Kaki jenjangnya mengayun tak sabaran ke arah nonanya yang sedang duduk di atas ranjang king size dengan ukiran emas di kaki dan headboard-nya. Kehadirannya yang tiba-tiba sontak membuat kedua insan terperanjat. Tuan Aroon dan Alessandra reflek berdiri. "Kurang ajar!" erang murka Tuan Aroon. Matanya menatap nyalang. Gigi atas dan bawahnya saling bergesekan. Rahangnya terasa keras ia rasakan. Darahnya seketika berpusat pada ubun-ubun karena kemarahan. Ia sangat murka. Merasa terusik. "Kau yang kurang ajar!" Tatapan Mervile tak kalah sengitnya. Mervile tampak kehilangan sopan santun terhadap pria paruh baya tersebut. "Lepaskan tangan nona saya!"Tangan Tuan Aroon yang masih bertaut dengan tangan Alessandra, dipaksa lepas oleh tangan bodyguard itu. Sikap bodyguard tersebut sudah tak dapat ditoleran. Dengan gerakan cepat Tuan Aroon melayangkan bogem ke perut Mervile, namun sayang kepalan kuat itu tak berhasil menyentuh perut sixpack yang berbalut kemeja hitam itu. Tangan Mervile sigap
"Diam! Semua diam!" Mendadak suasana menjadi hening. Alesaandra menoleh pada dua pria secara bergantian dengan tatapan sarat kekecewaan. "Kalian selalu mengedepankan egoisme masing-masing. Tidak mencerminkan sikap lelaki dewasa, lebih pantas disebut anak-anak!"Setelah menjeritkan kalimat yang menohok kedua hati pria dalam ruangan, Alessandra lantas berlari dengan air mata membanjiri pipi. Mervile mengusap wajahnya frustasi lalu berlari menyusul nonanya tanpa memedulikan pria paruh baya yang tak hentinya mengumpat tak kalah frustasi darinya. Saat ini Tuan Aroon terduduk lemas di ranjang, mengatur napasnya yang kian sesak sebab bayang-bayang perpisahan. Berpisah dengan wanita yang amat dicintainya adalah kutukan terburuk yang ia haramkan dalam hidupnya. Tidak. Tidak! Tidak akan dia biarkan wanitanya lepas darinya. Lama dia memuja dan mendamba kehadirannya. Saat wanita itu telah berada dalam pelukannya, maka ia telah mengikrarkan bahwa tak ada tempat yang layak untuk sang wanita se
Setelah memandang bangga pada dirinya, wanita berbalut bathrobe tersebut lantas berdiri lalu melenggang menuju walk in wardrobe. Sampai di ruangan bernuansa monokrom tersebut, tangannya memilah-milah busana yang tergantung rapi. Netranya fokus memandangi, namun nihil. Tak ada yang menarik perhatiannya. "Aku butuh sesuatu yang berbeda, yang belum pernah kugunakan sebelumnya," monolognya sembari jemarinya menjepit dagu. Berpikir keras apa solusinya, dan akhirnya tercetuslah satu ide yang dirinya sendiri tak memikirkan itu sebelumnya. Wanita berlesung pipit itu melangkah keluar ruangan setelah mengenakan pakaian kasual. Tangannya menenteng tas, bersiap untuk keluar. Di ruangan tengah, dirinya disambut sang bodyguard yang tegak berdiri. "Bagus! Kau sudah bersiaga. Kita akan ke Aroon's Company," ucapnya kemudian. Tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, Mervile sontak bertanya dengan nada heran, "Untuk apa Nona ke tempat pria berengsek itu lagi?""Kau jaga sopan santunmu terhadap kli
"Ah! Tidak. Tidak. Tidak boleh terjadi!" gumam Mervile pelan. "Apakah ada sesuatu yang mewajibkan Nona ke perusahaan itu, em ... maksud saya pekerjaan?" Mervile mulai memutar setir, melajukan kendaraan menuju tempat tujuan, meski hatinya enggan. "Tentu. Dia mengundangku ada sangkut pautnya dengan Bianco Skin," jawab Alessandra datar. "Pemotretan ulang atau hanya membicarakan perkembangan brand itu Nona?" Mendengar itu, Alessandra menyipitkan mata. Alisnya yang terukir sempurna nyaris bersua. "Mervile! Aku tahu kau adalah manajerku, tapi sikapmu yang banyak tanya ini memaksaku menilai dirimu menyalahi gendermu. Kau banyak bicara seperti wanita.""Maaf, Nona. Saya melihat Anda hari ini begitu menakjubkan. Saya mencoba mencari jawaban, apakah penampilan ini karena Anda akan melakukan pemotretan?""Melihat penampilanku, seharusnya kau sudah terbiasa dengannya. Aku memang selalu tampil sempurna di setiap kesempatan. Bukan hanya ketika akan melakukan pemotretan," terang Alessandra. Bibi
Mendengarnya, Alessandra lantas berdiri, melewati begitu saja pria yang masih setia berlutut dengan hati berkecamuk. Wanita itu berjalan ke arah jendela besar, melepaskan pandangan pada bangunan gedung-gedung besar yang setara dengan gedung yang ia pijaki sekarang. Ia berdecak sembari melipat kedua tangannya di bawah dada, tepatnya di atas perut datarnya. "Marah?" Wanita itu menggeleng pelan. Bibirnya menerbitkan senyum miring. "Jika saja bisa, saya sangat ingin membunuh Anda," lanjutnya seraya menahan supaya matanya tak meluruhkan buliran air sekuat yang ia bisa, karena tiba-tiba saja di benaknya muncul bayangan wajah sang ayah. Melihat punggung mulus yang terekspos amat sempurna, Tuan Aroon lantas berdiri lalu menghampirinya, dan seketika melabuhkan pelukan pada sosok memikat itu. "Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini, Alessa. Kau adalah wanitaku, dan siapa pun yang telah menjadi milikku, maka kuikrarkan tak ada yang layak baginya selain diriku," tekannya seraya mengeratkan
"Aku ingin mendengar kabar menyenangkan." Tuan Aroon berkata pada Morgan. Asisten pribadinya itu masuk saat setelah Alessandra keluar ruangan. Dirinya sedari tadi beralih profesi menjadi security dadakan yang menjaga pintu ruangan di mana ia berdiri sekarang. Karena beberapa waktu lalu rival sang tuan--Mervile mencoba menerobos masuk ke dalam. "Maaf, Tuan. Bodyguard itu sepertinya bukan orang sembarangan. Datanya sangat sulit dilacak," jawab Morgan. "Menguap ke mana keahlianmu selama ini, Morgan?" Tuan Aroon menonjolkan kekecewaannya. Pria itu merasa asistennya mengalami penurunan kinerja. "Aku ingin mendengar kabar baik secepatnya. Kau tahu benar banyak orang mengantre mendamba posisimu, bukan?"Mendengar kalimat tuannya yang sarat ancaman, Morgan merespons dengan anggukan pelan. Ia seperti kehabisan bahan untuk membela diri. Jika saja ia sanggup dan berani, ia akan berkata bahwa tuannya itu baru menginstruksikan perintah pagi kemarin. Waktu yang masih terbilang singkat. "Sekalig
"Kau tidak waras. Kau lebih pantas menjadi ayah atau pamannya, Bodoh!" maki pria berjas biru dongker. Pria yang usianya empat tahun lebih tua dari lawan bicaranya itu tampak murka. "Kau ayahnya, Tolol. Dia tidak memerlukan dua ayah," sahut sang lawan bicara bernada tak kalah tingginya. "Memang hanya aku ayah satu-satunya putriku. Tak akan kubiarkan siapa pun menggantikan posisiku.""Diam. Jika kau terus berbicara, debat tak berfaedah ini terus berlanjut hingga dunia runtuh sekalipun." Tuan Aroon tampak kesal. "Aku sengaja menemuimu bukan untuk pepesan kosong, Sialan! Aku menginginkan putrimu. Dia jadi milikku segera dengan atau tanpa persetujuanmu. Jangan mencoba menghalangiku ketika putrimu itu dekat denganku."Pria berjas biru dongker menggeleng tak percaya. "Kau memang benar sudah gila! Berkali-kali kau mengungkitnya, aku tetap menolak keras angan-angan gilamu itu. Dia putriku semata wayang. Satu-satunya kenangan indah yang istriku tinggalkan.""Kau sudah memiliki ibunya bahkan h
Tuan Aroon tampak mondar-mandir di depan ruang ICU. Ia nyaris tak percaya jika pria yang terlihat keras kepala dengan sikap melindungi yang dominan beberapa menit lalu sedang berjuang melawan maut di dalam sana. Tak berselang lama, seorang pria berpakaian sanitasi membuka pintu. Mendengar pintu dibuka, Tuan Aroon buru-buru membalik badan lalu bertanya, "Bagaimana keadaannya, Dok?"Sang dokter tak menjawab alih-alih berkata, "Pasien ingin bertemu Anda.""Apakah sudah sadar?" tanyanya seraya melewati pintu masuk dengan langkah tergesa. Tampak kelegaan juga kecemasan pada raut mukanya. "Kau akan baik-baik saja, Marchelle," ucap Tuan Aroon ketika sampai pada ranjang pasien setelah memakai seragam senada dengan beberapa orang dalam ruangan. "Pietro, kutahu ini terdengar kurang bijak. Aku tidak tahu harus menitipkan putriku pada siapa lagi," suara pria yang terbujur tak berdaya itu terdengar lemah dan terbata-bata. Kedengarannya untuk berucap saja ia mengumpulkan kekuatan ekstra. "Dia h