Share

Vanessa

Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya.

"Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan Mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara Papanya berdiri di pintu. 

"Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!"

"Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!"

"Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata.

"Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa."

"Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi."

"Dia temanku."

"Nesa mau ke toilet."

Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yang ada di hadapannya sosok itu tertawa puas melihat Vanessa hancur. Vanessa berteriak melempar cermin sampai hancur, ia mengedarkan pandangan mengelilingi kamar mandi dengan emosi yang meluap-luap tidak terkendali. "Keluar lo, jangan ketawa, gue gak takut, keluar!" Vanessa kembali berteriak lantas tertawa, akhirnya menangis. Pecahan kaca berserakan di lantai.

"VANESA!" Mamanya berteriak melihat Vanessa hampir mengiris nadinya sendiri. Vanessa berontak saat Papanya coba menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. Vanessa tertawa mengerikan lantas teriak. Suara gaduh dari kamar Vanesa menarik perhatian beberapa orang. Suster masuk membantu menahan Vanesa yang terus berontak, ia ingin lari.

"Kita ikat saja dulu di ranjang, nanti saya coba panggil bantuan." kata suster yang mulai kewalahan tenaga Vanessa seakan berlipat, ia masih kesetanan terus berteriak ingin lari keluar. 

"Nesa kamu kenapa? Nesa berenti nak!" Vanessa terkikik tertawa menertawakan Mamanya.

"Buang merah, jangan ganggu aku!" Vanessa kembali terkikik meja dan kursi yang ada di belakangnya bergerak, lampu hidup, mati sendiri. Sekalipun kaki dan tangannya diikat di atas ranjang ia terus bergerak. Dibantu seorang perawat laki-laki yang memberi Vanessa air putih dalam gelas. Lalu air itu ia basuhkan pada wajah Vanessa. Mamanya menyipit melihat itu. 'masih ada jaman sekarang pengobatan air putih' cibirnya dalam hati. 

Vanessa tenang. Sekalipun ia masih bingung pandangannya masih berkeliling ruangan. "Mama kenapa Nesa diikat?" 

"Gak papa sayang, kamu istirahat yah!" tutur sang mama lembut sambil membelai rambutnya.

"Kita kan mau pulang Ma?"

"Kata dokter kamu harus dirawat lagi, belum pulih. Jadi, Nesa di sini dulu, Mama sama Papa nanti kesini tiap hari."

Vanessa mengangguk.

"Yaudah sekarang Nesa istirahat ya!" Angguk Vanessa lagi masih dengan tatapan kosong serta ikatan tangan dan kakinya.

Federica:

"Vanesa." Federica terus memanggil Vanessa yang terus berjalan menjauh. Sebuah rumah bergaya Eropa kuno. Federica ada di dalamnya, temboknya sudah berwarna kusam ada beberapa yang sudah terkelupas menyisakan bata berwarna merah. Gelap, hanya remang-remang cahaya dari luar. Aroma lembab amis bercampur wangi.

"Vanessa lo dimana? Ini rumah siapa?" Federica terus melihat punggung Vanessa yang akhirnya menghilang dibalik lekukan tembok.

"Nesa." Panggilnya lebih keras, sampai pada belokan tadi seseorang berdiri di sudut gelap, rambutnya sebahu masih memakai seragam. 

"Nesa? Nes." Federica memanggil sosok asing yang ada di sudut.

Sosok asing itu dengan cepat mendekat lantas menegakan kepalanya, mata bulat berwarna hitam pekat dengan kulit pipi putih bias abu-abu.

"Pergi!" katanya di hadapan wajah Federica. Federica berteriak, berlari balik arah tapi tidak kunjung menemukan pintu. Raganya di atas ranjang masih tertahan sosok gelap yang melayang di atas tubuhnya, Federica sulit untuk bernafas, sosok gelap itu melayang semakin mendekat. Federica membuka matanya lebar-lebar bersamaan dengan itu pintu tertutup dengan begitu kerasnya. Disela napasnya yang masih memburu. "Siapa itu? Bii?" Federica turun dari ranjangnya membuka pintu kamarnya. 

Hening.

Teng! 

Suara lonceng jam dinding tengah malam berbunyi sekaligus kembali mengagetkan. Ia melihat ke lantai bawah rumah ini masih sepi, lalu siapa tadi yang membanting pintu? Bunyi lonceng kembali menggema dua kali. Federica kembali ke kamarnya, lampu kamarnya hidup, ia tidak merasa menyalakan lampu tadi? Federica duduk di tepian tempat tidur masih melamun, saat asisten rumah tangganya tiba-tiba berdiri di depan pintu.

"Bibi! Bikin kaget aja," ucapnya kesal.

"Maaf Non, bibi mau minum liat kamar non pintunya ke buka makanya bibi ke sini?" 

"Mau bibi ambilin minum Non?" Tanpa menunggu jawaban Federica wanita yang sudah tidak lagi muda itu berlalu dan kembali dengan segelas air ditangannya. 

Saat ia hendak pergi Federica menahan tangannya.

"Bibi tidur sini aja! di sofa gak papa?" 

"Gak papa Non, bibi ambil bantal dulu." 

"Pintu sudah dikunci semua bii?"

"Udah Non."

"Ya udah bibi cepet ya ambil bantalnya!"

Wajah Federica masih pucat, saat asisten rumah tangganya keluar ia sendiri heran Nonanya seperti orang bingung?

Vanesa:

Kamar rawat yang harusnya sepi dipakai untuk istirahat, di sini kedua orang tua Vanessa malah berdebat yang tiada habis. Vanessa memang sedang tidak ada di kamarnya jadi lah orang tuanya puas menilai diri sendiri yang paling benar.

"Kamu masih belum berubah, gak mau ngerti aku?" 

"Sebatas apa aku harus ngerti? harus ngerti tiap kali kamu selingkuh? Sampai kapan Mas, kamu ga pernah berubah ko."

"Selingkuh lagi, selingkuh lagi. Itu terus yang jadi masalah aku nggak selingkuh."

"Terus apa? temen deket, mantan pacar, temen kantor dan sebagainya. Sayang aku memang gak pernah dapet bukti, biar kamu gak bisa bohong lagi. Kamu mau aku terus di rumah? alasan kamu biar bebas di luar sana. Aku sibuk kerja Mas bukan selingkuh."

Perdebatan kedua orang tua Vanessa masih saja terjadi ini masih di rumah sakit. Yang seharusnya mereka saling mendukung untuk kesembuhan anaknya, keduanya malah berdebat ego masing-masing. Tanpa mereka sadari putri semata wayangnya mendengarkan dari balik pintu kamar. 

"Aku nyuru kamu di rumah buat anak kita, kasian dia!"

"Aku udah ngajuin perceraian kita, Vanessa ikut aku ke Singapura titik."

"Apa? Cerai? Vanessa sakit dan kamu masih ribut cerai sama Singapura?"

Mama Vanessa tajam melihat suaminya, komentar barusan melukai harga dirinya apa cuma hal sebatas nafsu yang jadi pikiran. 

"Aku yang rawat Vanessa, di sana banyak psikiater yang bagus."

Papa Vanessa sudah kehilangan kata ia memijat pelipisnya, perdebatan yang tidak akan pernah selesai.

Dari balik pintu Vanessa menangis membekap mulutnya sendiri agar suaranya tidak terdengar. Ia berlari menjauh dari kamarnya, kenyataan yang sulit dicerna.

Ia tidak gila!

Ada hal yang tidak bisa dihindari. Kenapa tidak belajar menerima? 

Menerima? Bagaimana bisa? 

Bagaimana bisa Vanessa menerimanya. Ia hanya bocah kemarin sore yang dipaksa paham, dunia yang seperti monster raksasa yang siap menelannya hidup-hidup. Ketika semua terasa berat puing kenangan yang makin lama makin rusak. Untuk apa ada pernikahan yang katanya diikat dengan suci tapi saling menyakiti, ia membawa retakan demi retakan hingga Vanessa tidak bisa lagi bersuara. Ia memilih menjadi gelap.

Vanessa berdiri di pinggiran pembatas lantai atas. Air matanya mengalir semua seakan gelap tidak ada satupun titik cahaya untuk melihat dunia. Gadis itu di ujung kegelapan, dan ia memilihnya melepaskan beban yang tidak bisa ditanggung. Tubuhnya melayang dari atas lantai enam rumah sakit melewati kamar yang memberi nyawa sekaligus gelap. 

Disela napasnya air matanya menetes.

Tubuhnya terhempas keras ke aspal jalanan. Lalu, kepalanya yang hampir hancur mengalirkan darah mengisi sela hitamnya aspal.

Teriakan demi teriakan saling bersahutan seketika jasad Vanessa dikelilingi orang yang ingin melihat dari dekat. Para petugas medis mencoba membubarkan orang yang semakin banyak berkerumun. Naas, tidak sedikit yang malah merekam kejadian itu, sosial media langsung dipenuhi berita tentang, "Bunuh Diri."

"Ada yang bunuh diri loncat dari atap." Obrolan orang terus saja terdengar oleh Mamah Vanesa ada yang bunuh diri, tapi ia tidak menghiraukan terus berjalan menuju kasir menyelesaikan administrasi kepulangan anaknya. Dari ujung lorong para perawat berlari dengan ranjang yang ditiduri seseorang tertutup kain putih, tangannya sedikit terlihat dari balik kain putih. Rasa sesak dan hampa begitu saja terasa, seakan ada sebuah belati menghujam tepat di jantung.

"Bu itu Vanessa, dia loncat dari lantai atas." Entah siapa yang mengatakan kalimat itu ia sudah kehilangan rasa ia terus melihat tangan putih itu keluar dari tempatnya makin menjauh darinya.

"Vanessa gak mungkin." Penyesalan tidak akan pernah datang dari awal, seperti apapun mama Vanessa menyesal dan ingin memperbaiki semuanya, Vanesa sudah pergi melepaskan semua beban yang ada di pundak gadis remaja yang belum tau apa itu, kehidupan. 

Mamanya terus meraung memeluk jasad Vanessa di atas pembaringannya yang terakhir. "Nesa maafin mama sayang, bangun! Nesa mama sayang Vanesa." Bagaimanapun jeritan pilu memenuhi ruang jenazah, raganya sudah kaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status