Emma terperangah. Wah, banyak juga ya duit, pikirnya ragu. Dia masih bingung harus berbuat apa. Jika dia menyetujui permintaan Desri berarti hubungan persahabatannya dengan Adriana akan merenggang. Tapi uang lima puluh juta sangat menggiurkan. Dia belum tentu bisa mengumpulkan uang segitu banyak selama setahun bekerja di spa house ini. Mana sebentar lagi lebaran. Emma harus mudik dan menyiapkan semua kebutuhan keluarganya di desa. Gadis manis itu melanjutkan memijat Desri sesuai prosedur pekerjaan. Dia belum bisa memutuskan mau memilih untuk deal atau menolak permintaan client barunya. "Iya, Mbak! Itu tuh mantap banget. Udah sejak kemarin pegelnya minta ampun di pundak." Desri terdengar menggumam. "Emang Mbaknya sering berlama-lama gitu angkat berat? Atau sering bawa beban gitu ya?" selidik Emma sembari melaksanakan tugasnya dengan santai. "Enggak juga. Saya cuma seneng motoran!" sahut Desri santai. "Emang tadi ke sini naik motor, Mbak?" Emma mulai memijat bagian tangan Desri ya
Pandangan Dante mulai terasa berkunang-kunang. Lelaki berparas tampan itu akhirnya berpamitan pada rekan bisnisnya. Sejak sore tadi mereka mengadakan pesta di sebuah kafe ternama. Alkohol menjadi pilihan mereka untuk bersenang-senang. "Aku pamit deh, Wan!" ucap Dante seraya memegang pelipisnya kencang. "Aman gak tuh di jalan?" Gunawan mencoba memastikan kondisi Dante yang tampak berjalan sempoyongan. "Aman!" Dante mengulurkan jempolnya pada lelaki berkacamata yang mengajaknya pesta di kafe sejak tadi. Gegas lelaki bertubuh tinggi itu menarik langkah keluar dari kafe. Dante mencoba agar tetap menyeimbangkan tubuhnya yang mulai oleng. Malam telah menua. Tiupan angin perlahan menerpa tubuh Dante hingga matanya sedikit terpejam. Rasa sejuk yang dihembuskan semilir angin, membuatnya ingin segera memejamkan matanya saja. Dante membuka pintu mobil. Dia segera menghempaskan tubuhnya di kursi kemudi. Untuk sejenak Dante mengikuti saja keinginan matanya yang sudah sangat lelah. Dia terlel
Bias mentari pagi menyembul dari balik tirai. Adriana tersadar setelah hangat cahaya mentari menerpa wajahnya. Dante tampak masih pulas di sampingnya. Dengkuran halus lelaki berparas tampan itu membuat Adriana bangkit dari ranjang kemudian duduk sembari bersandar menegakkan kepala. Mendadak bola mata Adriana menghangat, bulir-bulir bening mulai berdesakan ingin keluar dari kelopak mata. Adriana menangisi perbuatannya dengan Dante tadi malam. Dia menyesal telah memberi mahkota berharga miliknya begitu saja pada Dante. Dante berhasil membuat ia melayang hingga lupa begitu saja dengan tujuan awalnya di rumah ini. Nyonya Wanda hanya meminta untuk berpura-pura menjadi Zoya. Bukan malah menjadi pelampiasan nafsu Dante yang sangat mencintai Zoya. Adriana menarik-narik rambutnya dengan keras. Dia menyesal sudah melakukan perbuatan sial itu tadi malam. Harusnya mahkota berharga itu dia berikan ke orang yang pantas. Sosok lelaki yang telah menghalalkannya kelak. Bukan Dante! Bulir-bulir ben
Adriana kembali menangisi kondisinya yang semakin terpuruk. Dia tidak sanggup untuk terus bertahan di rumah besar ini dengan segala perdebatan yang berkelebat dalam benaknya. Suara deru mobil dari arah luar membuatnya menoleh. Dante tampak menyalakan mesin mobil sembari menginjak gas dengan kencang. Berkali-kali deru mesin terdengar memekakkan telinga. Adriana hanya melirik ke arah jendela tanpa mau tahu kelanjutannya. Setelah cukup puas membuat bising di halaman rumah, akhirnya Dante melajukan kendaraan beroda empat miliknya keluar dari rumah. Lelaki berparas tampan itu juga bingung ke mana arah dan tujuannya. Yang penting saat ini, dia hanya ingin menghabiskan waktu tanpa Zoya yang menyebalkan. Adriana masih terpaku di dalam kamarnya. Dia mengutuk dirinya sendiri yang sangat teledor membiarkan Dante sesuka hati menguasai tubuhnya. Tangis gadis muda semakin kuat. Rahangnya mengeras hingga tangannya terkepal sempurna. Dia harus segera keluar dari rumah besar ini. Gegas gadis berpa
Kabut tipis mendadak turun di pagi yang sejuk ini. Adriana tampak menggeliat di atas ranjangnya. Gadis muda berambut panjang itu tampak lebih segar dari semalam. Berkumpul dengan keluarga adalah obat terbaik bagi dirinya. Perlahan Adriana mulai bisa menata hatinya yang terluka. Gadis muda itu bergegas bangkit dari ranjang kemudian beranjak keluar. Ibu tampak masih sibuk di dapur dengan sejumlah rutinitasnya. Sementara Bapak terlihat duduk di meja makan sembari menikmati secangkir kopi yang asapnya masih mengepul tipis. Berita di layar televisi menjadi santapan harian setiap paginya. "Na! Baru bangun, Nduk?" tegur wanita berkerudung itu pada putrinya. "Iya, Bu!" Adriana bergegas menarik langkahnya menuju dapur. Tungku masak di dapur tampak penuh dengan asap. Pagi ini ibu membuat serabi. Adriana melongok ke arah tungku pembakaran. Gadis muda itu sama sekali tidak memiliki keahlian seperti ibunya. Sejak kecil dia terbiasa dimanja karena Ibu dan Bapak hanya memiliki Adriana sebagai p
Langkah Adriana terhenti di depan gerbang utama. Seorang lelaki berseragam tampak melongo ke arah gadis muda itu dengan tatapan aneh. "Pak, tolong buka pagarnya. Saya mau masuk," ucap Adriana sedikit tenang. "Ohh, iya, Non. Maaf saya kaget lihat Non tiba-tiba udah muncul di depan pagar," sahut lelaki berseragam tersebut. "Bapak yang melamun tuh. Saya kan turun dari taksi tadi," timpal Adriana seraya menyugar rambutnya ke belakang. Setelah kunci dibuka akhirnya gerbang terbuka. Adriana melangkahkan kaki menuju rumah besar milik Nyonya Wanda. Suasana rumah tampak sepi, Adriana bergegas menarik langkah menuju kamarnya. Gadis muda itu menekan handel pintu lalu mendorongnya perlahan. "Baru pulang, Adriana?" tanya Nyonya Wanda dari arah belakang. "Eum, Nyonya?" Adriana memutar tubuhnya. "Iya, dari tadi saya nungguin kamu di sini." Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu meremas jemarinya. Adriana segera beranjak dari depan kamar kemudian menghampiri wanita paruh baya di had
"Kemana lagi, Non?" tanya penjaga gerbang dengan keheranan. "Ke rumah teman, Pak. Maaf ya saya ngerepotin buka tutup pagar terus." Kali ini Adriana terlihat lebih fresh dari sebelumnya"Udah izin sama Nyonya Wanda?" Penjaga berseragam itu masih melayangkan pertanyaannya. "Udah, Pak!" kelit Adriana. Gadis muda itu bisa berpamitan pada Nyonya baik itu sembari di jalan nanti, pikir Adriana agar lebih praktis. Sebuah mobil berwarna hitam akhirnya tiba tepat di depan Adriana. Gadis muda itu segera masuk dan menikmati perjalanan ke rumah kontrakan Emma. Biasanya jarak tempuh hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas hingga dua puluh menit saja untuk tiba di kontrakan Emma. Namun, kali ini terasa begitu lama. Jalanan terlihat padat, karena saat sore begini adalah waktunya para pekerja pulang dari kantor. Dering panggilan ponsel Adriana kembali terdengar. Gadis cantik yang memakai baju kaus dengan leher rendah yang dipadukan dengan rok denim sepanjang betis itu merogoh tas selempangnya
"Gimana? Beres?" tanya Desri pada Emma di sela-sela pekerjaannya. "Beres!" Emma menjawab ragu. Ada sesak dalam dadanya mengingat pengkhianatannya terhadap Adriana.. "Satu jam lagi hasil rekamannya aku ambil di mana?" desak Desri cepat. "Di tempat biasa. Nanti kalau kamu udah dekat japri, biar aku keluar nunggu di parkiran," jawab Emma mencoba menguatkan hati."Oke! Aku ondeway!" Desri bergegas menutup panggilan.Gadis tomboy itu segera keluar dari kamar sembari menyambar kunci motor. Desri tampak memasang helm untuk kemudian menyalakan mesin. Tidak lupa dia memakai jaket kulit kesayangan. Gadis berambut cepak itu tampak lihai beradu tanding dengan pengendara motor di jalan raya. Kali ini dia tidak perlu berpura-pura lagi menjadi wanita feminim. Emma telah mengenal Desri dengan outfit sehari-harinya. Matahari tampak bersinar terik siang ini. Desri berdecak kesal melihat tangki minyak motornya ternyata hampir habis. Gadis yang memakai jaket kulit itu akhirnya membelokkan motor spor