalu seperti dan Alena menyukainya. Alena si gadis pendiam perlahan bisa lebih mengekspresikan dirinya sejak berteman dengan mereka.Namun, berbeda dengan malam minggunya kali ini. Alih-alih pergi bersama teman-temannya, Alena harus ikut menghadiri acara Wedding Anniversary CEO perusahaan tempat papanya bekerja. Lagi pula daripada ia berada di rumah sendirian, lebih baik ia menerima ajakan papanya untuk ikut datang ke acara tersebut. Ya, barangkali ia bisa menemukan calon mama baru untuknya. Oke, yang terakhir ini ia tidak yakin.Setelah mandi dan bersiap, Alena pun turun. Malam i
Sang surya mulai kembali ke peraduannya. Menciptakan semburat berwarna oranye kemerahan di ufuk barat, yang tepat berada di antara langit biru gelap dan bayangan gedung-gedung tinggi. Pemandangan itu semakin terlihat cantik begitu tertangkap kamera seorang laki-laki dari atap sebuah gedung.Laki-laki dengan kaos putih polos dan celana hitam itu menurunkan kamera dari wajahnya. Dilihatnya beberapa gambar yang berhasil dibidiknya dan ia tersenyum puas melihat hasilnya. Tidak terlalu buruk bagi seseorang yang baru menyukai dunia fotografi.Kameranya terangkat lagi. Kini, giliran kawanan burung yang baru saja melintas menjadi objek bidikan selanjutnya. Tiga kali ia memotret objek yang sama, tapi hanya ada dua foto saja yang ia akui hasilnya bagus. Sedangkan yang satu lagi, hasilnya kabur karena tangannya sempat goyang. Tidak apa, ini hasilnya lumayan.Langit semakin gelap. Empat lampu di atap gedung tempatnya berada sekarang juga mulai dinyalakan. Ia ingin di sini lebih lama lagi, tapi pa
Riga benar-benar mengantar Alena pulang.Keramaian di jalan raya berbanding terbalik dengan suasana di dalam mobil. Alena dengan masih mengenakan jas Riga hanya menatap kosong pada kaca di sebelah kirinya sementara Riga fokus menyetir sambil sesekali melirik gadis di sebelahnya. Sejak pamit dari acara tadi, Alena lebih banyak diam dan Riga tahu apa penyebabnya.“Mau es krim?” Suara Riga memecah keheningan.Alena menoleh. “Malam-malam begini?”“Kalau lo mau, ayo. Cuaca juga nggak terlalu dingin buat makan es krim.”Langit cukup cerah. Meski tanpa taburan bintang, tapi bulan bersinar sangat hangat malam itu. Angin pun juga berembus sedang seperti hari-hari biasanya. “Es krim cokelat dan sosis bakar?” Alena menaikkan alisnya.“Oke, kita berangkat.”Riga batal mengambil arah kiri dan membelokkan mobilnya ke arah kanan. Melewati pom bensin, restoran mewah, dan daerah pertokoan, mereka tiba di sebuah toko es krim. We and Ice Cream, namanya. Tempatnya tidak besar, tapi cukup memuat tiga mej
Malam sudah sangat larut. Sebagian besar bangunan pun lampunya sudah mati. Hanya menyisakan nyala lampu di beberapa tidak saja termasuk lampu jalan yang memang dibiarkan menyala. Angin berembus sedikit kencang, membuat siapa saja yang akan langsung mengigil kedinginan jika merasakannya. Angin juga membuat rambut pendek seorang laki-laki berjaket hitam berantakan. Namun, seolah tidak peduli, laki-laki itu masih tetap berdiri bersandar di pagar pembatas atap sebuah gedung apartemen.Riga, dengan mata terpejam justru berdiam di sana sambil merasakan embusan angin yang mencoba menerobos jaketnya. Dingin, tapi cukup meringankan beban pikiran di benaknya. Ingatannya terlempar ke belakang tiba-tiba. Mengingat kapan terakhir kali ia datang dan menghabiskan waktu di atap gedung ini? Satu minggu lalu? Dua minggu? Oh, atau mungkin sekitar tiga bulan lalu?Ya, tiga bulan lalu di pertengahan bulan. Hari itu langit malam sedang bagus, tapi tidak dengan suasana hatinya. Karena itu, ia memutuskan dat
Suara dari tayangan televisi mendominasi seisi apartemen. Sesekali suara berisik bungkus camilan yang isinya baru diambil, suara kuah yang diseruput, serta denting sendok yang mengenai mangkuk terdengar. Si pembuat suara itu tak lain adalah empat orang laki-laki berusia sebaya yang kini sudah sibuk dengan mangkuk berisi mie ayam di hadapan masing-masing.“Kenal,” jawab Riga beberapa saat kemudian. Ia menyingkirkan plastik berisi sampah ke samping sofa, di belakangnya.“Seberapa kenal mereka? Kalau cuma kenal biasa kayaknya nggak mungkin mereka sampai boncengan kayak gitu, gue cukup kenal Gamma. Dia orangnya cuek kalau sama cewek.” Pandu angkat bicara sambil memasukkan satu sendok sambal ke dalam mangkuknya.“Nah, bener juga. Gamma cuek dan lagian bukannya dia udah punya pacar, ya? Gamma pacaran sama Nada, kan? Oh, atau jangan-jangan Gamma ....” Belum sempat Sakti menyelesaikan kalimatnya, Dana sudah menoyor kepalanya. Membuat laki-laki itu menggerutu kesal.“Jangan berburuk sangka sam
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan tepat ketika Alena membuka pintu kamarnya. Alena menutup pintu, meletakkan tas selempangnya di lantai begitu saja, ia langsung mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Matanya terpejam, menghalau cahaya putih dari lampu yang berada di tengah langit-langit kamarnya. Ia lelah, tapi juga merasa lega.Di pantai tadi, Alena dan Riga menghabiskan waktu cukup lama. Bermain pasir pantai sambil sesekali menjahili satu sama lain, dan tertawa lepas tanpa beban. Sebelum pulang, mereka mampir ke salah satu tempat makan tak jauh dari pantai, makan malam. Baru setelah itu, Riga mengantar Alena pulang.Sampai rumah, Alena langsung disambut oleh Budi. Pria paruh baya itu langsung meloncat bangkit begitu Alena dan Riga datang. Tanpa perlu bertanya pun sudah bisa dipastikan kalau Budi pasti menunggu Alena di teras sejak tadi. Budi langsung memberondong Alena dengan berbagai omelan—lebih ke nasihat kalau menurut Riga—, tapi kemudian pria itu memeluk Alena erat. Terlih
Alena tidak berhenti merutuki dirinya sendiri sejak bangun tadi. Lagi-lagi ia terlambat bangun padahal hari ini adalah hari pertama ujian. Ketika ia turun, rumahnya sudah kosong. Papanya berangkat lebih dulu karena harus meninjau ke lapangan. Meski begitu, papa sudah menyiapkan bekal berisi roti dengan selai stroberi untuk Alena sarapan. Setelah memasukkan bekal ke dalam tas, Alena segera berangkat.Namun, alangkah terkejutnya ia saat membuka pintu pagar. Riga—dengan motornya yang sepertinya baru dicuci—sudah menunggu di depan rumahnya. Alih-alih bertanya ‘sejak kapan laki-laki itu ada di sini?’ justru yang keluar dari mulut Alena adalah “Lo ngapain di sini?”“Jemput lo, ngapain lagi? Buruan naik,” perintah Riga seraya menoleh pada jok belakangnya yang kosong. “Malah diam, lo mau kita berdua telat terus nggak dibolehin masuk ruang ujian? Naik cepetan.”Alena mengerjap dan mengangguk. Ia buru-buru mengunci pintu pagar, kemudian naik ke boncengan. Setelah memastikan Alena naik, Riga mel
Ini adalah kombinasi paling gila menurut Alena selama ia bersekolah di SMA Angkasa. Bagaimana tidak, bayangkan saja hari pertama ujian sudah langsung dihadapkan dengan Matematika dan mata ujian selanjutnya adalah Kimia. Benar-benar ia tidak habis pikir dengan guru yang menyusun jadwal ujiannya. Ia yakin hampir semua murid jurusan IPA akan mengeluhkan hal yang sama.Namun, dibandingkan dua mata pelajaran yang membuat kepalanya hampir meledak, ia punya hal lain yang lebih penting. Karenanya, setelah bel istirahat berbunyi dan guru pengawas keluar, Alena juga beranjak dari kursinya.“Lo mau ke mana?” Gerakan Alena yang tiba-tiba mengejutkan Via yang duduk tepat di belakangnya. “Mau ke kantin, ya? Kalau gitu ayo bareng.”Alena menolaknya secara halus. Alena mengatakan bahwa ia sedang ada urusan, tapi akan segera menyusul jika urusannya sudah selesai. Via paham dan tidak bertanya lagi. Gadis itu membiarkan sahabatnya keluar kelas lebih dulu—dengan terburu-buru. Mungkin sedang ada urusan pe