Share

Vanavela

Qiana:

Sekolahan di mana Vanessa menuntut ilmu ramai jadi pemberitaan. Qiana masih tidak percaya beberapa waktu yang lalu ia terus berbagi whatsapp. Kondisi Vanessa sudah pulih dan yang lebih membahagiakan untuknya adalah? Kedua orang tuanya sering berkunjung dan beberapa kali makan bersama, Qiana masih dengan jelas mengingat stiker senyum dan tawa Vanesa saat menjelaskan orang tuanya yang mulai akur karena ia sakit. Sekalipun Vanesa pernah bercanda "kalau begitu mending gue sakit aja terus." Begitu ia berbagi Whatsapp dengan Qiana, tentu saja Qiana marah tapi akhirnya keduanya saling mengirim stiker tertawa terbahak. Qiana masih belum percaya berita yang ia baca sedangkan Federica terus saja menangis dalam pelukan Pelita.

Masih menggunakan seragam mereka mendatangi rumah sakit, Vanessa sudah ada di ruang jenazah Mamanya masih terus menangis, para saudara Vanessa sudah berdatangan. Sebetulnya Qian tidak ingin melihat wajah Vanessa atau siapapun yang sudah tidak berjiwa. Tapi, ini Vanessa sahabatnya. 

Qiana mengikuti semua proses sampai pada Vanessa dimakamkan, dari kejauhan ia seakan melihat sosok Vanessa dengan orang lain, Qian ingin lebih mendekat menajamkan pandangan. Namun, pergelangan tangannya ditarik seseorang. 

"Mau kemana? Belum selesai."

Saat Qiana kembali melihat sosok yang mirip Vanessa. Sosok itu pun telah menghilang entah kemana.BQiana menepis pergelangan tangan yang tadi ditahan Dewa. Federica dan Pelita mendekat lantas mereka saling berpelukan, Federica kembali menangis. 

"Gue masih telponan sama dia Qin, semalem." Ia kembali menangis dalam pelukan Qiana. 

"Gue tau, sekarang dia udah tenang, kita doakan dia bahagia sekarang." Mereka kembali menangis.

Di sisi makam Vanessa. Mamanya masih terus meraung memeluk kubur yang tertutup berbagai warna bunga, penyesalan masih terus menghukum. Hukuman paling kejam dalam kehidupan adalah "Penyesalan."

Proses pemakaman sudah selesai para kerabat Vanesa Satu-persatu pergi tinggal lah Mama dan Papanya, serta sahabat dekatnya. 

"Nesa Mama minta maaf, Nesa ... Nesa." Suara Mamanya terus meringkih dalam tangis, waktu tidak bisa diputar ulang, sudah banyak yang mengingatkan untuk tidak berlarut menangisi kepergian Vanessa. Tapi, bagaimana tidak, apa yang ia pikir untuk kebaikan anaknya ternyata tidak sejalan dengan kenyataan.

Qiana :

"Ngapain kita ke sini?" Qiana mengikuti Federica masuk ruang UKS, Federica duduk di salah satu ranjang, setelah ia memastikan tidak ada orang di ruangan ini. 

"Gue pengen nunjukin sesuatu!" Federica menarik rok panjangnya sampai ke lutut. Dari pergelangan kaki sampai betis terdapat banyak warna biru seperti lebam tapi hampir menyerupai bentuk tangan.

"Kaki lo kenapa Fee? Dewa KDRT?" tanya Qiana sengit sarat dengan emosi yang meluap, matanya sampai membesar.

"Qin..." panggil melas Federica, ini bukan waktunya bercanda. 

"Gue serius! Bilang kalo Dewa kasar!" Qiana tidak kalah serius. 

"Bukan Dewa Qiana." Federica menunduk, ia menangis. 

"Terus siapa Fee?"

Federica menggelengkan kepala. "Gue juga gak tau, sesudah Vanessa meninggal kaya ada yang ngikutin mulu, tiap malem gue nggak bisa tidur, kepala gue sakit. Sekalinya gue tidur mimpi serem banget, sampe gue sendiri gak bisa bedain. Mana mimpi mana nyata. Gue nggak mau mati Qin." Tangisan Federica pecah dalam pelukan Qiana. 

"Loh ko, ngomongin mati sih, Fee?"

Federica masih menangis. Qiana masih bingung belum menemukan garis merah masalah. Ia mengangkat wajah Federica sedikit kasar membersihkan air mata di wajahnya. "Kenapa lo ngomong mati? Cerita Vee, gue gak ngerti?" 

Federica mulai mengatur napasnya, memposisikan tubuhnya agar lebih nyaman. "Inget permainan Jelangkung?" Qiana mengangguk. "Gue sama Vanessa sempet main lagi setelah pulang sekolah beberapa kali."

"Terus? Ada masalah pas lo main jalangkungnya, apa yang lo tanya sama jalangkungnya?"

"Semua sama kaya yang lo ajarin, gue cuma nanya masalah Dewa. Dia suka apa, jalan ke mana, makanan apa? Itu aja."

"Yang lainnya? Vanessa nanya apa?"

"Nggak ada, cuma gue yang nanya. Gue takut Qin." Federica kembali menangis.

"Harusnya nggak ada masalah Fee."

"Dia juga gak nolak gue suruh pulang," tutur Federica lagi. 

Mengundang pertanyaan Qiana. "Dia? Siapa maksudnya?" tanya Qiana penasaran. 

"Bunga. roh yang gue panggil." 

Barulah Qiana heran kenapa roh yang sama yang datang saat dipanggil. "Bunga. Bunga. Roh yang kita panggil pertama kali." Qiana kali ini menekan pertanyaan melihat Federica dengan aneh. Sejauh ia bermain permainan itu tidak pernah ada yang terpanggil dua kali, apa lagi berkali-kali. "Lo nyebutin nama dia?" Qiana makin serius bertanya.

"Nggak Qin, cuma pas gue tanya namanya pasti Bunga, gue takut Qin. Gue takut mati, sebelum Vanessa mati, dia pernah cerita dia diganggu setan," Federica mulai hilang kendali ia bercerita sambil menangis.

"Sekarang setan itu terus ganggu gue Qin. Tolongin gue. Gue ga mau mati."

"Fee, denger nggak ada setan yang bisa bunuh manusia!" 

"Vanessa mati Qiana dia mati dan sekarang gue terus diteror, lo liat gue, karena permainan sialan itu gue kaya gini sekarang."

"Fee. Lo harus sadar Fee. Vanessa mati bukan karena setan. Dia mati bunuh diri Fee, dia bunuh diri." Air mata Qiana akhirnya tumpah mengingat sahabatnya yang telah tiada. Saat Vanessa butuh orang untuk bicara tidak ada siapapun disisinya. Setan lah yang menjadi pembisik untuk menyesatkan jiwa manusia. "Lo harus inget manusia diciptakan paling sempurna, dia punya otak dan akal untuk berpikir." Qiana semakin menajamkan suaranya untuk mengingatkan Federica. 

"Gue takut Qin." Tangis Federica kembali pecah dalam pelukan Qiana. Setelah kematian Vanessa hidupnya hancur tidak ada rasa nyaman saat ia sendiri, tidurnya selalu dibayangi sosok yang mengerikan.

"Ssstttt!! udah jangan nangis lagi kita cari jalan keluarnya, kalo memang lo diganggu roh bunga, kita cari tau apa yang salah apa yang dia mau dari kita? Pulang sekolah gue coba panggil dia lagi."

"Gue takut Qiana." Tangan Federica meremas kuat tangan Qiana. Dari kamar yang masih tertutup tirai tiba-tiba saja bunyi barang jatuh, keduanya refleks menoleh ke sumber suara. Rasanya di sini tidak ada siapapun kecuali mereka. 

"Siapa itu?" Tanya Qiana satu langkah kakinya mendekat. Tangannya ingin membuka tirai. 

"Qin. Kita keluar!" Federica ketakutan wajahnya pucat kulit tangannya berkeringat. Melihat ketakutan Federica, Qiana akhirnya mengikuti berjalan ke arah pintu.

"Paling angin. Lo jadi pulang cepet? Mau gue anter pulang?" Suara Qiana mengalihkan ketakutan Federica keduanya menghilang di balik pintu UKS.

***

Malam harinya Qiana, Federica, Pelita datang ke Sekolah mengendap-endap lewat pintu samping pelan-pelan Qiana membuka pintu kelas. "Gelap Qin." Qiana menghidupkan senter lantas meletakan di atas kursi, sekilas sepasang kaki pucat, abu-abu melayang terkena cahaya senter. Saat senter kembali Qiana tegaskan kaki itu sudah menghilang, sepertinya ia salah lihat. 

Ketiganya berdiri mengelilingi meja yang sama. "Kita kurang satu orang?" 

"Satu orang gak usah ikut!" Pelita mengangguk ia hanya melihat.

Permainan kembali berlangsung dengan cahaya seadanya. "siapa nama kamu?"

Koin itu bergerak. "Anisa."

Qiana kembali bertanya. "Kapan kamu mati?"

"1988." 

Qiana kembali bertanya. "Kenapa kamu mati?"

"Gantung diri." 

Federica menggelengkan kepal ini bukan Bunga. Qiana mengerti ia kembali berkata. 

"Kamu pulang ya!"

"iya." Koin itu bergeser ke tempat yang kosong tandanya roh itu sudah pergi. Angin berhembus dingin.

Qiana melanjutkan permainan, ia kembali memanggil. "Nama kamu siapa?"

"V." Federica menatap Qiana getir, koin itu kembali bergerak "A." Federica membekap mulutnya. "N." Ia menangis tanpa suara apa ini Vanessa? Sahabatnya, ia ada di sini ikut berkumpul, atau ikut dalam permainan. Air mata Federica kembali menetes. 

Koin itu kembali menyusun huruf.

"A" 

"V"

"E"

"L"

"A"

"VANAVELA." Nama yang terbentuk. Ada kelegaan dalam hati Qiana bukan Vanessa yang terpanggil.

"Kenapa kamu mati?"

"Jatuh dari tangga," katanya. 

Qiana kembali bertanya. "Kapan?"

"Kemarin."

Bukan Bunga? Qiana kembali menyuruhnya pulang!

Untuk sesaat mereka melepaskan ketegangan permainan berhenti sejenak. Tengkuk Qiana begitu berat seakan ada beban di sana, ia beberapa kali mengusapnya serta bulu halus tengkuknya juga ikut berdiri. Senter yang tadi di atas meja terjatuh begitu saja. Qiana dan yang lainnya saling melihat merasa tidak ada yang menyenggolnya, dengan getaran tangan Federica dan Qiana perlahan membungkuk meraih senter itu, perlahan senter diraih lalu tanpa sengaja senter itu mengarah pada ujung lorong dimana makhluk dengan mulut terbuka lebar juga matanya yang hitam legam merangkak mendekati mereka. Federica berteriak diikuti Qiana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status