Aku segera menghubungi Mas Fadil. Memberitahukan bahwa anaknya akan segera lahir.
[Aku sudah di klinik, sudah pembukaan empat]
[Allhamdulilah, aku segera putar balik ke sana]
Chat pun berakhir karena sakit di perut mulai terasa kembali. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat beberapa wanita hamil sedang menunggu sambil meringis seperti diriku. Mereka di dampingi suami dan kerabatnya.
Aku hanya tersenyum getir melihat diriku yang seorang diri di klinik ini. Selang beberapa menit Ibu datang bersama adik bungsuku.
"Sudah pembukaan berapa sekarang?" tanya Ibu khawatir.
"Nggak tahu, belum periksa lagi."
"Suami kamu sudah dihubungi?"
"Sudah."
Aku kembali duduk, para petugas klinik tampak memakai APD atau alat perlindungan diri. Aku hamil di masa pandemi menyerang, sebuah penyakit yang datang dari negeri tirai bambu yang telah mewabah ke seluruh wilayah Indonesia. Kami pun diwajibk
Di dalam ruang persalinan bayi sungsang. Dua orang dokter, dua bidan dan dua perawat mengerumuni diri ini. Aku dibaringkan dengan posisi kaki terbuka lebar. Kedua kaki diangkat dan diletakkan di sebuah penyangga, persis seperti di film-film barat.Aku pasrah mengikuti semua perintah Dokter. Mas Fadil dan Ibu terus menemani, menatapku dengan ekspresi cemas, tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka seolah terhipnotis dengan suasana tegang dan kepanikan petugas kesehatan.Dokter kembali berteriak agar aku tidak mengejan. Aku pun juga tidak ingin mengejan, tapi bayi yang ada di dalam sini, terus mendorong untuk keluar."Tahan, Bu. Jangan ngerjain dulu!' hardik seorang Dokter.Aku tidak bisa berkata-kata apa-apa lagi, hanya mengangguk perlahan dengan isyarat. Tenaga sudah habis untuk menahan bayi agar tidak mendorong keluar." Pakai maskernya!" bentak seorang dokter saat masker yang aku pakai mulai merosot ke bawa
Aku masih terbaring lemah, terkulai di atas ranjang ruang persalinan. Mas Fadil pergi ke ruang bayi, sedangkan ibu sudah pulang ke rumah. Di dalam ruangan itu, hanya ada aku seorang diri. Merasakan sisa-sisa sakit pasca melahirkan. Perut masih terasa mulas dan melilit. Tapi, tidak seorang pun yang datang menghampiri.Netraku mengedar ke sekeliling. Tenggorokan terasa kering, hanya ada teh hangat yang diberikan Ibu di atas nakas yang berada di samping ranjang. Namun, sekedar untuk menggapai plastik teh hangat itu pun , rasanya begitu sulit. Tubuh ini rasanya lemas tak bertulang, untuk begeser demi menggapai teh hangat pun rasanya tidak berdaya.Aku masih menahan sakit, bekas jahitan dan bekas melahirkan. Aku hanya bisa beristigfar di dalam hati, sambil nunggu seseorang datang membantu.Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seorang petugas keamanan datang bersama seorang suster yang membawa berkas-berkas di tangannya. Sang suster dan p
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Perasaan gelisah, memikirkan sang buah hati yang belum mendapatkan setetes pun ASI sedari lahir. Perut tiba-tiba terasa kosong dan perih, tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalam perut pasca melahirkan.Tubuh ini semakin lemah dan lemas. Aku berusaha untuk menggapai kantong plastik yang berisi makanan yang telah dibeli dari toko swalayan oleh Mas Fadil. Tidak tega rasanya untuk membangunkan lelaki yang tampak tidur terlelap itu. Dia sudah capek seharian mengurus diriku dan sang bayi.Aku menatap nanar sepotong roti yang tersisa dan memakannya perlahan, sambil membayangkan bayi kecil yang belum sempat merasakan ASI. Sesaat kemudian, Mas Fadil tampak terbangun dan menatapku heran."Ayah lapar?" tanyaku seraya menatapnya lekat. Ia terlihat mengangguk pelan. Aku pun membagi du potongan roti yang masih tersisa. Kami kelaparan di rumah sakit itu, jangankan untuk penunggu pasien untuk pasiennya pun tidak ada yang diberi
"Lalu, apa Ibu dikasih snack setelah melahirkan?" tanyanya kepadaku."Boro-boro, Pak. Di Kasih minum aja nggak jawabku tegasLelaki berpostur gempal itu kembali melirik tajam ke arah karyawannya." Saya sebagai Direktur Utama Rumah Sakit ini minta maaf atas kelalaian karyawan kami. Tapi alangkah baiknya jika Ibu langsung mengadu ke ke pihak kami langsung. Bisa ke bagian informasi. Kami jadi malu karena ditegur langsung dari atas dan semua rumah sakit yang lain mengetahuinya."Sang Direktur Utama tampak kesal dan menatapku sedikit tajam. Ia mungkin menyayangkan laporanku atas pelayanan rumah sakit yang ia kelola. Akan tetapi, aku hanya ingin memberikan efek jera terhadap seluruh petugas Rumah sakit agar lebih profesional dan tidak menyepelekan pasien.Bukan pertama kalinya pasien yang mengeluh akan buruknya pelayanan rumah sakit tersebut. Sebelumnya banyak yang mengeluh lewat kolom komentar di akun media sosial. Tapi, m
Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan sebuah kandang burung ukuran besar yang dibeli oleh Mas Fadil. Padahal untuk menutupi biaya melahirkan saja, kami harus meminjam uang kepada saudaranya. Entah apa yang dipikirkan lelaki yang sudah memiliki empat orang anak itu.Langkahku terhenti tepat di depan kandang burung."Ini apa, Mas?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi." Oh, itu buat kandang burung. Biar ayah ada kegiatan, nggak mainan HP terus," jawabnya polos tanpa rasa berdosa."Oh, kirain buat kandang apa," sahutku sambil tersenyum tipis.Biarlah Mas Fadil menyalurkan hobi barunya. Daripada harus selalu sibuk dengan gawai, mungkin hobi barunya bisa membuat dia lebih betah di rumah. Aku pun masuk di papah oleh Mas Fadil ke dalam rumah.Di depan pintu, tampak Luna dan Kia berdiri untuk menyambut sang penghuni baru. Aku m
Kehadiran anak ke empat membuat Mas Fadil semakin betah di rumah. Ia pulang tepat waktu dan selalu ikut membantu mengurus bayi kecilku.Hobinya memelihara burung, semakin hari semakin menjadi. Bukan hanya satu atau burung. Kini, ia memiliki hingga dua belas ekor burung yang berharga di atas setengah jutaan.Aku tidak menghalangi atau pun melarang hobi barunya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama burung-burung kesayangan saat berada di rumah dan terlihat lebih jarang bermain gawai. Satu hal yang aku mau, Mas Fadil tidak lagi stalking atau mencari tahu tentang perempuan menakutkan itu.Aku hanya mencoba untuk berpikir positif dan ikut menikmati hobi baru Mas Fadil."Yah, kenapa beli burung banyak-banyak, kan repot ngurusinya?" tanyaku pada suatu malam, saat kami sedang bersantai bersama anak-anak."Nggak repot, kok. Burung-burung itu sebagai per
Pagi-pagi sekali, kami sudah sibuk dan bersiap untuk mengantar si sulung ke pondok. Sebelum mereka masuk pondok, ada acara serah terima dari orang tua murid kepada pihak pondok dan kami harus menghadirinya terlebih dahulu.Barang bawaan telah siap, berjejer di depan teras rumah. Si sulung tampak sudah rapi, memakai gamis abu muda dan hijab dengan warna senada."Ayo, Kak!" ajakku seraya menatapnya nanar.Luna mengangguk dengan ekspresi sedih. Sepertinya gadis kecilku, merasa berat untuk meninggalkan rumah. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, aku pun tidak mau dan tidak tega berpisah dengannya.Namun, ini adalah jalan yang terbaik untuk dirinya agar ia mendapatkan bekal agama untuk mengarungi dunia yang penuh dengan jalan yang menyesatkan.Selama dalam perjalanan, Luna banyak berdiam diri. Ia hanya menatap nanar ke luar jendela. Sedangkan anak ke dua
Setelah si sulung masuk ke pondok pesantren. Tidak banyak perubahan di dalam kehidupanku. Hari demi hari dilewati di dalam rumah. Mengurus suami dan anak. Namun, kali ini tugasku semakin banyak karena tidak ada yang membantu.Warna orange sudah tampak mengiasi cakrawala. biasanya Mas Fadil akan memberi kabar bahwa dia telah dalam perjalanan pulang namun hari itu, Mas Fadil kembali susah untuk dihubungi. Padahal hari sudah beranjak malam dan langit sudah semakin gelap.Aku mencoba menghubunginya beberapa kali tapi tidak diangkat. Aku tidak putus asa dan terus menghubungi Mas Fadil sampai ia mengangkatnya. Akhirnya, setelah sepuluh kali panggilan tidak tidak dijawab. Lelaki beranak empat itu menjawab panggilanku.Suara tawa seorang wanita samar terdengar dari balik gawai. Aku terdiam beberapa saat, perasaan kesal dan marah mulai bercokol di dalam hati.[Zahra! Kamu masih di sana?]&n