Dering ponsel Desri membuat gadis tomboy itu menghela napasnya. Panggilan dari Emma membuat wajahnya mengerut. "Gimana, Des? Rekamannya oke 'kan?" Suara Emma terdengar cukup kuat. Gadis manis itu sepertinya sedang berada di luar kantornya. Suara kendaraan terdengar bercampur baru dengan suara bising lainnya. "Ck! Kamu tuh ya, paling gak bisa lihat aku santai sebentar." Desri berdecak kesal. "Ya maaf. Aku hanya meminta hakku saja, Des." Suara Emma mulai terdengar lebih rendah. "Yaudah, matikan dulu nih telponnya. Biar aku transfer sisanya sekarang," titah Desri sembari memutar bola matanya. "Oke, Des!" Wanita berparas manis itu mengikuti perintah Desri segera. Gadis tomboy itu bergegas menunaikan tugasnya membayar sisa upah Emma atas pekerjaannya. Sebuah pesan manis dari Emma kemudian mendarat di ponsel Desri. Gadis tomboy itu mencebik lirih. "Dah beres kerjaan kamu, Des?" Zoya menoleh pada Desri perlahan. "Udah nih. Ini bayaran untuk Emma lunas." Desri melaporkan tugasnya pa
Tania, sekertaris Dante masuk ke ruang kerja atasannya. Setelah mengetuk pintu tanpa jawaban, Tania memberanikan diri untuk masuk karena beberapa berkas butuh tanda tangan Dante segera.Langkah kakinya terlihat santai hingga dia menemukan lelaki berparas tampan itu telah tergeletak di lantai. Posisi tangan Dante masih terlihat memegang kepala.Wanita bertubuh molek dan berpenampilan elegan itu langsung berteriak melihat atasannya yang pingsan. Tania segera berlari ke luar ruangan seraya menghubungi Nyonya Wanda dengan ponselnya. Hingga petugas keamanan akhirnya muncul menggotong Dante agar diletakkan di atas sofa. Dalam waktu hanya beberapa menit Nyonya Wanda tiba di ruang kerja Dante dan mencoba untuk mengembalikan kesadaran putranya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tampak panik. Bulir-bulir bening mulai berdesakan dari kelopak matanya. Adriana memberanikan diri untuk masuk dan menghampiri Nyonya Wanda. Gadis muda itu tampak mengelus pundak wanita yang tengah tergug
Pintu ruang UGD terbuka lebar. Sebuah brankar keluar diantar oleh beberapa perawat berseragam putih. Seorang lelaki berkacamata juga keluar dari ruangan dengan langkah santai. Nyonya Wanda bangkit dari duduk kemudian menghampiri lelaki bertubuh tambun yang tak lain adalah Dokter Gading tersebut."Bagaimana kondisi Dante, Dok?" selidik Nyonya Wanda dengan tatapan cemas.Dokter berkacamata itu tampak menarik langkah seiring dengan arah brankar maju."Dante telah melewati masa kritisnya. Distraksi yang terjadi dalam kepalanya bisa memicu pada dua kondisi. Amnesia Dante sembuh atau semakin parah." Dokter berkacamata itu menghentikan langkah kakinya. Brankar bergerak melambat. Kamar perawatan untuk Dante telah berada di depan mata. Adriana terlihat khawatir sambil meremas jemarinya erat. Gadis muda itu mengikuti para perawat yang membawa brankar Dante ke dalam kamar perawatan. Sementara Nyonya Wanda masih terlihat sibuk berbincang dengan dokter tambun di depan kamar. Adriana menemani D
"Terima kasih, Adriana!" Nyonya Wanda memeluk gadis muda di sampingnya. Kedua wanita berbeda umur itu tampak saling terisak menahan gejolak di dada. Nyonya Wanda merasa tertolong dengan sikap Adriana yang mau menuruti pintanya. Sementara Adriana mulai mengeraskan hati agar siap menerima apa pun yang terjadi saat Dante sadar nanti. Untuk beberapa lama kedua wanita itu larut dalam rasa pilu yang berbeda. Adriana mengurai pelukannya. Sementara Nyonya Wanda tampak menyusut tangisnya. "Dante belum juga sadar. Saya khawatir dengan kondisinya nanti, Adriana." Wanita paruh baya itu kembali terisak. "Saya yakin Pak Dante akan segera pulih, Nyonya. Kita tinggal menunggu waktu dia sadar." Adriana mengelus pundak Nyonya Wanda lembut. Dering ponsel milik Nyonya Wanda berbunyi. Wanita paruh baya itu merogoh tas jinjing sembari mengerutkan kening. Panggilan dari Zoya tersemat di layar enam inci miliknya. "Gimana, Tante?" Suara Zoya terdengar mengintimidasi. "Kurang ajar kamu, Zoya!" Nyonya Wan
Dante berteriak-teriak sambil terus memegang kepala. Emosinya semakin meledak saat melihat Nyonya Wanda juga berada seruangan dengannya. Kedua petugas kesehatan yang bertugas saat itu berusaha menenangkan kondisi Dante. Mungkin karena terlalu syok, lelaki berparas tampan itu kembali tidak sadarkan diri. Adriana merengkuh tubuh rapuh Nyonya Wanda agar sedikit lebih tenang. Bulir-bulir di pipinya juga telah menerobos sudut mata dengan cepat. Setidaknya gadis muda itu pernah merasakan kebahagiaan bersama Dante. Namun, Kata-kata Dante barusan membuat Adriana sadar, bahwa rasa yang dia semai telah membuat nyeri hatinya. Seorang perawat datang bersama Dokter Gading dengan langkah bergegas."Pasien mengamuk dan baru saja pingsan satu menit yang lalu, Dok!" Seorang perawat yang mendampingi Dante memberikan laporan. "Siapa yang dia lihat pertama kali saat sadar?"selidik dokter berseragam putih itu seraya membetulkan letak kacamatanya. Perlahan Adriana melepas pelukannya pada Nyonya Wand
Untuk beberapa detik kondisi Adriana masih terlihat syok. Kedua matanya membulat, seiring dengan mulutnya yang ikut terperangah.Sejak kapan Emma berhubungan dengan Zoya? Apa mungkin video yang dikirim ke Dante tadi pagi atas prakarsa Emma? Adriana menghela napasnya kasar. Gegas gadis berambut panjang itu bangkit dari tempat tidur Emma. Adriana segera menyambar sling bag dan menyampirkan ke pundak. Ia harus menemui Emma sekarang juga. Bagaimana bisa sahabatnya itu berbuat nekat dengan menusuknya dari belakang? Adriana membetulkan posisi berdirinya. Gegas dia menarik langkah kakinya dari kamar Emma. Belum sampai di depan pintu utama, langkah Adriana terhenti. Sosok Emma telah berada di hadapannya tiba-tiba. "Cepat amat kamu pulang, Ma?" Adriana memutar bola matanya. "A-aku khawatir dengan kamu, Na!" Emma segera merangsek masuk seraya menarik lengan sahabatnya. "Khawatir kalau aku tau, kamu udah berkhianat? Iya?" Adriana menepis genggaman Emma seraya menyampaikan kekesalannya. "A
"Udahlah, Ma! Kamu gak usah mengarang bebas lagi. Aku nggak sudi menerima alassn apa pun untuk membenarkan sebuah pengkhiantan. Semuanya udah jelas sekarang. Sampai kapan pun tolong jangan kamu coba untuk cari keberadaan aku lagi. Aku gak bisa bersahabat dengan orang munafik seperti kamu!" Adriana segera memutar tubuhnya. Gadis cantik berambut panjang itu segera menarik langkahnya keluar dari kontrakan Emma. Melihat kegusaran Adriana, Emma semakin merasa bersalah. Dia bergegas mengejar Adriana untuk meminta maaf. "Na! Tunggu dong!" Emma menyentuh pundak Adriana hingga membuat gadis berambut panjang itu menoleh. "Apa lagi sih? Ck!" Adriana mencebik kesal. "Aku minta maaf, Na! Tolong kamu tidak cerita semua perbuatan aku ini ke orang kampung, Na. Aku malu." Emma meremas jemarinya erat. "Ohh karena itu kamu menahan aku?""Bu-bukan begitu, Adriana." Emma tampak semakin kusut. Mulutnya tertutup rapat. Sementara tubuhnya bergeming mendengar ucapan yang disampaikan oleh Adriana. Ada seb
Hari telah hampir sore. Namun, bias terik mentari masih terasa menyengat di kulit. Jalanan menuju rumah kostan yang dijanjikan Mama Ami masih belum juga tampak. Sesekali mereka saling berbagi cerita mengenai keseharian dan kisah-kisah lucu lainnya. Adriana merasa terhibur dengan banyolan segar dari Mama Ami dan putrinya. Mama Ami menghentikan langkahnya. Dia tampak memindai ke sekeliling. Sebuah rumah besar bertingkat tampak berdiri megah di dekat mereka. Pagar tinggi yang menutup rumah bertingkat itu tampak terbuka sedikit. Mama Ami segera menarik tangan Adriana untuk mengikuti langkahnya. Dia segera menuntun gadis muda itu ke sebuah rumah yang berada tepat di samping pagar besar dengan halaman mungilnya. Wanita paruh baya itu mengetuk pintu perlahan. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya seorang wanita berkerudung muncul dari balik pintu. Adriana dan Mama Ami dipersilahkan masuk untuk berbincang mengenai harga sewa kost yang dia punya. "Jadi nama kamu Adriana ya, Nak?" Wani