"Dasar Bapak Tua pembohong!" ujar Tommy yang langsung keluar dari jeep-nya. Ya, Tommy ini tidak mempercayai ucapan Hasyim begitu saja. Dia tidak seperti Joe. Sebetulnya sudah lama jeep itu diparkir di seberang rumah Hasyim beberapa menit setelah diketahui olehnya. Bahkan Tommy pun sangat yakin kalau di dalam rumah itu bukan hanya Hasyim saja. Matanya melihat sandal lebih dari satu, juga ada sepatu anak kecil tergeletak di sana. "Gua bilang jangan percaya saja padanya! Gua dari tadi melihat segala kebohongan padanya!" sambungnya kemudian. Tangan kekar Joe gapah sekali mengambil Zidan dari tangan Hasyim. Hasyim berontak sembari tetap memegang erat Zidan yang duduk di depan kursi buatannya di depannya. Akan tetapi Joe tidak kalah begitu saja, kakinya menendang sepeda Hasyim hingga mereka berdua terjatuh dan tersungkur. Seketika Zidan pun nangis serta terlepas dari pangkuan Hasyim. Mansyur hendak menolong, tetapi Tommy sudah menarik tangannya kencang sekali hingga mengenai perut gendut Jo
Adam tidak berkata apa-apa, dia sungkan tapi mau. Tidak munafik sosok Zeira di matanya sekarang seperti sajian yang menggiurkan. Itu terjadi karena satu rumah. "Teh, kita pikir-pikir dulu saja! Teteh nggak jijik apa digauli oleh tua bangka itu?" Neni masih mencoba menyadarkan Zeira. "Hush, Neni! Kamu tak harus berbicara seperti itu kalau tidak setuju! Kamu 'kan dari dulu memang tak pernah menyukai Tetehmu bahagia!" Adam sedang memojokan Neni. "Jangan bawa-bawa masa lalu, Pak RT. Neni tahu bagaimana perlakuan Neni dulu, tapi tidak dengan sekarang. Neni 'kan sudah bilang ketika memberikan kalung punya ibunya Teh Zeira. Jangan kesalahan masa lalu orang terus saja diungkit!" Neni mencoba mengingatkan kembali. Pada dasarnya menusia memang mengingat kesalahan orang menahun lamanya, kendati kebaikan lebih banyak. Zeira membisu dengan mata mengarah ke kedua mata Adam hingga ada satu menit. Baru saja Zeira hendak berbicara, suara handphone Adam berbunyi. Dia pun langsung melirik ke arah benda
Mendengar suara lembut dari anak kecil yang sudah lama dirindukannya. Gapah sekali dia membalikkan badannya ke belakang. Matanya terbelalak melihat sosok kecil berdiri tegak di belakangnya. Oh, hampir satu tahun mereka terpisah secara terpaksa. Namun, perasaan mereka telah menyatu. "Ibu ...Bu ...." Zidan mendekat ke arah Zeira serta cepat sekali wanita itu mendekat ke arahnya. Namun, begitu mereka saling dekat dan hampir merangkul. Tommy berbicara, "Mbak Zeira ini ternyata masih terbuai dengan kata-kata manis dari pria. Masa setega itukah meninggalkan anak sama orang lain demi sebuah perayaan romantis di Pulau Alor. Seharusnya Zidan itu ada di antara perayaan romantis itu." Teg! Jantung Zeira seketika berhenti berdegup. Dia tersadar oleh perkataan itu. Betul, semestinya Zidan menjadi prioritas. 'Huh! Kenapa baru sekarang aku mengerti ini. Ah, kenapa mereka tidak mementingkan Zidan? Pantas saja Bang Zulkarnain langsung meninggalkanku tanpa pertimbangan. Artinya, dia sama sekali tidak
Senyuman tipis itu sekarang berganti menjadi mendatarkan wajahnya. Kemudian ditariknya napas agak panjang. Lalu berbicara jelas sekali, "Sekarang ada Zidan, aku tak perlu siapa-siapa lagi. Artinya, kita tidak akan menikah, Pak! Maaf....""Neng Zeira plin plan!" sergah kecewa Adam dengan memasang wajah ditekuk. Hmm, ingin mencicipi tubuh Zeira dan sudah menggebu, sekarang hanya sekedar mimpi belaka. "Keputusan yang baik sekali, Neng Zeira. Alhamdulillah Neng sudah tersadar?" Narmi sangat bahagia mendengar itu. Betul, Zeira merasa kalau dirinya sudah tak berharga lagi. Tapi, begitu Zidan ditemukan dan ada di dalam pelukannya sekarang. Dia merasa bahwa dirinya dibutuhkan dan berharga untuk putranya. Ya, Zidan adalah penyemangat hidupnya. "Ada Zidan sudah sangat cukup buat Saya, Pak RT! Setidaknya, ada orang yang ikhlas bersama Saya tanpa embel-embel tuntutan lain!" imbuh Zeira tenang. Dia menyadari kalau Adam menginginkan dirinya karena pasal ranjang belaka. Kalau dia tidak menginginkan
"Yes! Ini dia nomor Mbak Zeira!" ucap Rizal sumringah. Sementara Revina langsung termangu dibuatnya. Dia senantiasa mendengarkan apa yang dituturkan oleh calon suaminya. Penyampaian tawaran dari Rizal membuatnya bimbang. Zidan baru saja di dekapannya, masa iya harus ditinggal? Sementara dia pun butuh pekerjaan, karena uang pun telah habis begitu saja. "Bang Rizal, sebetulnya Zeira ingin sekali bekerja di sana! Tapi Zidan sama siapa? Juga Zeira tidak memiliki modal!" ujarnya tanpa ada yang ditutupi. "Zeira pikir-pikir saja dulu, ingat ini adalah kesempatan Zeira untuk menata kembali kehidupan yang seharusnya punya pendapat sendiri! Kalau masalah Zidan, seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, kalau sukses dalam tiga bulan mencapai target marketing di perusahaan. Perusahaan akan menyiapkan tempat juga kebutuhan Zidan di Belanda. Pastinya, bukan tinggal di mess bersama pekerja lain!" Penjelasan panjang Rizal didengarkan Zeira dengan seksama. Setelah menutup teleponnya. Zeira pun kemb
"Eh, Bro! Kamu ini katanya mau mencari modal usaha? Ini baru beberapa bulan udah pulang?" Rizal menyapa dengan penuh persahabatan. "Udah lumayan, tadinya mau balik lagi, tapi ada misi yang harus diselesaikan nih...." alasan yang lumayan cukup diterima oleh semua orang termasuk Rizal. "Lagi ngapain Bang di sini?" tanya Tommy sembari menatap satu persatu mata yang ada di sana. "Ayo, masuk saja dulu! Masa kalian bicara di luar sih?" ajak Zeira mempersilahkan masuk ke dalam ruang tamu. Mata Revina menyisir seluruh ruangan. Tempat ini memang sudah mulai rapuh, ada sebagian dinding yang retak. Begitu pula dengan atapnya di sana ada bekas kebocoran, nampak hitam serta kumuh warnanya. "Mbak, Ayah Zidan memang tidak sama sekali memberikan fasilitas yang baik buat anaknya?" Revina mulai ingin tahu."Dia kasih uang 20,000 dollar, Mbak sebelum kami bercerai. Itu uang sudah Zeira pakai buat modal warung makan di depan rumah Bang Nain! Seharusnya sih berjalan hingga kini, karena hilangnya Zidan
"Aminah!" "Aminah!"Lagi dan lagi Munandar berteriak-teriak seperti orang yang kesurupan. Kemarahan itu menjadi setelah kejadian dari lobi hotel. Bagaimana tidak marah-marah uang 2 milyar lenyap begitu saja. Dari sana Afifa pun mulai mengintrogasi beberapa hal menyangkut yang telah dilakukan oleh suaminya. Munandar seorang lelaki bengis dan main hakim sendiri ini pun kalah di depan istrinya. Setelah diketahui kalau rumah yang ditempati Aminah serta Adityawarman sudah ganti nama kepada mereka. Itu, membuat Afifa marah. Pasalnya, itu rumah adalah hasil dari pemberian keluarganya dan tidak boleh diganggu gugat. "Pokoknya, Ibu nggak mau tahu! Ibu mau tanah dan rumah kembali milik kita. Sekarang harus milik menjadi milik Ibu?" desis Afifa dengan memasang muka jengkelnya.Munandar berjalan ke arah ruang tamu diikuti oleh Afifa serta pengawalnya. Mereka pun sudah membawa notaris juga pejabat pemilik tanah. Urusan ini tidak baik main-main. Semua harus cepat diselesaikan. Atau, Afifa akan b
Afifa bukan pertama kali ini saja mendesak anak satu-satunya untuk menikah lagi. "Walaupun Azyu tidak akan memiliki anak, Syahrizal tidak mau menikah lagi, Bundo. Janganlah berpikiran untuk mengacaukan rumah tangga kami!" Penuturan Syahrizal lembut namun tegas. Azyumardi tersenyum mendengar itu. "Sayang, terima kasih atas pengertiannya." Perasaan bahagia menyelimuti hatinya. "Bundo, Ayah, jangan karena marah pada kedua orang tua Azyu, jadi membenci Azyu juga. Alhamdulillah, Azyu sekarang sudah hamil 3 minggu." Syahrizal melirik pada istrinya itu, "Sayang, Abang tidak salah dengar 'kan? Kita akan punya anak?" Masih keheranan dan tidak percaya. Azyumardi pun tersenyum. Sementara Syahrizal bergegas beranjak dari tempat duduknya, kemudian mendekat ke arah perut istrinya. Dielusnya pelan sekali, "Kamu betul sudah ada? Kamu apa kabar?" Ucapan itu disertai dengan Afifa yang meyakinkan, "Kapan kamu ke dokter? Ayo kita ke dokter untuk memastikan!" Afifa memang tidak pernah mempunyai urus