Malam itu, aku tidak bisa tidur. Perasaan gelisah, memikirkan sang buah hati yang belum mendapatkan setetes pun ASI sedari lahir. Perut tiba-tiba terasa kosong dan perih, tidak satu butir nasi pun yang masuk ke dalam perut pasca melahirkan.
Tubuh ini semakin lemah dan lemas. Aku berusaha untuk menggapai kantong plastik yang berisi makanan yang telah dibeli dari toko swalayan oleh Mas Fadil. Tidak tega rasanya untuk membangunkan lelaki yang tampak tidur terlelap itu. Dia sudah capek seharian mengurus diriku dan sang bayi.
Aku menatap nanar sepotong roti yang tersisa dan memakannya perlahan, sambil membayangkan bayi kecil yang belum sempat merasakan ASI. Sesaat kemudian, Mas Fadil tampak terbangun dan menatapku heran.
"Ayah lapar?" tanyaku seraya menatapnya lekat. Ia terlihat mengangguk pelan. Aku pun membagi du potongan roti yang masih tersisa. Kami kelaparan di rumah sakit itu, jangankan untuk penunggu pasien untuk pasiennya pun tidak ada yang diberi
"Lalu, apa Ibu dikasih snack setelah melahirkan?" tanyanya kepadaku."Boro-boro, Pak. Di Kasih minum aja nggak jawabku tegasLelaki berpostur gempal itu kembali melirik tajam ke arah karyawannya." Saya sebagai Direktur Utama Rumah Sakit ini minta maaf atas kelalaian karyawan kami. Tapi alangkah baiknya jika Ibu langsung mengadu ke ke pihak kami langsung. Bisa ke bagian informasi. Kami jadi malu karena ditegur langsung dari atas dan semua rumah sakit yang lain mengetahuinya."Sang Direktur Utama tampak kesal dan menatapku sedikit tajam. Ia mungkin menyayangkan laporanku atas pelayanan rumah sakit yang ia kelola. Akan tetapi, aku hanya ingin memberikan efek jera terhadap seluruh petugas Rumah sakit agar lebih profesional dan tidak menyepelekan pasien.Bukan pertama kalinya pasien yang mengeluh akan buruknya pelayanan rumah sakit tersebut. Sebelumnya banyak yang mengeluh lewat kolom komentar di akun media sosial. Tapi, m
Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan sebuah kandang burung ukuran besar yang dibeli oleh Mas Fadil. Padahal untuk menutupi biaya melahirkan saja, kami harus meminjam uang kepada saudaranya. Entah apa yang dipikirkan lelaki yang sudah memiliki empat orang anak itu.Langkahku terhenti tepat di depan kandang burung."Ini apa, Mas?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi." Oh, itu buat kandang burung. Biar ayah ada kegiatan, nggak mainan HP terus," jawabnya polos tanpa rasa berdosa."Oh, kirain buat kandang apa," sahutku sambil tersenyum tipis.Biarlah Mas Fadil menyalurkan hobi barunya. Daripada harus selalu sibuk dengan gawai, mungkin hobi barunya bisa membuat dia lebih betah di rumah. Aku pun masuk di papah oleh Mas Fadil ke dalam rumah.Di depan pintu, tampak Luna dan Kia berdiri untuk menyambut sang penghuni baru. Aku m
Kehadiran anak ke empat membuat Mas Fadil semakin betah di rumah. Ia pulang tepat waktu dan selalu ikut membantu mengurus bayi kecilku.Hobinya memelihara burung, semakin hari semakin menjadi. Bukan hanya satu atau burung. Kini, ia memiliki hingga dua belas ekor burung yang berharga di atas setengah jutaan.Aku tidak menghalangi atau pun melarang hobi barunya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama burung-burung kesayangan saat berada di rumah dan terlihat lebih jarang bermain gawai. Satu hal yang aku mau, Mas Fadil tidak lagi stalking atau mencari tahu tentang perempuan menakutkan itu.Aku hanya mencoba untuk berpikir positif dan ikut menikmati hobi baru Mas Fadil."Yah, kenapa beli burung banyak-banyak, kan repot ngurusinya?" tanyaku pada suatu malam, saat kami sedang bersantai bersama anak-anak."Nggak repot, kok. Burung-burung itu sebagai per
Pagi-pagi sekali, kami sudah sibuk dan bersiap untuk mengantar si sulung ke pondok. Sebelum mereka masuk pondok, ada acara serah terima dari orang tua murid kepada pihak pondok dan kami harus menghadirinya terlebih dahulu.Barang bawaan telah siap, berjejer di depan teras rumah. Si sulung tampak sudah rapi, memakai gamis abu muda dan hijab dengan warna senada."Ayo, Kak!" ajakku seraya menatapnya nanar.Luna mengangguk dengan ekspresi sedih. Sepertinya gadis kecilku, merasa berat untuk meninggalkan rumah. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, aku pun tidak mau dan tidak tega berpisah dengannya.Namun, ini adalah jalan yang terbaik untuk dirinya agar ia mendapatkan bekal agama untuk mengarungi dunia yang penuh dengan jalan yang menyesatkan.Selama dalam perjalanan, Luna banyak berdiam diri. Ia hanya menatap nanar ke luar jendela. Sedangkan anak ke dua
Setelah si sulung masuk ke pondok pesantren. Tidak banyak perubahan di dalam kehidupanku. Hari demi hari dilewati di dalam rumah. Mengurus suami dan anak. Namun, kali ini tugasku semakin banyak karena tidak ada yang membantu.Warna orange sudah tampak mengiasi cakrawala. biasanya Mas Fadil akan memberi kabar bahwa dia telah dalam perjalanan pulang namun hari itu, Mas Fadil kembali susah untuk dihubungi. Padahal hari sudah beranjak malam dan langit sudah semakin gelap.Aku mencoba menghubunginya beberapa kali tapi tidak diangkat. Aku tidak putus asa dan terus menghubungi Mas Fadil sampai ia mengangkatnya. Akhirnya, setelah sepuluh kali panggilan tidak tidak dijawab. Lelaki beranak empat itu menjawab panggilanku.Suara tawa seorang wanita samar terdengar dari balik gawai. Aku terdiam beberapa saat, perasaan kesal dan marah mulai bercokol di dalam hati.[Zahra! Kamu masih di sana?]&n
Sandikala telah nampak menghiasi cakrawala. Pertanda sang raja siang bersiap untuk segera menuju peraduan. Berganti dengan rembulan yang akan menerangi gelapnya malam. Hampir pukul 5.30 tiba-tiba layar benda pipih tampak menyala.Aku segera memeriksanya, sebuah pesan terlihat di benda pipih itu. Sebuah pesan dari Ustazah sekaligus wali kelas Luna. Dada ini sudah berdebar saat membuka pesan tersebut. Takut terjadi masalah kepada si sulung. Aku pun membaca pesan tersebut dengan hati-hati.Sebuah gambar secarik kertas yang difoto oleh ponsel berisikan tulisan Luna. Gadis kecil itu menulis beberapa pesan. Ia meminta beberapa kerudung dengan merek tertentu, cemilan, aneka snack, mie instan, sandal dan beberapa kebutuhan lainnya.Ini bukanlah pertama kalinya di sulung meminta barang untuk kami bawa saat menjenguk. Wajarlah, anak yang baru berusia dua belas tahun, harus hidup mandiri dan terpisah dari kedua or
Si sulung beranjak dari duduknya, kemudian menatap nanar ke arah diriku."Mau ke mana?" tanyaku khawatir."Ke hamam dulu, Mah," sahutnya datar, kemudian pergi meninggalkan kami menuju ke arah toilet.Entah apa yang dipikirkan Mas Fadil hingga ia tega menyakiti hati si sulung yang baru yang baru berusia dua belas tahun itu. Satu hal yang aku takutkan, si sulung menjadi tidak betah dan ingin keluar dari Pondok.Aku melirik ke arah Mas Fadil seraya mengedipkan mata agar ia berhenti untuk memarahi si sulung. Mas Fadil hanya tersenyum tipis dan tampak berhenti berbicara.Sesaat kemudian, Luna kembali dan duduk di sampingku. Matanya masih terlihat merah dengan raut muka sedih. Gadis kecil itu menjadi lebih murung dan diam. Aku merangkulnya seraya mengajak ke ruang administrasi untuk membereskan iuran tiap bulan..Sepanjang jalan,
Di luar langit tampak mendung, awan berjelaga menggantung di cakrawala. Mas Fadil sedang asik bermain bersama burung. Aku duduk santai di ruang tamu. Berselancar di dunia maya. Tiba-tiba mataku terhenti di sebuah postingan milik adik ipar.Adik kandung Mas Fadil itu memposting dirinya bersama seorang wanita yang mengenakan pakaian seksi. Aku segera melihat status istri dari lelaki itu. Dan benarlah dugaan diriku, status galau sang istri cukup menjelaskan prahara yang terjadi di antara keduanya.Sebenarnya, kabar perselingkuhan adik Mas Fadil sudah terdengar semenjak kami berkunjung ke rumah orang tua Mas Fadil beberapa waktu yang lalu. Namun, aku memilih untuk tidak terlalu menanggapinya.Kali ini, dadaku berdesir sakit saat melihat tingkah lelaki yang masih sedarah dengan Mas Fadil itu. Pasalnya, itu bukanlah pengkhianatan yang pertama. Jauh sebelum Mas Fadil mendua hati. Sang adik sudah melakukannya t