Share

Bab 38B

Kali ini Hana tak bisa menguasai diri. Kupingnya memanas ketika mendengar kata bayaran yang dapat diartinya negatif bagi siapa saja yang mendengarkannya.

"Bayaran maksudnya panggilan? Wanita BO?" Hana memberi penekanan pada singkatan booking order tersebut.

"Aku tak tahu pasti apa isi yang ada di kepala mereka. Karena kata mereka hanya kamu wanita satu-satunya yang punya kesempatan keluar dan makan bareng dengan Pak Hendra. Hanya kamu wanita yang baru mereka sadari telah sanggup membuat wajah Pak Hendra se-panik itu."

"Tapi kenapa harus sebutan ...."

"Terus, mereka juga sudah mengamati. Sejak kamu ada di kantor, Pak Hendra jadi sering tersenyum. Dulu, boro-boro senyum, wajah ramah saja tidak ada. Dia tuh dingin dan jarang menyapa. Tatapannya kayak silet dan siap melukai hati jika karyawannya bikin kesalahan proposal. Jam lembur sering dikasih tanpa ampun."

Refleks, Hana terkekeh membayangkan detail wajah sang mantan kekasih. Dia tak menyangka Mahendra kini menjelma menjadi monster yang begitu kaku, disegani karyawan sekaligus menjadi killer CEO seperti yang ada di kisah novel.

"Sebenarnya ada satu yang memang sangat mengganjal di hati. Sudah lama aku pendam dan mungkin ini saatnya aku curahkan kepadamu."

Wajah Irma mendadak menegang dan serius. Kilat mata penuh curiga pun tampak di sana. Sementara Hana menelan ludah melihat ekpresi wajah Irma yang tak biasa. Hatinya pun mulai menimbang, kira-kira apa kalimat berikutnya yang ingin dimuntahkan Irma?

"Sebenarnya apa hubungan kamu dan Pak Hendra? Maksudku, sebelumnya apa kalian sudah saling kenal? Soalnya dari awal memang saya perhatikan, kalian agak aneh. Kamu ingat, pertama kali aku ajak kamu masuk ke ruangan? Kamu tuh kayak takut sekali bertemu dengannya. Syok kayak lihat hantu. Kalau Pak Hendra, sih, aku lihat dia biasa-biasa saja."

Hanya mengulum senyum tipis, Hana mengingat kembali awal pertemuannya di ruangan tersebut. Waktu itu, ia tak menyangka atasannya adalah Mahendra. Jodoh di tangan Tuhan, ada benarnya juga. Jodoh di sini dalam pengertian yang luas. Jodoh orangtua dan anak, antar sahabat, suami dan istri ataupun atasan dan karyawan.

"Ah, tidak apa-apa jika kamu tidak ...." Akhirnya Irma menjawab sendiri pertanyaannya setelah beberapa detik tak ada respons dari Hana.

"Maaf, Bu Irma. Aku belum bisa memberitahumu, aku ...."

"Iya, sudah, tak apa-apa. Aku paham. Tidak semua masalah kita harus diumbar. Apalagi kalau sampai jatuh ke telinga yang tak tepat, bisa lebih berabe urusannya.

Beruntung Hana mempunyai teman baru yang pengertian. Di mana saat orang lain sedang sibuk bergosip tentang dirinya, tidak dengan Irma yang malah tidak memaksanya berbicara tentang masa lalu yang selalu membuat dadanya kembali berdenyut nyeri.

***

"Kenapa bisa begini, Han? Apa kamu terlalu kelelahan menjaga Kai waktu itu? Vitamin yang aku kasih, apa tidak kamu minum?"

Ada guratan kegundahan di wajah dokter muda berkacamata tersebut setelah tahu keadaannya kala Hana membalas WA-nya yang tadi pagi belum sempat dibaca. Arsen baru saja selesai praktek, langsung meluncur ke rumah sakit, tempat Hana dirawat. Sementara Irma sudah pamit 15 menit yang lalu karena jam sudah menunjukkan angka tujuh. Mahendra dan Aldo masih belum kembali dari kafe rumah sakit lantai dasar.

"Aku minum kok, Kak." Hana menjawab cepat, tetapi dusta.

"Kalau kamu minum, kamu tak akan memilin selimutmu."

Arsenio senyum tipis sambil melirik gerak-gerik jari di selimut putih.

Oh, ternyata kebiasaan memilin sesuatu merupakan ciri-ciri Hana sedang menyimpan kebohongan. Mereka sudah bertahun-tahun berteman, sedikit banyak Arsenio mengetahui sifat dan kebiasaannya.

Tertawa lepas, Hana pun mengaku. Wanita bermata bundar itu pun menyandarkan punggung dan membuang napas panjang melalui hidung.

"Aku tak suka obat, Kak." Keluhan itu akhirnya pun diluapkan.

"Nih, banyak makan buah, bisa menambah daya tahan tubuh. Istirahat yang cukup dan jangan lupa sama Tuhan-mu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status