"Maaf, Dante! Aku sudah berjanji akan merubah semua sikap dan perbuatan burukku selama ini. Aku … berharap kamu memahami aku sekarang." Adriana menarik tubuhnya ke samping seraya menghindari deru napas Dante yang mulai terasa menghangat di telinga. Dante menghela napas kasar. Lelaki tampan itu menyugar rambut seraya menatap Adriana lekat. Sungguh sulit rasanya untuk Dante meluluhkan hati Zoya yang sekarang. Lelaki berkemeja rapi itu bingung harus melayangkan jurus apa lagi agar Adriana takluk dan bertekuk lutut seperti dulu? Dante bergegas menarik langkahnya perlahan. Dante menyambar tangan Adriana agar mau duduk bersamanya di sofa sambil berbincang ringan. Mungkin dengan begitu, Zoya akan lebih santai dan rileks. Tidak kaku seperti sekarang, pikir Dante."Ayolah, Sayang!" Dante segera menghempaskan tubuhnya di sofa empuk bermotif keemasan tersebut. Adriana mengikuti saja tarikan Dante kemudian duduk tepat di sebelah lelaki berparas tampan tersebut. "Kamu mau teh atau kopi?" Dante
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu saja. Tugas yang diberikan pada Adriana untuk merapikan berkas-berkas administrasi serta sejumlah laporan telah selesai dia kerjakan. Beberapa rekan kerjanya telah merapikan meja dan memadamkan layar monitor. Begitu juga dengan Adriana yang tampak sibuk menyiapkan kepulangannya. Dering ponsel terdengar memanggil berkali-kali. Namun, gadis muda itu mengabaikannya. Dia harus bisa pulang lebih awal dari biasanya. Rencananya, Adriana ingin mampir ke rumah kontrakan Emma untuk mengambil sebagian bajunya yang tertinggal di sana. Gadis muda itu bergegas keluar dari ruangan berukuran sedang tersebut. Dia menarik langkahnya cepat agar segera keluar dari gedung bertingkat itu lebih awal. Setengah berlari Adriana menyusuri selasar perkantoran. Hingga akhirnya gadis itu tiba di pelataran parkir. Sejumlah karyawan tampak berdiri menunggu sesuatu atau juga seseorang yang akan menjemputnya. Sementara Adriana segera melangkah keluar lingkungan gedung agar tidak
"Hati-hati kamu, Na!" pekik Emma sesaat sebelum sahabatnya itu berangkat menaiki ojek online. Adriana bersorak girang seraya melambaikan tangannya pada Emma. Gadis manis bertubuh semampai itu segera menutup pintu kamar. Sepertinya malam ini dia akan tidur lebih awal. Tubuhnya terasa penat setelah seharian menyelesaikan pekerjaannya di spa house yang tidak jauh dari kontrakan.Emma segera memadamkan lampu kamar. Gadis manis itu segera menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Sebuah pesan dia kirimkan pada Adriana via aplikasi hijau. [Titip salam buat Nyonya Wanda, Na]Pesan tersampaikan, tapi belum dibaca. Mungkin Adriana masih dalam perjalanan menuju rumah keluarga Dante.***Mentari pagi tampak bersinar dengan cahaya lembutnya. Gumpalan awan yang berarak ke arah timur seolah menyembunyikan bias cahaya yang harusnya menyinari bumi. Langit tampak mendung dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan kering tampak berguguran di halaman.Zoya kini sedang berencana untuk menyuruh salah seo
Emma terperangah. Wah, banyak juga ya duit, pikirnya ragu. Dia masih bingung harus berbuat apa. Jika dia menyetujui permintaan Desri berarti hubungan persahabatannya dengan Adriana akan merenggang. Tapi uang lima puluh juta sangat menggiurkan. Dia belum tentu bisa mengumpulkan uang segitu banyak selama setahun bekerja di spa house ini. Mana sebentar lagi lebaran. Emma harus mudik dan menyiapkan semua kebutuhan keluarganya di desa. Gadis manis itu melanjutkan memijat Desri sesuai prosedur pekerjaan. Dia belum bisa memutuskan mau memilih untuk deal atau menolak permintaan client barunya. "Iya, Mbak! Itu tuh mantap banget. Udah sejak kemarin pegelnya minta ampun di pundak." Desri terdengar menggumam. "Emang Mbaknya sering berlama-lama gitu angkat berat? Atau sering bawa beban gitu ya?" selidik Emma sembari melaksanakan tugasnya dengan santai. "Enggak juga. Saya cuma seneng motoran!" sahut Desri santai. "Emang tadi ke sini naik motor, Mbak?" Emma mulai memijat bagian tangan Desri ya
Pandangan Dante mulai terasa berkunang-kunang. Lelaki berparas tampan itu akhirnya berpamitan pada rekan bisnisnya. Sejak sore tadi mereka mengadakan pesta di sebuah kafe ternama. Alkohol menjadi pilihan mereka untuk bersenang-senang. "Aku pamit deh, Wan!" ucap Dante seraya memegang pelipisnya kencang. "Aman gak tuh di jalan?" Gunawan mencoba memastikan kondisi Dante yang tampak berjalan sempoyongan. "Aman!" Dante mengulurkan jempolnya pada lelaki berkacamata yang mengajaknya pesta di kafe sejak tadi. Gegas lelaki bertubuh tinggi itu menarik langkah keluar dari kafe. Dante mencoba agar tetap menyeimbangkan tubuhnya yang mulai oleng. Malam telah menua. Tiupan angin perlahan menerpa tubuh Dante hingga matanya sedikit terpejam. Rasa sejuk yang dihembuskan semilir angin, membuatnya ingin segera memejamkan matanya saja. Dante membuka pintu mobil. Dia segera menghempaskan tubuhnya di kursi kemudi. Untuk sejenak Dante mengikuti saja keinginan matanya yang sudah sangat lelah. Dia terlel
Bias mentari pagi menyembul dari balik tirai. Adriana tersadar setelah hangat cahaya mentari menerpa wajahnya. Dante tampak masih pulas di sampingnya. Dengkuran halus lelaki berparas tampan itu membuat Adriana bangkit dari ranjang kemudian duduk sembari bersandar menegakkan kepala. Mendadak bola mata Adriana menghangat, bulir-bulir bening mulai berdesakan ingin keluar dari kelopak mata. Adriana menangisi perbuatannya dengan Dante tadi malam. Dia menyesal telah memberi mahkota berharga miliknya begitu saja pada Dante. Dante berhasil membuat ia melayang hingga lupa begitu saja dengan tujuan awalnya di rumah ini. Nyonya Wanda hanya meminta untuk berpura-pura menjadi Zoya. Bukan malah menjadi pelampiasan nafsu Dante yang sangat mencintai Zoya. Adriana menarik-narik rambutnya dengan keras. Dia menyesal sudah melakukan perbuatan sial itu tadi malam. Harusnya mahkota berharga itu dia berikan ke orang yang pantas. Sosok lelaki yang telah menghalalkannya kelak. Bukan Dante! Bulir-bulir ben
Adriana kembali menangisi kondisinya yang semakin terpuruk. Dia tidak sanggup untuk terus bertahan di rumah besar ini dengan segala perdebatan yang berkelebat dalam benaknya. Suara deru mobil dari arah luar membuatnya menoleh. Dante tampak menyalakan mesin mobil sembari menginjak gas dengan kencang. Berkali-kali deru mesin terdengar memekakkan telinga. Adriana hanya melirik ke arah jendela tanpa mau tahu kelanjutannya. Setelah cukup puas membuat bising di halaman rumah, akhirnya Dante melajukan kendaraan beroda empat miliknya keluar dari rumah. Lelaki berparas tampan itu juga bingung ke mana arah dan tujuannya. Yang penting saat ini, dia hanya ingin menghabiskan waktu tanpa Zoya yang menyebalkan. Adriana masih terpaku di dalam kamarnya. Dia mengutuk dirinya sendiri yang sangat teledor membiarkan Dante sesuka hati menguasai tubuhnya. Tangis gadis muda semakin kuat. Rahangnya mengeras hingga tangannya terkepal sempurna. Dia harus segera keluar dari rumah besar ini. Gegas gadis berpa
Kabut tipis mendadak turun di pagi yang sejuk ini. Adriana tampak menggeliat di atas ranjangnya. Gadis muda berambut panjang itu tampak lebih segar dari semalam. Berkumpul dengan keluarga adalah obat terbaik bagi dirinya. Perlahan Adriana mulai bisa menata hatinya yang terluka. Gadis muda itu bergegas bangkit dari ranjang kemudian beranjak keluar. Ibu tampak masih sibuk di dapur dengan sejumlah rutinitasnya. Sementara Bapak terlihat duduk di meja makan sembari menikmati secangkir kopi yang asapnya masih mengepul tipis. Berita di layar televisi menjadi santapan harian setiap paginya. "Na! Baru bangun, Nduk?" tegur wanita berkerudung itu pada putrinya. "Iya, Bu!" Adriana bergegas menarik langkahnya menuju dapur. Tungku masak di dapur tampak penuh dengan asap. Pagi ini ibu membuat serabi. Adriana melongok ke arah tungku pembakaran. Gadis muda itu sama sekali tidak memiliki keahlian seperti ibunya. Sejak kecil dia terbiasa dimanja karena Ibu dan Bapak hanya memiliki Adriana sebagai p