Kabut tipis mendadak turun di pagi yang sejuk ini. Adriana tampak menggeliat di atas ranjangnya. Gadis muda berambut panjang itu tampak lebih segar dari semalam. Berkumpul dengan keluarga adalah obat terbaik bagi dirinya. Perlahan Adriana mulai bisa menata hatinya yang terluka. Gadis muda itu bergegas bangkit dari ranjang kemudian beranjak keluar. Ibu tampak masih sibuk di dapur dengan sejumlah rutinitasnya. Sementara Bapak terlihat duduk di meja makan sembari menikmati secangkir kopi yang asapnya masih mengepul tipis. Berita di layar televisi menjadi santapan harian setiap paginya. "Na! Baru bangun, Nduk?" tegur wanita berkerudung itu pada putrinya. "Iya, Bu!" Adriana bergegas menarik langkahnya menuju dapur. Tungku masak di dapur tampak penuh dengan asap. Pagi ini ibu membuat serabi. Adriana melongok ke arah tungku pembakaran. Gadis muda itu sama sekali tidak memiliki keahlian seperti ibunya. Sejak kecil dia terbiasa dimanja karena Ibu dan Bapak hanya memiliki Adriana sebagai p
Langkah Adriana terhenti di depan gerbang utama. Seorang lelaki berseragam tampak melongo ke arah gadis muda itu dengan tatapan aneh. "Pak, tolong buka pagarnya. Saya mau masuk," ucap Adriana sedikit tenang. "Ohh, iya, Non. Maaf saya kaget lihat Non tiba-tiba udah muncul di depan pagar," sahut lelaki berseragam tersebut. "Bapak yang melamun tuh. Saya kan turun dari taksi tadi," timpal Adriana seraya menyugar rambutnya ke belakang. Setelah kunci dibuka akhirnya gerbang terbuka. Adriana melangkahkan kaki menuju rumah besar milik Nyonya Wanda. Suasana rumah tampak sepi, Adriana bergegas menarik langkah menuju kamarnya. Gadis muda itu menekan handel pintu lalu mendorongnya perlahan. "Baru pulang, Adriana?" tanya Nyonya Wanda dari arah belakang. "Eum, Nyonya?" Adriana memutar tubuhnya. "Iya, dari tadi saya nungguin kamu di sini." Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu meremas jemarinya. Adriana segera beranjak dari depan kamar kemudian menghampiri wanita paruh baya di had
"Kemana lagi, Non?" tanya penjaga gerbang dengan keheranan. "Ke rumah teman, Pak. Maaf ya saya ngerepotin buka tutup pagar terus." Kali ini Adriana terlihat lebih fresh dari sebelumnya"Udah izin sama Nyonya Wanda?" Penjaga berseragam itu masih melayangkan pertanyaannya. "Udah, Pak!" kelit Adriana. Gadis muda itu bisa berpamitan pada Nyonya baik itu sembari di jalan nanti, pikir Adriana agar lebih praktis. Sebuah mobil berwarna hitam akhirnya tiba tepat di depan Adriana. Gadis muda itu segera masuk dan menikmati perjalanan ke rumah kontrakan Emma. Biasanya jarak tempuh hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas hingga dua puluh menit saja untuk tiba di kontrakan Emma. Namun, kali ini terasa begitu lama. Jalanan terlihat padat, karena saat sore begini adalah waktunya para pekerja pulang dari kantor. Dering panggilan ponsel Adriana kembali terdengar. Gadis cantik yang memakai baju kaus dengan leher rendah yang dipadukan dengan rok denim sepanjang betis itu merogoh tas selempangnya
"Gimana? Beres?" tanya Desri pada Emma di sela-sela pekerjaannya. "Beres!" Emma menjawab ragu. Ada sesak dalam dadanya mengingat pengkhianatannya terhadap Adriana.. "Satu jam lagi hasil rekamannya aku ambil di mana?" desak Desri cepat. "Di tempat biasa. Nanti kalau kamu udah dekat japri, biar aku keluar nunggu di parkiran," jawab Emma mencoba menguatkan hati."Oke! Aku ondeway!" Desri bergegas menutup panggilan.Gadis tomboy itu segera keluar dari kamar sembari menyambar kunci motor. Desri tampak memasang helm untuk kemudian menyalakan mesin. Tidak lupa dia memakai jaket kulit kesayangan. Gadis berambut cepak itu tampak lihai beradu tanding dengan pengendara motor di jalan raya. Kali ini dia tidak perlu berpura-pura lagi menjadi wanita feminim. Emma telah mengenal Desri dengan outfit sehari-harinya. Matahari tampak bersinar terik siang ini. Desri berdecak kesal melihat tangki minyak motornya ternyata hampir habis. Gadis yang memakai jaket kulit itu akhirnya membelokkan motor spor
Dering ponsel Desri membuat gadis tomboy itu menghela napasnya. Panggilan dari Emma membuat wajahnya mengerut. "Gimana, Des? Rekamannya oke 'kan?" Suara Emma terdengar cukup kuat. Gadis manis itu sepertinya sedang berada di luar kantornya. Suara kendaraan terdengar bercampur baru dengan suara bising lainnya. "Ck! Kamu tuh ya, paling gak bisa lihat aku santai sebentar." Desri berdecak kesal. "Ya maaf. Aku hanya meminta hakku saja, Des." Suara Emma mulai terdengar lebih rendah. "Yaudah, matikan dulu nih telponnya. Biar aku transfer sisanya sekarang," titah Desri sembari memutar bola matanya. "Oke, Des!" Wanita berparas manis itu mengikuti perintah Desri segera. Gadis tomboy itu bergegas menunaikan tugasnya membayar sisa upah Emma atas pekerjaannya. Sebuah pesan manis dari Emma kemudian mendarat di ponsel Desri. Gadis tomboy itu mencebik lirih. "Dah beres kerjaan kamu, Des?" Zoya menoleh pada Desri perlahan. "Udah nih. Ini bayaran untuk Emma lunas." Desri melaporkan tugasnya pa
Tania, sekertaris Dante masuk ke ruang kerja atasannya. Setelah mengetuk pintu tanpa jawaban, Tania memberanikan diri untuk masuk karena beberapa berkas butuh tanda tangan Dante segera.Langkah kakinya terlihat santai hingga dia menemukan lelaki berparas tampan itu telah tergeletak di lantai. Posisi tangan Dante masih terlihat memegang kepala.Wanita bertubuh molek dan berpenampilan elegan itu langsung berteriak melihat atasannya yang pingsan. Tania segera berlari ke luar ruangan seraya menghubungi Nyonya Wanda dengan ponselnya. Hingga petugas keamanan akhirnya muncul menggotong Dante agar diletakkan di atas sofa. Dalam waktu hanya beberapa menit Nyonya Wanda tiba di ruang kerja Dante dan mencoba untuk mengembalikan kesadaran putranya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tampak panik. Bulir-bulir bening mulai berdesakan dari kelopak matanya. Adriana memberanikan diri untuk masuk dan menghampiri Nyonya Wanda. Gadis muda itu tampak mengelus pundak wanita yang tengah tergug
Pintu ruang UGD terbuka lebar. Sebuah brankar keluar diantar oleh beberapa perawat berseragam putih. Seorang lelaki berkacamata juga keluar dari ruangan dengan langkah santai. Nyonya Wanda bangkit dari duduk kemudian menghampiri lelaki bertubuh tambun yang tak lain adalah Dokter Gading tersebut."Bagaimana kondisi Dante, Dok?" selidik Nyonya Wanda dengan tatapan cemas.Dokter berkacamata itu tampak menarik langkah seiring dengan arah brankar maju."Dante telah melewati masa kritisnya. Distraksi yang terjadi dalam kepalanya bisa memicu pada dua kondisi. Amnesia Dante sembuh atau semakin parah." Dokter berkacamata itu menghentikan langkah kakinya. Brankar bergerak melambat. Kamar perawatan untuk Dante telah berada di depan mata. Adriana terlihat khawatir sambil meremas jemarinya erat. Gadis muda itu mengikuti para perawat yang membawa brankar Dante ke dalam kamar perawatan. Sementara Nyonya Wanda masih terlihat sibuk berbincang dengan dokter tambun di depan kamar. Adriana menemani D
"Terima kasih, Adriana!" Nyonya Wanda memeluk gadis muda di sampingnya. Kedua wanita berbeda umur itu tampak saling terisak menahan gejolak di dada. Nyonya Wanda merasa tertolong dengan sikap Adriana yang mau menuruti pintanya. Sementara Adriana mulai mengeraskan hati agar siap menerima apa pun yang terjadi saat Dante sadar nanti. Untuk beberapa lama kedua wanita itu larut dalam rasa pilu yang berbeda. Adriana mengurai pelukannya. Sementara Nyonya Wanda tampak menyusut tangisnya. "Dante belum juga sadar. Saya khawatir dengan kondisinya nanti, Adriana." Wanita paruh baya itu kembali terisak. "Saya yakin Pak Dante akan segera pulih, Nyonya. Kita tinggal menunggu waktu dia sadar." Adriana mengelus pundak Nyonya Wanda lembut. Dering ponsel milik Nyonya Wanda berbunyi. Wanita paruh baya itu merogoh tas jinjing sembari mengerutkan kening. Panggilan dari Zoya tersemat di layar enam inci miliknya. "Gimana, Tante?" Suara Zoya terdengar mengintimidasi. "Kurang ajar kamu, Zoya!" Nyonya Wan