Share

ADA BAYI SEPULANG DARI LUAR NEGERI
ADA BAYI SEPULANG DARI LUAR NEGERI
Author: ananda zhia

bab 1. Tendangan Maut Sang Istri

"Naimah? Ka-kamu sudah pulang?" tanya mertuaku kaget.

"Iya Bu. Saya kangen dengan Mas Larsono. Kemana dia sekarang?"

Ibu mertuaku tampak menatapku lama. "Kamu duduk dulu. Ibu buatin teh dulu ya."

Aku melebarkan pandangan mata ke arah rumah. "Wah rumah ini semakin bagus ya. Alhamdulillah, ternyata uang dari saya ada gunanya."

"Itu kamar mas Larsono kan? Nggak banyak berubah ya?" tanyaku seraya menunjuk ke sebuah kamar yang dekat dengan ruang tengah.

Aku berdiri dari ruang tamu dan melangkah menuju kamarku dan Mas Larsono yang telah kutinggalkan selama lima tahun.

"Jangan! Mau apa kamu kesana?" tanya mertuaku kaget sambil menarik lengan ku.

"Lho, Bu. Rumah ini kan rumahku?! Walaupun sudah kutinggal selama 5 tahun, tapi rumah ini tetap rumahku kan? Masa aku nggak boleh ke kamar tidurku sendiri?"

"Nanti. Kamu nunggu Larsono saja!" ketus mertuaku.

Aku mengerutkan dahi.

"Kenapa? Apa ada yang kalian sembunyikan?!"

"Eng-gak ada. Nanti nunggu Larsono pulang dulu!"

Aku menghela nafas kesal. "Bu, saya itu capek lho. Datang dari luar negeri dan langsung ke rumah untuk ketemu dengan mas Larsono tapi kok malah seperti ini sambutan nya?"

Belum sempat ibu mertuaku menyahut, aku langsung berlari menuju ke kamarku.

"Naimah!"

"Astaghfirullah, apa ini? Siapa tinggal disini?" tanyaku bingung.

Niatku memberikan surprise tapi ternyata aku yang terkejut melihat aneka baju, bedong, dan popok bayi teronggok di kasur.

"Ini punya siapa, Buk? Nggak mungkin kalau punya Danang kan? Danang pasti sudah berusia 7 tahun!" teriakku membuat mertuaku terkejut.

"Tunggu, Nai. Jangan marah-marah dulu. Kita nunggu kedatangan Larsono ya?"

"Kalau benar mas Larsono nikah lagi saat saya di luar negeri, saya akan mengusir kalian semua!"

Wajah mertuaku memucat. Dan sebelum sempat menanggapinya, terdengar suara dari arah depan.

"Danang pulang, Nek!"

Danang dan aku terdiam sekian detik. Lalu bibir kecilnya menyuarakan namaku.

"Ibuk?!"

"Iya sayang. Ini Ibuk."

Aku berlutut menyamai tinggi Danang. Bocah itu terlihat ragu saat menghampiriku.

"Ini Ibu, Nang. Kan kita sering video call!"

Aku memeluk nya lebih dulu. Dan Danang balas memelukku erat.

"Ibuk, Danang kangen!"

"Ibuk juga, Sayang. Mana bapakmu?"

"Mungkin sedang mengajak adek bayi jalan-jalan."

"Adek bayi?"

"Iya. Lucu sekali adeknya. Cantik!"

Sebelum aku sempat menanggapi, terdengar suara dari arah pintu. Suara mas Larsono.

"Assalamualaikum. Lho, Nai .. mah?"

Aku pun juga kaget karena bayi yang digendong mas Larsono.

"Mas! Anak siapa yang kamu gendong itu?!" seruku marah.

Dan aku lebih marah lagi saat melihat seorang perempuan di belakang mas Larsono.

"Dia anakku dengan mas Larsono, Mbak," sahut Titin, adik kandungku.

Aku segera maju dan mendekat ke arah mas Larsono lalu menampar pipinya.

Plakkk!

Dan menghantam organ intimnya!

Hakdesh!

"Aawww!" jerit mas Larsono memegang organ intimnya dengan kanan. Tangan kirinya yang memegang bayi oleng.

"Abang!"

Titin menangkap tubuh mas Larsono sedangkan mertuaku menangkap bayi Titin. Mertuaku segera menjauh dengan bayi dalam gendongannya.

Ada yang meremas hati saat melihat persatuan mereka. Aku yang sengaja memberi kejutan dengan pulang beberapa bulan lebih cepat dari waktu kujanjikan, ternyata aku yang terkejut dengan perbuatan mas Larsono. Jadi seperti ini rasanya dikhianati. Dimanfaatkan dan ditusuk dari belakang. Sakit. Ya Tuhan! Sungguh sakit.

Aku maju dan mengangkat tanganku hendak menampar pipi mas Larsono yang sedang duduk kesakitan menutup area intimnya.

Tapi dengan kasar, Mas Larsono menepis tanganku dengan satu tangan.

"Kenapa nggak mau ditampar lagi, ha?Sakit kah rasanya?! Asal kamu tahu, sakit nya tamparan pipi dan bu rung kamu gak separah sakit hatiku!" teriakku kencang.

"Mbak! Yang sopan ngomong sama mas Larsono!" seru Titin.

Plaakk!

Plakkkk!

"Aduh!"

Segera kulayangkan tamparan pula kedua pipi adikku. Dia meringis menahan sakit.

"Hentikan! Jangan kasar kamu sama adik kamu!" Mas Larsono memeluk Titin di depanku.

"Astaga! Kalian semua gi la atau nggak punya hati? Aku siang malam capek cari uang, kalian malah kawin?? Ceraikan aku sekarang dan pergi dari rumah ku!"

"Kita memang sudah resmi berpisah, Nai."

Aku mendelik. "Kapan?! Jangan-jangan kamu ..!"

"Ya, aku mengurus cerai ghaib di pengadilan agama melalui bantuan temanku yang pengacara. Kalau tidak percaya, aku punya akta cerai kita." Mas Larsono menyeringai lebar.

"Iya Mbak. Kita sudah menikah secara sah."

"Kamu pergi terlalu lama, Nai. Aku butuh nafkah batin, dan kamu tidak bisa memberikannya!"

"Heh, jaga mulut kamu, Mas. Kamu yang dulu menyuruh aku jadi TKW. Dan kamu akan setia menungguku pulang dengan merawat Danang, kenapa sekarang kamu nyalahin aku?!?

Kalau aku tahu kamu bakal kawin sama adikku, mending kamu aja dulu yang kerja keluar negeri!"

"Kenapa harus aku yang kerja di luar negeri? Lebih baik aku di rumah dan nunggu duit dari kamu untuk bangun warung sembako. Buat apa punya istri tangguh kalau nggak dikirim kerja ke luar negeri?" tanya mas Larsono penuh kemenangan.

"Kamu!"

Aku menjambak rambutnya sekuat tenaga dengan gerakan cepat kuarahkan kepalanya ke arah lututku.

Buaakkh!

Mas Larsono terhuyung sejenak. Namun kemudian, mas Larsono segera menangkap pergelangan tanganku dan menghempaskan tubuhku ke lantai. Matanya melotot.

"Hentikan! Kamu istri yang bar-bar dan tidak berpendidikan. Beda sekali dengan Titin. Lihat Danang, dia sampai ketakutan!"

Dadaku sesak. Mataku memanas. Kutahan agar tak tumpah sekuat mungkin. Aku beringsut memeluk Danang. Menenangkannya yang terlihat bingung.

"Aku bar-bar katamu? Nggak berpendidikan katamu? Lihatlah, istri yang tidak berpendidikan ini yang bekerja keras menghidupi kalian. Kalian makan dari hasil kerja kerasku. Pergi kalian dari sini!"

Mas Larsono tersenyum aneh. "Kita memang akan segera pergi. Tapi asal kamu ingat, Nai, kamu sudah memberikan banyak uang untuk kami.

Aku bisa membuat toko sembako kecil dan beli mobil walaupun masih nyicil dengan uang yang kamu berikan padaku. Hahaha, terimakasih ya!"

Lelaki itu kemudian menatap ke arah Titin dan mertuanya. Sedangkan aku terdiam mematung.

Titin dan mantan mertuaku segera menuju ke kamar masing-masing untuk berkemas meninggalkan rumah.

Aku melepas pelukanku dari Danang dan menuju ke arah mas Larsono. Aku menatap matanya lekat dan berbisik lirih.

"Asyu kamu, Mas. Sekarang kamu mungkin saja merasa menang. Tapi itu takkan lama, aku nggak rela kalau hasil kerja kerasku dinikmati oleh kalian. Aku akan mendapatkan hasil kerja kerasku. Kamu lihat saja nanti, Mas!"

Mas Larsono terlihat terkejut, tapi tak lama kemudian dia tersenyum.

"Jangan hanya besar omongan dan menggertakku, Nai. Kamu kira aku takut dengan ancaman kamu?"

"Kita lihat saja nanti, Mas! Aku tidak akan minta pada Tuhan untuk memberikan karma padamu. Tapi aku lah yang akan membuat karma datang padamu!"

"Bang, kami sudah siap." Terdengar suara Titin mendayu seraya menyeret kopernya. Dan mantan mertuaku yang juga keluar dari kamarnya.

"Apa baju Danang juga sudah dikemas?" tanya mas Larsono pada Titin.

"Jangan ngimpi kalau Danang akan ikut kamu. Danang akan ikut aku!"

"Oh ya? Jangan terlalu percaya diri, Nai."

Mas Larsono mendekat ke arah Danang yang terdiam dan kebingungan.

"Sayang, kamu pilih ikut bapak dengan tante dan nenek, atau kamu tetap tinggal di sini dengan ibu kamu?"

Next?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
binatang dan biadab
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status