"Kenapa belum dimakan?"Sekilas Mahendra melirik nampan makanan yang masih belum tersentuh di meja pasien setelah masuk ke dalam kamar dengan wajah yang biasa. Pintar sekali ia menyimpan kekesalan setelah mendengar gunjingan Arsenio yang kini mengganggu pikirannya. Meski itu sungguh sangat mengusik, tetapi ia tak ingin menunjukkan di depan Hana.Beruntung detik itu Arsen sedang buru-buru sehingga dokter muda itu memilih terus melangkah melewati dan meninggalkan tempat itu. Jika tidak, mungkin akan terjadi perang dunia ketiga lagi.Namun, diam-diam Mahendra mulai mempertimbangkan bagaimana kalau yang dikatakan dokter itu benar. Apakah Kai sudah mengerti tentang masalah orang dewasa? Apakah dia akan membenci papa yang dulu tak ingin kehadirannya?"Aku mau pulang."Seperti biasa, Hana tak menjawab tetapi malah memberi pernyataan yang tak ada hubungannya dengan pertanyaan Mahendra.Lelaki dewasa itu menarik kursi dan duduk di samping
Tengah malam. Hana mencoba membuka mata yang masih terasa berat. Dingin dari pendingin ruangan membuatnya nyaman hingga tak tahu sejak kapan ia terlelap. Tahu-tahu sekarang ia terbangun, merasakan tangan kanannya menghangat. Hana menoleh ke sisi kanan dan menemukan sebuah kepala yang menumpang bagian sisi kasurnya.Mahendra yang menutup mata dengan tangan kanan menggenggam erat tangannya. Pantas saja Hana merasa ada yang hangat di bagian itu. Wanita tersebut mencoba menggerakkan tubuh dengan pelan agar tidak membangunkan Mahendra. Tangan kiri yang masih tersambung dengan selang infus mulai diarahkan ke wajah maskulin pria yang sudah terlelap. Sentuhan lembut ke arah dahi sampai ke pipi dan hidung bangir pria tersebut. Lembut dan penuh perasaan. Sekilas Hana melengkungkan bibir dengan hati yang sejuk. Wajah pria yang selalu menggodanya itu sanggup mencairkan hati yang sudah lama membeku. Ia bisa menerima kehadiran Mahendra sekarang sedikit demi sedikit. Pintu maaf itu a
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya masuk malu-malu melalui tirai putih jendela. Mahendra yang bangun terlebih dahulu pun sudah rapi dengan kemeja navy pendek. Pakaian bersih itu sudah disiapkan Aldo kemarin saat ia mendatangi rumah sakit. General manager itu memang bisa diandalkan, tak sia-sia Mahendra mengeluarkan biaya 50 juta per bulan untuk membayar jasanya."Kamu tak usah lebay, Dra. Aku tak suka."Sesuap bubur sudah di depan mulutnya, tetapi Hana tolak mentah-mentah. Pagi ini, Hana tak punya selera makan dan Mahendra memaksanya. Itulah sebabnya lelaki tersebut berinisiatif untuk menyuapinya."Kalau tidak makan, gimana mau cepat sembuh? Kalau tidak sembuh, bagaimana bisa pulang?""I'm fine now. Dan Aku memang mau pulang sekarang." Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Rasa bosan sudah mencapai level tertinggi, ia tak mau berada di kamar itu lebih lama lagi."Lagipula kamu tidak seharusnya melakukan semua ini." Hana berkata lagi."Aku harus melakuka
"Anda siapa?" Mahendra bertanya dengan nada tak bersahabat. Ia tak suka dengan senyuman palsu yang ada di wajah itu."Dia anak Bu delia." Hana yang menjawab.Pria itu meletakkan buket di atas meja lalu membalikkan badan menatap Hana dan Mahendra bergantian. Sementara Mahendra mencoba mengingat dan sel sarafnya langsung membongkar ingatan tentang pria yang berdiri bersama dengan Hana di sisi pintu tempo lalu. Otak jenius itu sudah tahu siapa orang tersebut, meski belum tahu namanya."Gimana keadaanmu sekarang, Hanami?" Pria tersebut mencoba mengulas senyuman, walau tak nyaman dengan tatapan tajam Mahendra. Tidak masalah, di sini ia mencari Hana, bukan mencari masalah."Untuk apa Anda datang?"Pertanyaan itu bersamaan terucapkan, Mahendra merasa sesuatu yang tak nyaman. Mengapa sekarang saingannya menjadi ada dua pria, yang perlu disingkirkan?"Dra, sudah. Kamu apa-apaan, sih?"Hana jengah melihat sikap Mahendra yang tidak sopan dan terlihat posesif."Aku Jonathan."Jonathan mengulurkan
Pria yang sedang mengemudikan mobil dapat membaca ekspresi kebingungan Hana. Wanita itu sedari tadi menoleh ke belakang jok penumpang, seperti sedang mencari sesuatu."Bunga Lily yang tadi aku taruh ke plastik merah, ke mana, ya?""Bunga?" Pria itu menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal, berpura-pura tidak mengerti bunga yang dimaksud."Bunga dari Kak Jonathan. Perasaan tadi aku lihat kamu bawa sama tas hitamnya kamu, kan?" Sesekali Hana masih menoleh ke belakang, memastikan keberadaan benda tersebut. Mula dirinya yang menenteng plastik merah, tetapi Mahendra menawarkan diri untuk membantu membawakannya."Iya, tadi aku yang bawa dan aku taruh di belakang. Kok, bisa nggak ada, ya?" Pintar sekali ia berakting. Padahal, sebenarnya bunga itu sudah ia buang di tong sampah pada saat mereka menuju ke parkiran. Ia merasa beruntung melintasi tempat sampah, dengan cekatan plastik merah tersebut dimasukkan ke sana tanpa sepengetahuan Hana. Mahendra tak suka wanitanya menerima barang orang lain,
"Beruntung Nak Hendra masih punya itikad baik, datang dan mau bertanggungjawab atas Kai. Biarkan dia melakukannya dan jangan kamu menghalanginya lagi.""Ibu tak tahu kalau dia mau merebut Kai dari kita?"Menatap lekat sambil tersenyum tipis, wanita senja itu tak menjawab langsung. Naluri seorang ibu mencuat, ia dapat memahami bagaimana Hana ingin memberi perlindungan kepada anaknya."Tapi Ibu tidak melihat sifat jahat itu ada di hati Nak Hendra. Ibu bisa lihat ketulusannya mengayomi kalian. Coba kamu pikir bagaimana kalau tidak ada dia ketika Kai membutuhkan donor darah? Siapa yang akan peduli ketika kamu pingsan kemarin?"Wanita cantik itu menganjur napas dalam dan membalas kontak mata ibu. Kebencian dan kejengkelan yang selama ini dipupuk untuk pria tersebut telah membuatnya buta akan ketulusan yang pernah Mahendra lakukan. Ia tumbuh menjadi wanita pendendam. Kini, semua perkataan ibu seolah membuka mata hatinya. Jujur, menyimpan dendam tanpa ia
"Apa aku boleh jujur kepada Kai sekarang?""Tidak!" pekik Hana dengan mengepal tangan yang diletakkan di atas meja. Napas memburu, mata mulai mengembun. Dia belum mau Kai mengetahuinya sekarang. Entah mengapa, dia pun tak tahu. Si wanita masih belum rela dan ikhlas.Suasana menjadi dingin meski sayur asam di dalam panci masih mengepulkan asap. Keempat jantung mereka berdebar akibat pekikan spontan Hana. Kai pun sempat tersentak seperti tersengat listrik. Dia belum pernah melihat mamanya berteriak sebelumnya."Han, menurut ibu ...."Ibu mencoba menguasai diri untuk tidak mencampuri urusan mereka, pun akhirnya bersuara. Tangan ibu yang dihiasi beberapa goresan keriput pun menggenggam kepalan tangannya. Niat ibu menenangkan putrinya agar Hana bisa berpikir waras dan menggunakan logika.Wanita lima puluh tahun itu berharap petuahnya tadi berbuah hasil, Hana bisa meluluhkan batu dendam dan kebencian yang menumpuk di dada. Namun, sepertinya Han
Pria itu mengajak duduk di stand es krim dan mulai membuka tutup wadah. Masing-masing dari mereka memegang satu sendok. Yang paling antusias tentu saja bocah enam tahun tersebut. Wajah yang berpendar bak bulan purnama tak lepas sejak kakinya menjejaki tempat mewah tersebut.Sesekali pria itu menyuapi Kai dan Hana. Bedanya, setiap suapan untuk Hana selalu ditolak.Tadi di rumah, setelah menguasai diri di kamar, Hana terbujuk oleh anjuran ibu tentang ketersediaan hati Hana, membiarkan Kai tahu siapa dan di mana papanya berada sekarang. Ibu pun menyarankan agar mereka membawa Kai ke tempat yang dapat menyenangkan hati saat akan mengutarakan hal yang sebenarnya. Buatlah mood anak itu senang dan nyaman agar dia bisa menerima kenyataan yang ada. Ah, ibu memang penuh dengan pertimbangan dan terlihat bijaksana di mata Hana."Apa kamu senang, Kai?" Sang papa membuka pembicaraan setelah menyadari sikap dingin yang ditunjukkan Hana. Bahkan, wanita itu pun e