Kali ini Hana tak bisa menguasai diri. Kupingnya memanas ketika mendengar kata bayaran yang dapat diartinya negatif bagi siapa saja yang mendengarkannya.
"Bayaran maksudnya panggilan? Wanita BO?" Hana memberi penekanan pada singkatan booking order tersebut."Aku tak tahu pasti apa isi yang ada di kepala mereka. Karena kata mereka hanya kamu wanita satu-satunya yang punya kesempatan keluar dan makan bareng dengan Pak Hendra. Hanya kamu wanita yang baru mereka sadari telah sanggup membuat wajah Pak Hendra se-panik itu.""Tapi kenapa harus sebutan ....""Terus, mereka juga sudah mengamati. Sejak kamu ada di kantor, Pak Hendra jadi sering tersenyum. Dulu, boro-boro senyum, wajah ramah saja tidak ada. Dia tuh dingin dan jarang menyapa. Tatapannya kayak silet dan siap melukai hati jika karyawannya bikin kesalahan proposal. Jam lembur sering dikasih tanpa ampun."Refleks, Hana terkekeh membayangkan detail wajah sang mantan kekasih. Dia tak menyangka Mahendra kini menjelma menjadi monster yang begitu kaku, disegani karyawan sekaligus menjadi killer CEO seperti yang ada di kisah novel."Sebenarnya ada satu yang memang sangat mengganjal di hati. Sudah lama aku pendam dan mungkin ini saatnya aku curahkan kepadamu."Wajah Irma mendadak menegang dan serius. Kilat mata penuh curiga pun tampak di sana. Sementara Hana menelan ludah melihat ekpresi wajah Irma yang tak biasa. Hatinya pun mulai menimbang, kira-kira apa kalimat berikutnya yang ingin dimuntahkan Irma?"Sebenarnya apa hubungan kamu dan Pak Hendra? Maksudku, sebelumnya apa kalian sudah saling kenal? Soalnya dari awal memang saya perhatikan, kalian agak aneh. Kamu ingat, pertama kali aku ajak kamu masuk ke ruangan? Kamu tuh kayak takut sekali bertemu dengannya. Syok kayak lihat hantu. Kalau Pak Hendra, sih, aku lihat dia biasa-biasa saja."Hanya mengulum senyum tipis, Hana mengingat kembali awal pertemuannya di ruangan tersebut. Waktu itu, ia tak menyangka atasannya adalah Mahendra. Jodoh di tangan Tuhan, ada benarnya juga. Jodoh di sini dalam pengertian yang luas. Jodoh orangtua dan anak, antar sahabat, suami dan istri ataupun atasan dan karyawan."Ah, tidak apa-apa jika kamu tidak ...." Akhirnya Irma menjawab sendiri pertanyaannya setelah beberapa detik tak ada respons dari Hana."Maaf, Bu Irma. Aku belum bisa memberitahumu, aku ....""Iya, sudah, tak apa-apa. Aku paham. Tidak semua masalah kita harus diumbar. Apalagi kalau sampai jatuh ke telinga yang tak tepat, bisa lebih berabe urusannya.Beruntung Hana mempunyai teman baru yang pengertian. Di mana saat orang lain sedang sibuk bergosip tentang dirinya, tidak dengan Irma yang malah tidak memaksanya berbicara tentang masa lalu yang selalu membuat dadanya kembali berdenyut nyeri.***"Kenapa bisa begini, Han? Apa kamu terlalu kelelahan menjaga Kai waktu itu? Vitamin yang aku kasih, apa tidak kamu minum?"Ada guratan kegundahan di wajah dokter muda berkacamata tersebut setelah tahu keadaannya kala Hana membalas WA-nya yang tadi pagi belum sempat dibaca. Arsen baru saja selesai praktek, langsung meluncur ke rumah sakit, tempat Hana dirawat. Sementara Irma sudah pamit 15 menit yang lalu karena jam sudah menunjukkan angka tujuh. Mahendra dan Aldo masih belum kembali dari kafe rumah sakit lantai dasar."Aku minum kok, Kak." Hana menjawab cepat, tetapi dusta."Kalau kamu minum, kamu tak akan memilin selimutmu."Arsenio senyum tipis sambil melirik gerak-gerik jari di selimut putih.Oh, ternyata kebiasaan memilin sesuatu merupakan ciri-ciri Hana sedang menyimpan kebohongan. Mereka sudah bertahun-tahun berteman, sedikit banyak Arsenio mengetahui sifat dan kebiasaannya.Tertawa lepas, Hana pun mengaku. Wanita bermata bundar itu pun menyandarkan punggung dan membuang napas panjang melalui hidung."Aku tak suka obat, Kak." Keluhan itu akhirnya pun diluapkan."Nih, banyak makan buah, bisa menambah daya tahan tubuh. Istirahat yang cukup dan jangan lupa sama Tuhan-mu."Sepotong jeruk disodorkan tepat di depan mulut Hana dan ia langsung melahapnya demi menghargai."Sini, Kak. Biar aku sendiri."Tangan Hana mengambil alih buah jeruk yang sudah dikupas kulitnya. Ia sungkan kalau Arsenio menyuapinya. Meski ia tahu lelaki itu sangat perhatian sejak awal, tetap saja, ia tak bisa bermanja dengannya. "Kenapa tak ke RS Mutiara saja, sih? Biar aku gampang tengokin kamu. Aku standby dari pagi sampai sore di sana. Jadi pas istirahat, aku bisa curi-curi waktu untuk jengukin kamu.""Waktu itu aku pingsan, aku tidak bisa milih, Kak. Lagipula kalau bisa pilih, aku memilih pulang ke rumah, bukan di RS. Di sini sungguh membosankan, tidak bisa lakukan apapun. Malah merepotkan orang lain.""Sampai separah itu? Pingsan? Laki-laki itu yang membawamu ke sini?"Arsenio sudah tahu banyak hal yang selama ini dirahasiakan Hana. Mulai dari Hana bekerja dengan Mahendra, test DNA yang dilakukan Kai untuk membuktikan siapa ayah biologisnya, sampai hak asuh yang ditawarkan pengaca
"Kenapa belum dimakan?"Sekilas Mahendra melirik nampan makanan yang masih belum tersentuh di meja pasien setelah masuk ke dalam kamar dengan wajah yang biasa. Pintar sekali ia menyimpan kekesalan setelah mendengar gunjingan Arsenio yang kini mengganggu pikirannya. Meski itu sungguh sangat mengusik, tetapi ia tak ingin menunjukkan di depan Hana.Beruntung detik itu Arsen sedang buru-buru sehingga dokter muda itu memilih terus melangkah melewati dan meninggalkan tempat itu. Jika tidak, mungkin akan terjadi perang dunia ketiga lagi.Namun, diam-diam Mahendra mulai mempertimbangkan bagaimana kalau yang dikatakan dokter itu benar. Apakah Kai sudah mengerti tentang masalah orang dewasa? Apakah dia akan membenci papa yang dulu tak ingin kehadirannya?"Aku mau pulang."Seperti biasa, Hana tak menjawab tetapi malah memberi pernyataan yang tak ada hubungannya dengan pertanyaan Mahendra.Lelaki dewasa itu menarik kursi dan duduk di samping
Tengah malam. Hana mencoba membuka mata yang masih terasa berat. Dingin dari pendingin ruangan membuatnya nyaman hingga tak tahu sejak kapan ia terlelap. Tahu-tahu sekarang ia terbangun, merasakan tangan kanannya menghangat. Hana menoleh ke sisi kanan dan menemukan sebuah kepala yang menumpang bagian sisi kasurnya.Mahendra yang menutup mata dengan tangan kanan menggenggam erat tangannya. Pantas saja Hana merasa ada yang hangat di bagian itu. Wanita tersebut mencoba menggerakkan tubuh dengan pelan agar tidak membangunkan Mahendra. Tangan kiri yang masih tersambung dengan selang infus mulai diarahkan ke wajah maskulin pria yang sudah terlelap. Sentuhan lembut ke arah dahi sampai ke pipi dan hidung bangir pria tersebut. Lembut dan penuh perasaan. Sekilas Hana melengkungkan bibir dengan hati yang sejuk. Wajah pria yang selalu menggodanya itu sanggup mencairkan hati yang sudah lama membeku. Ia bisa menerima kehadiran Mahendra sekarang sedikit demi sedikit. Pintu maaf itu a
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya masuk malu-malu melalui tirai putih jendela. Mahendra yang bangun terlebih dahulu pun sudah rapi dengan kemeja navy pendek. Pakaian bersih itu sudah disiapkan Aldo kemarin saat ia mendatangi rumah sakit. General manager itu memang bisa diandalkan, tak sia-sia Mahendra mengeluarkan biaya 50 juta per bulan untuk membayar jasanya."Kamu tak usah lebay, Dra. Aku tak suka."Sesuap bubur sudah di depan mulutnya, tetapi Hana tolak mentah-mentah. Pagi ini, Hana tak punya selera makan dan Mahendra memaksanya. Itulah sebabnya lelaki tersebut berinisiatif untuk menyuapinya."Kalau tidak makan, gimana mau cepat sembuh? Kalau tidak sembuh, bagaimana bisa pulang?""I'm fine now. Dan Aku memang mau pulang sekarang." Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Rasa bosan sudah mencapai level tertinggi, ia tak mau berada di kamar itu lebih lama lagi."Lagipula kamu tidak seharusnya melakukan semua ini." Hana berkata lagi."Aku harus melakuka
"Anda siapa?" Mahendra bertanya dengan nada tak bersahabat. Ia tak suka dengan senyuman palsu yang ada di wajah itu."Dia anak Bu delia." Hana yang menjawab.Pria itu meletakkan buket di atas meja lalu membalikkan badan menatap Hana dan Mahendra bergantian. Sementara Mahendra mencoba mengingat dan sel sarafnya langsung membongkar ingatan tentang pria yang berdiri bersama dengan Hana di sisi pintu tempo lalu. Otak jenius itu sudah tahu siapa orang tersebut, meski belum tahu namanya."Gimana keadaanmu sekarang, Hanami?" Pria tersebut mencoba mengulas senyuman, walau tak nyaman dengan tatapan tajam Mahendra. Tidak masalah, di sini ia mencari Hana, bukan mencari masalah."Untuk apa Anda datang?"Pertanyaan itu bersamaan terucapkan, Mahendra merasa sesuatu yang tak nyaman. Mengapa sekarang saingannya menjadi ada dua pria, yang perlu disingkirkan?"Dra, sudah. Kamu apa-apaan, sih?"Hana jengah melihat sikap Mahendra yang tidak sopan dan terlihat posesif."Aku Jonathan."Jonathan mengulurkan
Pria yang sedang mengemudikan mobil dapat membaca ekspresi kebingungan Hana. Wanita itu sedari tadi menoleh ke belakang jok penumpang, seperti sedang mencari sesuatu."Bunga Lily yang tadi aku taruh ke plastik merah, ke mana, ya?""Bunga?" Pria itu menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal, berpura-pura tidak mengerti bunga yang dimaksud."Bunga dari Kak Jonathan. Perasaan tadi aku lihat kamu bawa sama tas hitamnya kamu, kan?" Sesekali Hana masih menoleh ke belakang, memastikan keberadaan benda tersebut. Mula dirinya yang menenteng plastik merah, tetapi Mahendra menawarkan diri untuk membantu membawakannya."Iya, tadi aku yang bawa dan aku taruh di belakang. Kok, bisa nggak ada, ya?" Pintar sekali ia berakting. Padahal, sebenarnya bunga itu sudah ia buang di tong sampah pada saat mereka menuju ke parkiran. Ia merasa beruntung melintasi tempat sampah, dengan cekatan plastik merah tersebut dimasukkan ke sana tanpa sepengetahuan Hana. Mahendra tak suka wanitanya menerima barang orang lain,
"Beruntung Nak Hendra masih punya itikad baik, datang dan mau bertanggungjawab atas Kai. Biarkan dia melakukannya dan jangan kamu menghalanginya lagi.""Ibu tak tahu kalau dia mau merebut Kai dari kita?"Menatap lekat sambil tersenyum tipis, wanita senja itu tak menjawab langsung. Naluri seorang ibu mencuat, ia dapat memahami bagaimana Hana ingin memberi perlindungan kepada anaknya."Tapi Ibu tidak melihat sifat jahat itu ada di hati Nak Hendra. Ibu bisa lihat ketulusannya mengayomi kalian. Coba kamu pikir bagaimana kalau tidak ada dia ketika Kai membutuhkan donor darah? Siapa yang akan peduli ketika kamu pingsan kemarin?"Wanita cantik itu menganjur napas dalam dan membalas kontak mata ibu. Kebencian dan kejengkelan yang selama ini dipupuk untuk pria tersebut telah membuatnya buta akan ketulusan yang pernah Mahendra lakukan. Ia tumbuh menjadi wanita pendendam. Kini, semua perkataan ibu seolah membuka mata hatinya. Jujur, menyimpan dendam tanpa ia
"Apa aku boleh jujur kepada Kai sekarang?""Tidak!" pekik Hana dengan mengepal tangan yang diletakkan di atas meja. Napas memburu, mata mulai mengembun. Dia belum mau Kai mengetahuinya sekarang. Entah mengapa, dia pun tak tahu. Si wanita masih belum rela dan ikhlas.Suasana menjadi dingin meski sayur asam di dalam panci masih mengepulkan asap. Keempat jantung mereka berdebar akibat pekikan spontan Hana. Kai pun sempat tersentak seperti tersengat listrik. Dia belum pernah melihat mamanya berteriak sebelumnya."Han, menurut ibu ...."Ibu mencoba menguasai diri untuk tidak mencampuri urusan mereka, pun akhirnya bersuara. Tangan ibu yang dihiasi beberapa goresan keriput pun menggenggam kepalan tangannya. Niat ibu menenangkan putrinya agar Hana bisa berpikir waras dan menggunakan logika.Wanita lima puluh tahun itu berharap petuahnya tadi berbuah hasil, Hana bisa meluluhkan batu dendam dan kebencian yang menumpuk di dada. Namun, sepertinya Han