"Bagaimana tuan? apa yang harus saya lakukan?" tanya Kevin dengan nada lesu.
"Aku bisa mencoba membantumu untuk mencarinya ...."
Seperti mendapat pencerahan. Kevin menanggapi pernyataan lelaki pendiam itu dengan wajah berbinar. "Menemukan tuan Arsen? bagaimana caranya?"
"Itu mudah, asal kau tahu beberapa informasi dari ponsel milik Arsen dan asal ponselnya masih hidup."
"T-tentu tuan, tentu saja saya tahu," ucap Kevin kepada Lexi.
Kini mereka sudah berada di depan komputer milik pria berkulit sawo matang itu, sementara Lexi berkutat dengan perangkat komputernya, Kevin selalu berada di sampingnya memberitahu setiap informasi yang dibutuhkan.
"Apa kau yakin ini betul E-mail milik Arsen?"
"Iya tuan, ada apa?"
"Kenapa tidak bisa dilacak?"
"T-tidak mung
"Res ..., aku membiarkanmu menyatakan yang sebenarnya! kamu tidak tahu bagaimana kau mati! sebelum terlambat lebih baik kau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya!" Tidak ingin semakin mendidih. Jenni lantas pergi begitu saja sambil membanting pintu sampai membuat Reska tersentak. Jenni yang sedang berang berada di luar, mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Sabar jen, sabar huh." Ia mengetikkan beberapa kata di ponselnya, ingin dikirimkannya kepada Gladis namun niatnya tersebut diurungkan lagi. Kali ini dia mencoba menelpon nama yang sama, namun nomor yang dituju tidak aktif. Sedangkan dua sejoli yang sedang kasmaran kini sedang berada di luar. Arsen mengajak Gladis untuk sekedar melihat-lihat lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Mungkin ada yang bisa ia ingat. "Kita mau kemana dulu?" Gladis menjawab tanpa ragu. Tanpa memikirka
"Pesan aja makanan yang sering kita pesan," ucapan Arsen tiba-tiba kepada Gladis. Gadis berkulit putih itu sempat bingung untuk menjawab apa. Ia memberi kode kepada pramusaji tersebut. Mereka saling bertukar pandang. Pramusaji tersebut mengangguk tanda mengerti, maksud dari ucapan Gladis. "K-kami pesan menu yang sering dipesan, iya ... yang sering dipesan," ucap Gladis menekankan intonasinya pada kalimat terakhir. "Yang biasanya ya? Oke kak." Tanpa menulis Satu menu pun, Pramusaji tersebut langsung membuatkan makanan untuk mereka. "Memang biasanya kita pesan makanan apa di sini?" Gladis sebenarnya juga tidak tahu, tetapi dia yakin Arsen akan menyukainya. Gadis berambut panjang itu mengedipkan sebelah matanya. Dia menjawab pertanyaan Arsen lalu tersenyum. "Nanti kau juga tahu." Tak lama kemudian pelayan restoran itu datang membawa, beberapa macam
"Sayang, siapa dia?" Belum sempat Gladis menjawab pertanyaan Arsen. Jenni langsung masuk dan duduk di depan Arsen. Dia mengulurkan tangannya dan disambut oleh Arsen. "Apa Anda tidak mengenaliku?" Wajah berbinar tersirat dari roman Jenni. Dia juga salah satu murid yang mengagumi sosok Arsen Saat kuliah dulu. Pertanyaannya hanya dijawab gelengan kepala oleh Arsen. "Saya ...." Belum selesai ucapan wanita bermata sipit itu, lengannya sudah ditarik oleh Gladis. sambil tersenyum kearah Arsen, ia menyeret Jenni ke arah luar. "Sebentar ya sayang," kata Gladis. Jenni yang mendengar kata sayang keluar begitu saja dari mulut sahabatnya itu. Dia menghentikan tarikkan Gladis. Dengan mata sipitnya ia menatap tajam sahabat karibnya itu dan berkata, "Kau berhutang penjelasan kepadaku!" dengan suara pelan tetapi penuh penekanan. Yang d
Kevin malah mematung di depan Melinda. Karena terlalu banyak beban yang dipikirkannya. Dia sampai tidak tahu harus berbuat apa. "Apa aku merepotkanmu?" Pertanyaan Melinda seakan membuatnya tersadar. Kevin cepat-cepat mengambil tisu untuk ratu cencala tersebut dan menyuruhnya melepaskan sepatu yang basah itu. Namun Melinda malah membentaknya, "Kau mau kakiku ini tambah kotor!? kalau menginjak lantai tanpa alas bisa-bisa kakiku jadi gatal, huh, menyebalkan!" Gadis berambut keriting itu kemudian membuang muka. Sambil menyilangkan tangannya, membuat Kevin menghela nafas dalam. Dia hanya bisa memaki di dalam batinnya. 'Sialan! baru kena air di sepatunya aja omelannya udah kaya ratu, kalau mau udah gue guyur satu badannya biar tahu rasa!' Kevin duduk berjongkok di hadapan Melinda, dengan satu lututnya menempel di lantai. Dia menggunakan lutut yang satunya untuk dijad
"Bisa kau Jelaskan apa yang sedang terjadi di sana! apa kalian sudah bosan hidup? hah!" suara bentakan pria di teleponnya. Seketika Steve melihat lagi layar ponselnya. Dengan mata yang masih menahan kantuk. Dia sangat terkejut ketika melihat siapa si penelpon tersebut. Ayahnya kembali berbicara dengan nada kesal. "Apa kau masih hidup?! kenapa diam saja?! aku sedang bicara dengan bekas anakku sekarang!" "A-apa yang sedang kau bicarakan dad? Aku tidak tahu maksudmu?" Steve yang tadinya mengantuk, kini benar-benar langsung sadar. Dia sebenarnya tahu apa yang dimaksud ayahnya. Ia hanya tidak menyangka ayahnya akan tahu secepat ini. 'Bagaimana dia bisa tau cepat ini? bahkan lebih cepat dari perbedaan waktu antar negara yang kita tempati sekarang? ya, Tuhan selamatkan hidupku!' gumamnya dalam hati. Dia bingung harus menjawab apa. "Kau bisa jelas
"Oh, iya pak, maaf mengganggu waktunya, silakan berkeliling lagi pak." ucap Arsen sopan. Bukan mendapat jawaban yang diharapkan. Arsen malah mendapat informasi lain yang membuatnya berprasangka buruk. Dia terus memikirkan pernyataan yang diucapkan oleh tukang sayur tersebut. Pria berkulit putih itu kembali masuk kedalam rumah, ia mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia mencari-cari barang yang ada di rumah itu. Mencari tahu sesuatu yang mungkin bisa dijadikan petunjuk, untuk mengetahui benar atau tidak perkataan tukang sayur yang suka julid tersebut. Ia akhirnya menemukan album foto kecil di almari yang berada di ruang tamu. Arsen melihat album tersebut. Hanya berisi foto-foto Gladis saat ia masih kecil bersama ibunya. Arsen terus membuka album tersebut sampai ke halaman terakhir. Dia menemukan 2 lembar foto Gladis saat remaja. Satu lembar foto Gladis bersama pria berambut gondrong, tubuh berotot, me
Reska hanya bisa menelan ludah mendengar fakta yang akan terjadi. "Ah, haha ... nona anda sangat murah hati ...." Tak ingin mengobrol lama dengan orang bodoh. Jenni langsung menutup telepon tanpa membiarkan Reska menyelesaikan ucapannya. Tiba-tiba Jenni dikejutkan dengan kedatangan Gladis yang belingsatan, karena mendengar informasi jika proyek yang ia kejar di Bali tiba-tiba dibatalkan. Dia juga ingin menginformasikan hal ini kepada Reska, namun gadis berparas ayu itu tidak bisa menghubunginya. Dengan nafas masih terengah-engah. Gladis menghampiri Jenni yang masih duduk di kursinya. "Kamu sudah tahu?" Yang ditanya masih duduk tenang di kursinya. Jenni hanya mendengus kesal sambil memijit pelipisnya. Gladis kembali bertanya untuk memastikan, "kok bisa loh?" "kamu yang rapat ke sana! kamu yang ikut bos kesana! kenapa malah tanya gue? makanya jangan asyik pacara
Sekilas Kevin melihat bayangan di belakangnya. Kemudian asisten jangkung itu langsung menoleh ke belakang, ke arah Gladis. Untung saja Gladis sudah pergi dan kembali masuk ke ruang rapat saat Kevin sudah selesai berbicara. Sementara Arsen yang sedang duduk, sambil melihat ponselnya. Menunggu balasan dari Gladis namun nihil. "Apa dia benar-benar sedang sibuk? kenapa cuma dibaca aja chat-ku? padahal aku pengen tanya siapa laki-laki itu!" Arsen mengambil buku di hadapannya. Lalu mengibas-ngibaskan buku itu. Ia masih terus menggerutu, "AC nyala, tapi kok badanku masih panas aja ya? ini aku yang gerah atau memang cuacanya?" Arsen bersandar di kursi, masih memikirkan Gadis pujaannya bersama pria bertato yang saat ini membuatnya gusar. Dia mengambil lagi ponselnya. Mengangkat ke atas dan mengayunkannya. Berharap segera mendapat balasan. "Apa sinyalnya ya? tapi ini penuh kok."&nbs