Axel dan Murdock baru saja keluar dari ruangan di mana telah diadakan rapat. Axel dari beberapa detik lalu telah resmi menjadi CEO O-Media. "Mau ke mana kau, Nak?" Murdock menatap heran pada putranya yang berjalan tergesa. "Aku ingin segera menyelesaikan tugasku hari ini di perusahaan, Pa. Setelah itu aku ingin segera menemui Alessandra," jawab Axel sembari semakin mempercepat langkahnya. Murdock menggeleng seraya menyembunyikan senyumnya. Ia memandang sang putra yang kini lenyap di balik pintu ruangannya dengan tatapan seakan bernostalgia. Tiba-tiba saja ia teringat masa mudanya setelah melihat putranya yang resah karena cinta. Sementara di tempat berbeda, Alessandra terlihat tak fokus dengan pekerjaannya. Beberapa kali tim campaign mencoba menyadarkannya dari lamunan. Iya, Alessandra masih melakukan campaign Bianco Skin hingga saat ini. Sekarang ia sedang memeriksa website Bianco Skin dan setelah ini akan melakukan pengambilan video lalu diunggah ke beberapa akun sosial media mi
Tuan Aroon tak hentinya memandang Axel dengan tatapan remeh. "Ragamu saja yang muda tapi otakmu kolot. Kau tak tahu atau memang bodoh," cemoohnya dengan tarikan sudut bibirnya. "Dia baby-ku, kekasihku."Axel tiba-tiba langsung merasakan ulu hatinya seperti ditikam benda tajam ribuan kali. Otaknya berpikir liar; apa benar amore-nya telah sunguh-sungguh menerima pria tersebut. Panggilan keduanya terdengar menggelikan sekali di telinga Axel dan sialnya itu mampu sedikit menggoyahkan harapan Axel. "Baby, apa yang kau lakukan di sini?" Tuan Aroon menepikan minatnya terhadap wajah pilu Axel dan memilih mengelus puncak kepala Alessandra. "Apa kau ada perlu dengan mantan bodyguard-mu, hm?"Tuan Aroon berkata tenang seolah tadi tak melihat adegan yang telah membuat hatinya seperti dibakar. Alessandra menggeleng lalu mendekat dan menyelipkan tangannya pada siku Tuan Aroon. "Mari kita masuk. Aku haus dan lapar," ajaknya tanpa memberi jawaban atas pertanyaan Tuan Aroon. Tuan Aroon pun menyungg
Bulu-bulu lentik yang membingkai kelopak indah itu terlihat bergerak perlahan. Alessandra terlihat sedang mengerjapkan matanya. "Baby." Tuan Aroon yang sedari tadi siaga di sisinya langsung membelai kepalanya dengan lembut. Alessandra kini terlihat sedang mengingat-ingat sesuatu hingga akhirnya ia bertanya, "Kita sekarang ada di rumah?"Tuan Aroon mengangguk sambil tangannya tak hentinya membelai surai yang sudah tergerai bebas dari tatanan model sanggul chignon. "Kau pingsan, Baby. Aku langsung membawamu pulang."Alessandra memegang pelipisnya. "Pi-pingsan?" ulangnya terbata seraya mencoba mengingat apa yang sudah terjadi padanya. Tuan Aroon saat ini berganti mengarahkan tangannya pada perut Alessandra. Ia kemudian berkata, "Sebentar lagi ada yang akan memanggilmu mommy."Alessandra menatap mata Tuan Aroon dengan mengernyit isyarat tak mengerti. "Kau hamil, Baby," terang Tuan Aroon seraya memandang wajah pucat itu lekat-lekat. Sontak saja hal itu membuat Alessandra terlonjak kag
"Tekanan darahnya normal. Suhu tubuhnya pun normal. Tak ada yang perlu dikhawatirkan." Dokter Ricardo berbicara pada dua orang yang merupakan ayah dan putra. "Jika semuanya normal, lalu kenapa dia muntah-muntah?" Murdock bertanya cemas. "Menurut pengalamanku menangani banyak pasien yang sudah tak terhitung jumlahnya, aku pernah beberapa kali menemui hal serupa yang dialami Axel," tutur Dokter Ricardo. "Yaitu mereka merupakan seorang calon ayah."Axel yang semula menampilkan mimik biasa saja dan tak tertarik dengan obrolan dua sahabat itu seketika terkesiap ketika mendengar penuturan itu. "Apa maksudmu, Ricardo?" Murdock menuntut kejelasan. "Mengacu pengalamanku di lapangan, Axel seperti sedang mengalami couvade syndrome atau bahasa sederhananya; kehamilan simpatik. Gejala yang dialami calon ayah berupa seperti gejala wanita hamil, seperti mual, dan gejala lain yang lumrah dialami wanita hamil."Murdock langsung memandang putranya dengan sorot mata seolah bertanya sesuatu dan Axel
Pada hari itu Alessandra mengalami mual yang hebat dan Tuan Aroon siaga berada di sisinya. "Kau lihat, mommy-mu bolak-balik ke wastafel. Jangan nakal dan menyiksa mommy-mu, Sweetie." Tuan Aroon berbicara menunduk pada perut Alessandra seolah sedang berbicara dengan seseorang. Ia kemudian mengecup perut itu. Alessandra yang sedang telentang melihat itu dengan perasaan haru--menyaksikan betapa Tuan Aroon menyayangi janin di rahimnya, padahal janin itu bukan darah dagingnya. Alessandra kemudian menimpali, "Sweetie?"Tuan Aroon pun menoleh padanya. "Panggilan sayangku untuknya," sahutnya dengan mengulas senyum dan Alessandra membalas senyumnya. "Jika dia baby boy akan terdengar feminin ketika Daddy memanggilnya dengan sebutan itu," kata Alessandra menimpali. "Kalau begitu, biar kupanggil dia sweetie boy," sahut Tuan Aroon. Kemudian Tuan Aroon kembali menunduk pada perut Alessandra. "Kau dengar, Sweetie Boy. mommy-mu protes persoalan panggilan apa yang cocok untukmu. Dia begitu meny
Lima hari sudah Axel mendapati perutnya merasakan mual sampai ia pun absen ke perusahaan karena memang kondisinya membuatnya tak nyaman beraktivitas."Couvade syndrome." Ia melafalkan istilah yang beberapa waktu lalu disebut Dokter Ricardo sambil terlihat berpikir. "Apa benar analisa Dokter Ricardo bahwa aku sedang mengalami gejala itu."Axel yang saat ini sedang telentang di sofa panjang dalam kamarnya itu terlihat resah. Kemudian ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu menggulir layarnya. "Jika benar analisa Dokter Ricardo pada kondisiku, apakah itu artinya dia benar hadir dalam rahimmu?" ucapnya sambil memandang foto Alessandra penuh kerinduan. Beberapa minggu ini batinnya sangat tersiksa oleh rindu yang menggebu kepada amore-nya, dan sialnya ia tak berdaya mengobati rindu itu. Ia tak kuasa untuk menemui kembali Alessandra setelah momen terakhir ia bertemu Alessandra kala itu. Ia begitu sakit mendengar suara lembut Alessandra memanggil seseorang dengan panggilan yang
Sejoli lintas generasi terlihat sedang menetralkan deru napasnya setelah melewati percintaan panas penuh erangan maskulin dan feminin bersahutan saling kejar. Lalu Revano tampak menutupi tubuhnya dan tubuh si wanita pemuas dahaga nafsunya yang dibanjiri peluh dengan selimut hingga dada. "Kau luar biasa, Sabrina," puji Revano. "Kurasa obsesimu pada wanita itu telah pudar. Apa aku benar?" Pada percintaan yang baru saja mereka lakukan, Sabrina merasa ada hal yang berbeda. Revano mencumbunya dengan lembut dan seperti ada cinta di dalamnya, tak seperti percintaan sebelum-sebelumnya yang tak jarang ada kekerasan dan seperti buru-buru hanya untuk menyalurkan nafsu. Bahkan pada tiga minggu lalu beberapa kali Revano mengerang masih menyebutkan nama Alessandra. "Siapa?" Revano mengernyit tak suka. "Come on, Bos. Semua penghuni Top Stories juga tahu siapa wanita yang menjadi obsesi atau bahkan ambisimu," desah Sabrina. Terdengar ada nada cemburu dalam suaranya. "Jangan membahas wanita lain
Pagi ini sudah lebih dari sepuluh menit Alessandra mengalami mual hebat akibat kehamilannya. Di saat seperti ini biasanya ada Tuan Aroon di sisinya yang selalu siaga. Namun, pagi ini pria itu tak ada di dekatnya. Sudah semenjak dua hari ini ia sedang berada di luar kota untuk mengecek ketersediaan bahan baku kosmetik. Hal yang tak bisa ia wakilkan pada siapapun. "Ugh. Begini rasanya jadi wanita hamil," lirihnya sambil melihat perutnya yang masih datar setelah menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang. Tak terasa ia kini mengarahkan tangannya pada perut. Ia lalu mengusapnya dengan lembut. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan semenjak ia dinyatakan berbadan dua. "Kau benar hadir di sini?" ucapnya sambil terus mengelus. Matanya terlihat berkaca-kaca. Ia masih terus mengelus perutnya. "Maaf, baru menyapamu," ucapnya lagi. Kini matanya tak hanya berkaca-kaca, namun mata itu telah meneteskan airnya."Aku bahagia kau hadir. Sangat bahagia. Kau mengobati rasa kehilanganku terhadap seseor