Dibandingkan sekolah, suasana kantin SMP Nusa Buana lebih serupa pasar. Suara murid memesan makanan begitu tumpang tindih, tak sedikit pula yang protes saat pesanan tak kunjung datang, ributnya mereka mencari meja kosong untuk duduk, atau protes kesal seseorang karena antreannya diserobot orang lain ketika ditinggal ke toilet. Bahkan suara-suara itu terdengar seperti suara nyamuk terbang. Berisik!Namun, manusia-manusia kelaparan itu mana mau menurunkan nada suaranya demi ketenteraman orang lain. Ego mereka terlalu tinggi untuk melakukan hal sopan itu. Bagi mereka mungkin tak masalah kalau pita suara rusak, asalkan makanan pesanan mereka cepat datang. Perut kenyang, lebih penting.Alasan itulah yang membuat Bara tidak suka berada di sana—malas mendengar suara berisik. Bagi laki-laki penyuka ayam goreng itu, ruang olahraga lebih baik daripada tempat ini.Ah, andai perutnya tidak berteriak memalukan saat Pak Wisnu memberitahu jadwal latihan untuk lomba lari tingkat SMP di lapangan tadi
Sejak Alena resmi menjadi tetangganya dan murid baru di SMP Nusa Buana, Bara dengan suka rela menjadi teman pertama untuknya. Bara juga mengenalkan Alena kepada Nathan dan Nitha, dan tak butuh waktu lama untuk mereka bisa akrab. Alena adalah teman yang menyenangkan, begitu kata tiga sahabat itu. Bahkan mereka sering pergi bersama, berempat.Sayangnya, keakraban mereka berempat membuat banyak murid iri karena ada murid baru yang bisa langsung akrab dengan Bara dan Si Kembar. Beberapa kali Alena—jika tidak sedang bersama tiga sahabat—mendapat teguran hingga ancaman dari para penggemar Bara. Alena sempat menjauhi tiga sahabat itu, tapi ternyata Bara mengetahui masalah tersebut dan jadi lebih protektif dengan Alena.Bara berusaha menjaga Alena sebaik mungkin sesuai permintaan ayah Alena. Tak hanya di rumah, tapi juga di sekolah. Bara menjadi teman yang baik dan selalu bisa Alena andalkan.“Kamu keren, Bar. Makasih sudah mau jadi temanku,” ucap Alena setelah Bara menolongnya dari Rika CS y
“Bulan depan aku pindah ke Jakarta lagi,” ucap Alena di suatu malam. Hal itu membuatnya menjadi pusat perhatian tiga orang lainnya.Mereka sedang berada di halaman rumah Si Kembar. Rutinitas mereka di akhir pekan sejak lulus SMP. Nathan melanjutkan di SMK, sedangkan Bara, Alena, dan Nitha melanjutkan sekolah di SMA. Namun, hanya Bara dan Alena saja yang satu sekolah, sedangkan Nitha berbeda sekolah dengan mereka. Karena kesibukan mereka lebih banyak, jadi mereka sepakat untuk tidak sering kumpul. Karena itu, mereka memilih akhir pekan sebagai hari wajib mereka.“Kamu serius, Len? Bulan depan? Kok mendadak banget?” Pertanyaan Nitha didukung anggukan oleh kedua laki-laki itu.“Iya, Len. Kenapa mendadak? Nanggung banget loh kalau pindah bulan depan. Kenapa nggak nunggu sampai lulus aja?” Suara Bara terdengar.Alena tampaknya ragu menjawab. Terbukti dengan diamnya gadis itu selama beberapa saat. “Sebenarnya enggak mendadak, sih.” Alena menatap ketiga sahabatnya. “Ini bahkan lebih dari wak
Belum ada tiga jam Bara tiba di kota ini, tapi sepupunya sudah dua kali menguji kesabarannya. Pertama, Farel telat menjemputnya di bandara karena ban mobilnya kempes—ia bisa maklum. Kedua, saat di warung bakso, Farel mengabaikannya dan memandangi seorang gadis yang tidak dikenalnya. Bahkan Bara terpaksa kembali menunda waktu istirahatnya gara-gara sepupunya itu agaknya belum ingin pergi sebelum gadis itu pergi. Seolah dunianya hanya berpusat pada gadis berambut hitam itu.Ah, jatuh cinta memang kadang merepotkan. Meski begitu Bara akui kalau selera Farel bagus. Gadis itu memang cantik.“Percuma dilihatin doang, tapi nggak dideketin. Keburu diambil orang nanti,” celetuk Bara saat menyadari ke mana fokus utama sepupunya. Bakso di mangkuknya sudah habis tak tersisa. “Tapi maaf banget, aku nggak bermaksud menjatuhkan khayalanmu. Cuma kayaknya, cewek secantik dia pasti punya pacar, atau nggak minimal teman dekat cowok gitu.”“Sok tahu!” Begitu respons pertama Farel. Ia mendorong mangkuk ko
Sejak mendengar kabar bahwa Bara akan ke Jakarta, Alena tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ia sangat antusias sekali ingin bertemu teman lamanya itu. Berbagai pertanyaan muncul di benak Alena, termasuk perihal kabar Bara. Bagaimana ya rupa Bara sekarang setelah setahun lebih tidak bertemu? Apa masih seperti Bara yang dulu atau sudah berubah lebih dewasa?Bara bilang dia akan tiba di Jakarta hari Kamis siang, karena Jumatnya ia harus menghadiri acara keluarga. Bara juga bilang akan mengabarinya jika sudah sampai. Namun, karena saking tidak sabarnya menunggu kabar dari Bara, Alena pun mengirimkan pesan kepada laki-laki itu. Isinya hanya sebaris ucapan selamat datang.“Alena, nggak pulang? Lagi nunggu Riga, ya?” tanya Nada pada Alena yang masih duduk di bangkunya sambil memainkan ponsel. Gadis itu langsung mendongak begitu mendengar pertanyaan sahabatnya. Nada dan Manda memandangnya menunggu jawaban.Alena mengiakan. Tadi saat jam istirahat pertama, Riga mengajaknya pulang bersama
Setelah kemarin terlambat bangun dan membuat keluarganya menunggu, pagi ini Bara bangun lebih awal. Jauh lebih awal daripada si pemilik kamar yang baru saja bangun ketika Bara selesai mandi dan berganti pakaian.“Kok lo pagi buta gini udah rapi aja? Orang tua lo kan berangkatnya masih nanti jam delapan. Lo mau pergi, ya?” tanya Farel dengan suara serak yang khas dan mata menyipit. Agaknya masih berusaha mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur. Padahal jika dilihat lagi, sekarang sudah tidak bisa disebut pagi buta. Jam dinding di atas meja belajar sudah menunjukkan pukul enam lewat lima menit.Hari ini, Bara akan mengantar orang tuanya ke bandara untuk kembali ke Balikpapan. Harusnya Bara ikut mereka, tapi karena kemarin ia datang menyusul dan masih ingin berkeliling Jakarta, jadi ia diizinkan menginap satu malam lagi. Minggu pagi, baru ia pulang.“Kamu nggak lupa kan kalau pagi ini nenek mengajak kita sarapan bareng?” balas Bara seraya meraih sisir di meja. Ia berjalan menuju cermin d
Menjadi tour guide untuk Alena adalah pekerjaan baru Bara di hari pertama gadis itu masuk sekolah. Berbekal selembar denah yang Bara dapatkan dari anak OSIS, ia mengajak Alena berkeliling sekolah. Menunjukkan letak laboratorium, perpustakaan, ruang ekstrakurikuler, aula, dan bagian-bagian sekolah yang lain untuk mempermudah Alena menghafal sekolah barunya.Bara bahkan masih ingat jelas bagaimana ekspresi senang Alena menerima tawarannya untuk menjadi pemandu. Manik mata Alena berbinar cerah, senyumnya mengembang sempurna. Dan itu pertama kalinya bagi Bara mengakui kalau Alena benar-benar cantik.Bahkan sekarang pun Alena masih tetap cantik, batinnya bersuara.“Karena dulu, kamu sudah berbaik hati menjadi tour guide untukku. Jadi, khusus hari ini, aku akan jadi pemandu untuk kamu.” Begitu yang diucapkan Alena ketika mereka keluar dari warung bakso.Niat awal Bara hanya pergi berdua dengan Alena. Namun, sepertinya semesta tidak mendukung niatnya. Farel ikut, begitu juga dengan Auriga. P
Masa perpanjangan waktu liburan Bara sudah berakhir. Itu artinya mau tak mau Bara harus tetap kembali ke Balikpapan dan menjalani kesehariannya sebagai murid kelas dua belas. Dan itu juga artinya Bara harus berpisah dengan Alena untuk kedua kalinya.Ngomong-ngomong soal Alena, Bara sudah memberitahu gadis itu perihal kepulangannya besok. Alena mengatakan akan ikut mengantar Bara ke bandara bersama Auriga. Kadang, Bara masih tidak menyangka kalau gadis yang disukainya sudah memiliki kekasih. Namun, ia masih bersyukur setidaknya Auriga masih mengizinkannya berteman dengan Alena setelah tahu bagaimana hubungan mereka dulu.Lagi pula, begitulah hidup. Selalu ada hal-hal tak terduga yang muncul sebagai pewarna dalam monotonnya hidup.“Barang-barangnya dicek lagi, Bara. Jangan sampai ada yang ketinggalan,” peringat Tari saat berkunjung ke kamar Farel dan menemukan keponakannya sedang berkemas. Di depan Bara, ada sebuah koper yang terbuka dan hampir penuh diisi barang-barang.“Iya, Tante. Am