Embusan angin yang sedikit kencang langsung dapat Riga rasakan begitu ia menggeser pintu kaca penghubung balkon malam itu. Ketika ia datang, tiga kursi di sana sudah diisi tiga anak laki-laki yang kini sibuk dengan ponselnya masing-masing. Di meja di hadapan mereka, terdapat beberapa camilan, stoples kue kering, dan beberapa botol minuman. Jangan salah paham dulu, minuman itu tidak lain adalah kola dan minuman dingin dengan rasa jeruk.Riga menutup kembali pintu kaca tersebut, lalu menghampiri ketiga temannya yang sudah lebih dulu datang. “Sorry, telat,” ucapnya seraya menarik kursi di sebelah Pandu yang sedang meminum kolanya.“Santai aja, mereka juga baru datang,” Dana menyahut sambil melirik sekilas pada tamunya yang baru datang. “Tunggu bentar lagi, ya, Ri? Ini dikit lagi selesai kok. Lo nyantai aja dulu atau makan-makan camilan gitu.”“Riga mana mau lo suruh nyantai? Paling juga dia malah buk—Tuh, kan baru aja gue mau bilang, dia udah ambil buku duluan,” sahut Sakti. Yang dibicar
Jam masih menunjukkan pukul 05.45 ketika motor Riga berhenti di pekarangan sebuah rumah. Rumah dua lantai bercat putih itu memiliki halaman yang cukup luas. Riga melangkah menuju pintu rumah yang terbuka sedikit. Diketuknya pintu itu dan tak lama seorang wanita paruh baya keluar. Sejenak mata wanita itu melebar begitu mengetahui siapa tamunya, tapi kemudian wanita itu menghampiri Riga dengan tangan yang terbuka lebar.“Ya ampun, ganteng sekali keponakan Tante ini. Apa kabar kamu, Riga? Ayahmu juga bagaimana kabarnya? Kamu kenapa lama nggak main ke rumah? Nggak kangen apa rebutan PS sama Gamma terus main sampai malam?” Farah, ibu Gamma menyambutnya dengan senyum ceria. Wanita itu meskipun sudah berusia seperti ayahnya, tapi punya semangat tinggi dan murah senyum. Itu kenapa tantenya masih terlihat awet muda.“Kabar kami baik, Tan. Maafin Riga baru bisa ke sini sekarang, lagi banyak hal yang harus dikerjakan soalnya. Tante sendiri apa kabar? Butik lancar, Tan?”“Tante baik, dan ya butik
Alena pikir melepas hatinya akan semakin sakit jika melepas Gamma. Nyatanya setelah pembicaraan kemarin, perasaannya sedikit lebih lega. Tidak, bukan karena ia takut kehilangan Gamma, melainkan karena sebenarnya yang ia lakukan selama ini adalah hidup dalam obsesinya terhadap laki-laki itu. Karena obsesinya itu, ia jadi berusaha melakukan segala cara asal Gamma kembali padanya.Sekarang, Alena bersyukur karena berkat Riga, ia bisa melepaskan apa yang sudah seharusnya ia lepaskan sedari dulu. Sebelum pulang kemarin, Gamma sempat berkata kalau ia menyambut baik keinginan Alena. Gamma juga mengatakan kalau ia akan membantu membujuk Nada supaya gadis itu mau bertemu Alena, supaya permasalahan di antara mereka segera selesai.“Udah dengar sendiri, kan? Sekarang jangan sedih lagi, ya. Berdoa aja semoga Gamma berhasil bujuk Nada,” ucap Riga ketika mengantar Alena pulang kemarin malam. Mereka baru sampai di depan rumah Alena.Ucapan Riga terdengar menenangkan di telinga Alena. Namun, meski be
Dibandingkan mie ayam, sebenarnya Alena lebih menyukai makanan-makanan manis seperti kue. Aroma wangi kue yang baru keluar dari oven selalu bisa membangkitkan selera makannya. Namun, entah sejak kapan ia juga suka makan mie ayam. Mungkin sejak SMP ketika ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Gamma dan Riga. Dua laki-laki itu memang penyuka mie ayam, sampai-sampai Alena sendiri hafal kalau setiap mereka bertiga pergi bersama, mie ayam selalu menjadi makanan wajib.Dan sekarang, mereka—minus Gamma—sudah sampai di kedai mie ayam langganan mereka. Kedai itu terletak di pinggir jalan tak jauh dari persimpangan jalan dekat sekolah mereka. Tempatnya tidak luas, tapi cukup memuat sepuluh meja berukuran sedang dengan masing-masing enam kursi. Biasanya ketika jam makan siang, kedai itu selalu ramai pembeli. Selain karena porsinya mengenyangkan, harganya pun terjangkau.Saat akan masuk, langkah mereka dihentikan oleh panggilan seseorang. Mereka berbalik dan menemukan sosok seorang pria paru
Riga baru saja keluar dari ruang guru ketika netranya tanpa sengaja bertemu dengan netra seorang gadis yang rambutnya dikuncir ekor kuda. Gadis itu tersenyum pada Riga ramah. Riga membalas senyuman itu, lalu menghampiri gadis itu.“Halo, Nay. Habis dari parkiran? Ngapain?” tanya Riga saat sudah berdiri di hadapan gadis itu.Ya, gadis itu adalah Kanaya. Gadis manis yang beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan perasaannya padanya. Oh, sejak hari itu, Riga jadi jarang sekali bertemu Kanaya. Hanya sempat beberapa kali berpapasan dan menyapa singkat saja. Baru kali ini mereka bertemu lagi.“Halo, Ri. Nggak, ini tadi cuma mau ambil ikat rambut aja yang ketinggalan di jok. Gerah banget soalnya. Lo sendiri habis ngapain dari ruang guru?” tanya Kanaya balik seraya menatap wajah Riga. Hanya sebentar dan ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Astaga, ternyata jantungnya masih berdegup kencang hanya karena melihat netra laki-laki itu.Sebenarnya tadi Kanaya tidak berharap bertemu Rig
Aneh.Seingat Alena, dirinya bukan tipe orang yang suka penasaran berlebihan terhadap sesuatu. Jika dirasa itu bukan hal penting untuk diketahuinya, ia akan langsung berhenti dan membuang jauh-jauh rasa penasaran tersebut. Sayangnya, tidak dengan kali ini. Tiba-tiba saja Alena merasa penasaran akan sesuatu yang mungkin tidak seharusnya ia tahu.Selama perjalanan pulang ke rumah, Alena tidak berhenti merutuki mulutnya yang entah kenapa lepas kontrol. Apalagi setelah mengetahui bagaimana respons Riga dan diamnya laki-laki itu selama di jalan, Alena menyesal karena tidak seharusnya pertanyaan itu tidak ia ajukan. Bahkan ketika motor Riga sudah berhenti di depan rumah Alena, laki-laki itu masih tetap diam.“Ri, tentang pertanyaan gue yang tadi nggak usah dijawab, ya. Lo lupain aja. Anggap gue nggak pernah nanya itu. Maaf kalau udah bikin lo merasa nggak nyaman. Gue masuk dulu, ya. Makasih. Lo hati-hati pulangnya.” Alena segera turun dari motor Riga, lalu membuka pagar rumahnya yang terkun
Gelap belum sepenuhnya hilang, masih terlihat samar di langit. Pun semburat samar berwarna oranye muncul malu-malu di ufuk timur diiringi suara kokok ayam yang terdengar bersahutan dengan derum kendaraan serta keramaian pagi. Seolah sudah menjadi musik latar untuk mengawali pagi yang sibuk di kota tersibuk, bahkan di akhir pekan sekaligus.Seorang gadis dengan rambut dicepol dan masih mengenakan pakaian tidur bergambar penguin terlihat sibuk di teras rumahnya. Lupa kapan ia bangun, sampai akhirnya karena tidak sabar menunggu pukul sepuluh, ia melakukan banyak aktivitas. Ia baru saja selesai menyapu dan mengepel, serta membersihkan helai daun yang terbawa angin hingga masuk pekarangan rumahnya, sekarang ia sudah siap dengan selang berwarna hijau di tangannya. Hanya dengan memutar keran ke kanan, air pun mengalir keluar dan segera ia arahkan pada taman mini berisi beberapa pot tanaman serta rumput hijau serupa karpet mini di depan rumah. Memastikan semua tanaman di sana mendapat asupan
Sekolah masih sepi. Hanya terlihat segelintir murid yang memang terbiasa datang pagi muncul di koridor, kantin, atau lapangan, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Hari ini adalah hari terakhir ujian. Tentunya setelah ini kegiatan belajar di Angkasa akan sedikit lega.Kaki Alena melangkah ringan menuju gedung B, begitu juga dengan perasaannya yang terasa lebih baik sejak pulang dari makam kemarin. Oh, hari ini ia memang tidak berangkat bareng Riga. Sengaja ingin quality time dengan papanya mumpung mobil papanya sudah sembuh. Tadi pagi-pagi sekali, orang bengkel yang menangani mobil papanya mengantar mobil itu ke rumah. Jadilah akhirnya mereka berangkat bersama.Sebelum ke gedung B, Alena mampir sebentar ke kantin untuk membeli makanan ringan—roti isi, wafer cokelat, dan susu kotak—untuk menemaninya mempelajari ulang materi ujian hari ini. Sembari menenteng kantung plastik kecil berisi makanan yang tadi dibelinya, Alena berjalan menuju gedungnya. Menaiki tangga dengan cepat menuju