Satu kata yang diucapkan Manda seolah seperti anak panah yang menusuk jantung. Kakinya seketika lemas. Detik berikutnya, tubuh Alena limbung dan hampir menimpa Pandu kalau saja Manda tidak refleks menahan tubuhnya. Manda pun membawa Alena duduk di sofa yang tadi ditempatinya.“Minum dulu, Len.” Nada mengulurkan segelas air putih kepada Alena. Ia juga membantu memegangi gelas tersebut saat Alena minum.Alena hanya minum sedikit lalu menjauhkan gelas tersebut. Nada segera mengambil alih gelas dan meletakkannya di atas meja.“Lo tenang dulu, Len. Coba atur napas dulu.”Alena menurut. Namun, alih-alih merasa lega, rasa sesak justru semakin menyerang dada. Napasnya memburu seperti habis berlari. Kedua tangan yang saling bertaut bergerak gelisah di atas pangkuannya sementara netranya tidak sedikit pun lepas dari layar televisi di hadapannya yang kini menampilkan daerah pantai. Beberapa orang berseragam dan tidak berseragam tampak berkumpul di daerah yang diduga sebagai lokasi pesawat hilang
Alena sangat menyayangi Aluna. Apa pun keadaannya, ia tidak pernah menghilang dari sekitar Aluna. Sebisa mungkin mereka selalu bersama, termasuk ketika kakaknya tiba-tiba pingsan di sekolah dengan hidung terus mengeluarkan darah, dan kemudian dilarikan ke rumah sakit karena kakaknya tidak kunjung sadarkan diri. Aluna yang mendengar kabar tersebut langsung memaksa menyusul ke rumah sakit padahal jam pelajaran masih berlangsung.Tak peduli jika ulahnya tersebut akan berakibat ia ketinggalan banyak materi pelajaran, yang Alena pedulikan hanya kondisi kakaknya. Kecemasan tergambar jelas di raut wajahnya. Kakaknya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dibanding Alena, kekebalan imun Aluna paling bagus. Aluna juga pandai mengatur waktu serta memiliki kontrol tubuh yang baik, sehingga jarang sakit. Jadi, tidak heran jika kejadian ini membuat Alena dan orang tuanya cemas setengah mati.“Sebenarnya, Kak Luna sakit apa?”Pertanyaan itulah yang sering muncul di kepala Alena. Namun, meski berulang
Sebagai orang yang sama-sama pernah kehilangan, Riga bisa ikut merasakan apa yang kini Alena rasakan. Gadis itu meski hanya duduk di ruang tunggu bandara dengan ekspresi datar, tapi ketakutan dan kecemasan dalam dirinya terlihat sangat jelas. Hal itu dibuktikan dengan Alena yang terus-menerus meremas tangannya sambil sesekali menoleh ke arah kerumunan keluarga korban lainnya dan para petugas. Tidak sedikit dari orang-orang di sana menangis histeris, menuntut para petugas melakukan apa pun supaya anggota keluarga mereka bisa segera ditemukan dalam kondisi selamat.Sudah sekitar dua jam, Riga dan Alena berada di bandara. Farel sedang mengantar mamanya pulang agar bisa beristirahat karena tubuhnya kurang fit dan menunggu kabar di rumah. Farel akan kembali lagi setelah mengantar mamanya. Sementara itu, Alena masih belum ingin pulang. Setidaknya untuk saat ini sebelum ia mendengar kabar terbaru dari para tim penyelamat yang bertugas. Alena hanya ingin memastikan langsung bagaimana kondisi
Hilangnya pesawat milik salah satu maskapai terkenal Indonesia di perairan utara Jakarta masih menjadi topik hangat di seluruh negeri. Pemberitaan di mana-mana. Mulai dari televisi, koran, radio, serta situs-situs berita digital dipenuhi kabar terbaru proses pencarian pesawat. Bahkan berita ini juga beberapa kali masuk pemberitaan media asing milik negara tetangga.Ini sudah lewat dua puluh empat jam sejak pesawat dikabarkan hilang kontak dan proses pencarian masih terus berlangsung. Beberapa buah kapal dan kapal selam milik TNI AL pun dikerahkan untuk membantu pencarian. Kabar terbaru mengatakan tim pencari sudah berhasil menemukan puing yang diduga merupakan bagian dari sayap dan ekor pesawat, jaket pelampung, dan potongan kain yang bisa dipastikan berasal dari pakaian korban.Sejak saat itu pula, Alena selalu memantau perkembangan proses pencarian melalui tayangan berita di televisi atau di internet, dan sebisa mungkin ia tidak melewatkan satu informasi pun. Farel juga mengabari ia
“Aku?” tanya Alena memastikan telinganya tidak salah dengar. Seluruh atensinya saat ini hanya tertuju pada gadis yang duduk di atas kasur sambil menatap layar laptop. “Kenapa aku? Memangnya Bara cerita soal apa tentang aku?”“Karena Bara suka sama kamu, Alena,” jawab Nitha seraya menegakkan tubuh, menatap lawan bicaranya yang berada di meja belajar. Lalu mengalihkan pandang e arah jendela. Sinar bulan menyembur di celah tirai putih. “Dan dia cerita banyak hal tentang kamu.”“Aku ingat banget dulu Bara pernah bilang nggak mau berurusan sama cinta-cintaan sebelum dia lulus sekolah. Waktu itu dia cuma fokus sama sekolah dan berusaha jadi atlet lari terbaik. Makanya nggak heran kalau nilai akademis dan prestasi larinya, seimbang. Karena memang dia se-ambis itu orangnya. Tapi sejak kamu jadi murid baru di sekolah kami, Bara melanggar ucapannya.“Aku dan Nathan sering banget mergoki Bara lagi ngelihatin kamu diam-diam, termasuk saat kita berempat lagi bareng, dia nggak jarang ngelihatin kam
Jam dinding baru menunjukkan pukul lima lewat empat puluh menit ketika suara deru mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah Budi. Si pemilik rumah yang sedang memanaskan mobil di depan garasi pun meninggalkan kegiatannya lalu bergegas mengecek siapa yang datang pagi-pagi begini. Saat pagar dibuka, sudah ada dua laki-laki dengan pakaian berbeda berdiri di depan sana. Farel dengan seragam sekolah tanpa dasi dan Nathan dengan hanya mengenakan kaus panjang garis-garis berwarna putih-biru tua dan celana panjang hitam.“Selamat pagi, Om,” sapa Farel dan Nathan bersamaan. Lalu mereka bergantian menyalami tangan Budi.“Oh, kalian ternyata. Ya, pagi. Kalian mau ketemu Alena sama Nitha, ya?” tanya pria paruh baya yang masih memakai pakaian santai itu.“Iya, Om. Sekalian saya juga mau jemput Nitha. Semalam, udah bilang ke Alena dan Nitha kalau pagi ini, kami mau jemput,” jawab Nathan sopan.Budi mengangguk paham. “Oh, ya udah kalau begitu kalian masuk aja dulu. Ayo, nunggunya di dalam aja,” ajakny
“Pagi-pagi udah nongkrong di sini aja. Mau pada ngapain? Godain adik kelas?” Pertanyaan itu berhasil membuat tiga orang laki-laki yang sedang duduk di bangku depan kantin, menoleh ke sumber suara. Salah satu di antara mereka mendengus pelan saat tahu siapa pemilik suara itu. “Iya, si Pandu mau cari gebetan baru, katanya. Kenapa? Lo mau dicariin juga? Gampang. Sini bilang aja lo mau kriteria yang kayak gimana, nanti gue cariin sekalian,” sahut Sakti, yang langsung dihadiahi pukulan ringan oleh Riga. Laki-laki itu meringis pura-pura kesakitan, tapi ekspresi wajahnya justru membuat dua orang lainnya tertawa. “Lo salah, sih. Kucing tidur malah lo bangunin, langsung dicakar kan, lo,” balas Pandu. “Tapi tumben lo sendirian, Ri? Nggak bareng sama Alena?” tanya Dana seraya mendorong kursi plastik ke arah Riga. Syukur, setidaknya masih ada Dana yang masih lebih waras dibandingkan dua temannya yang lain. “Tahu nih, biasanya juga berangkat bareng sama Mbak Pacar, udah kayak couple of the yea
Bunyi bel panjang di siang yang mendung menjadi penanda berakhirnya kegiatan belajar-mengajar di SMA Angkasa hari ini. Guru pengajar di kelas segera mengakhiri pelajaran, begitu juga dengan Pak Ganjar yang sedang berada di kelas 12 IPA 4. Guru Fisika itu baru keluar setelah meninggalkan tugas. Satu kelas menyahut kompak, sebelum misuh-misuh mengingat tugas harus dikumpulkan pada pertemuan.Bayangkan saja, empat puluh soal latihan Fisika harus selesai dalam dua hari. Sementara itu, masih ada tugas Kimia dan Matematika dengan tenggat waktu yang sama pula.Oke, ingatkan Alena untuk tetap waras dan tidak mabuk rumus setelah mengerjakan semua tugas itu. Gadis itu menghela napas, kemudian memilih membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.“Mau ngerjain bareng nggak, Len?” tanya Manda, suaranya setengah lesu. Kentara sekali sama frustrasinya dengan Alena. Harus Manda akui, ia sedikit menyesalkan sikap impulsifnya dulu yang nekat masuk IPA hanya karena nilai Biologinya bagus pad