Share

Dengan Perasaan yang Sama

Pelita yang tidak mengetahui situasi ikut berlari namun ia jugalah yang kemudian menghentikan. "Lo pada liat apa? Kita mau lari kemana? Ini bukan arah belakang, kalian mau ditangkap?" Teriaknya menghentikan panik keadaan.

"Gue, gak mau balik lagi ke belakang, gue mau pulang." Federica makin kacau. "Semua ini gara-gara Lo Qin, kalo bukan karena permain setan Lo, gue gak akan kaya gini. Vanessa gak akan mati!"

"Fee, ko loh nyalahin Qiana bukannya dia gak maksa atas permainan itu lo juga punya andil dalam permainan itu soal Dewa. Lo pengen tahu tentang dia kan? Dan gue gak munafik, pengen tahu dimana ibu."

"Terserah, pokoknya gue gak mau mati!" Federica menangis dengan keadaan kacau, peluh telah membanjiri dahi. "Agghh..." Ia kembali berlari mencari arah gerbang luar namun semua seakan sama. Mereka seakan berputar ditempat yang sama. "Mana gerbanga luar?" Teriaknya lagi. Bersamaan dengan bunyi meja dilempar. Mereka kembali berteriak melihat pada ujung lorong, lantas kembali berlari apapun itu yang gelap tidak ingin mereka ketahui.

"Hey... Ngapain kalian disini?" 

Rasa takut melebur jadi satu, Qiana membalikan tubuhnya, takut yang dilihat adalah perwujudan makhluk itu. Senter terang mengarah pada mereka bertiga, terlihat bagaimana kacau ketiganya saat ini. Dengan rambut berantakan juga peluh yang membanjiri. Bingung apa yang harus dijawab. "Ngapain kalian disini malem-malem?" bentak lagi orang berseragam satpam itu. Qiana masih gagap. Lalu.

"Mereka sama saya pak, tadi mau lapor bapak gak ada di pos, kita mau ambil buku tugas yang ketinggalan," suara meneduhkan juga menarik semua orang yang ada di sana. Dewa membawa mereka semua keluar dari area sekolah.

Tidak ada yang bersuara mobil terus membawa mereka menjauh dari sekolah sekitar setengah jam perjalanan barulah Dewa berhenti di kafe pinggir jalan, suasananya tidak begitu ramai hanya ada beberapa pengunjung sarta dentingan akustik. Qiana, Pelita, Federica hanya saling melihat. Tapi tetap mengikuti arah langkah Dewa masuk ke dalam halaman kafe latas duduk di kursi panjang untuk empat orang. Qiana duduk sendiri, di hadapannya ada Federica dan Pelita masih sama-sama terdiam. Saat Dewa sudah pergi barulah Qiana mulai bertanya.

"Lo, nyuru Dewa dateng?" 

Federica menggeleng ia sudah tidak bertemu Dewa beberapa hari ini, keadaan yang dihadapi semakin sulit tapi, Dewa? Tidak ada respon sama sekali jadi ia memutuskan sementara ini menjauh dari bongkahan es dingin itu.

"Lagi berantem loya, ma dia?" Kali ini Pelita yang bersuara. "Makanya gue gak mau pacaran. Ribet." Peliat nyengir, diantar orang yang ada sekarang Pelita lah yang masih terlihat santai.

"Gue nggak pacaran sama dia," ucapan Federica datar. 

"Ko bisa?" Pekik Pelita kebablasan.

"Bisa lah! dia ga pernah nembak gue." Federica mulai tidak suka dengan pertanyaan teman-temannya. Entahlah apa yang salah dengan Dewa, semua kemauannya dituruti tapi rasa yang Dewa masih sama. Dingin.

Qiana dan Pelita diam reaksi Federica tadi membuat mereka tidak enak hati. Daripada membahas hubungan orang lebih baik pikirkan apa yang baru saja terjadi, hantu kah yang dilihat mereka kecuali Pelita.

"Ko dia bisa tau kita di sekolahan?" Pelita kembali berkomentar, mendinginkan suasana.

"Tadi siang tidur di uks." Mengagetkan semuanya suara Dewa tiba-tiba muncul begitu saja kemudian ia meletakan empat botol air mineral di atas meja sambil melihat mereka bertiga datar. 

"Jadi itu lo?" kata Qiana tidak suka, "harusnya bilang!"

"Lagi tidur, pas bangun gak sengaja kaki kena besi ranjang," balas Dewa seadanya. Tadi ia sudah ingin keluar tidak enak juga rasanya tidak sengaja menguping percakapan mereka, tapi saat namanya jadi bahan pembahasan. Dewa urun keluar, mungkin rasa penasarannya pada Federica ada jawabannya.

"Terus lo ngikutin kita ke Sekolah?"

"Tadi memang ngambil buku ketinggalan di UKS," kilah Dewa lagi, ia ikut duduk di samping Qiana. 

"Wa," panggil Federica. 

"Kenapa roh Bunga itu, tau banget lo siapa? Lo pacar Bunga? Udah lama gue pengen nanya, dulu susah banget buat deket sama lo. Sekarang? Karena roh itu lo mau nurutin semua mau gue."

"Apa yang dibilang Bunga Fee?" tanya Qiana penasaran, kalo memang roh itu pacar Dewa dulu, apa hubungannya sama dia? 

"Lo ga usah ikut campur Qin, ini urusan gue sama dia," Sengit Federica membalas Qiana. 

"Jelas gue ikut campur Fee, roh itu juga ganggu gue yang jelas gak ada hubungan sama lo berdua." Kali ini Qiana ikut bicara sampai jadi perhatian pengunjung Kafe. Jadi ini alasan mimpi-mimpi Qiana yang menyeramkan dan kejadian janggal yang ia alami. Tapi kenapa ia, apa salahnya? 

"Baik-baik dong ngomongnya! Kita diliatin orang, Wa jangan diem aja." Pelita mencoba menengahi, hanya ia yang tidak diganggu. 

"Mumpung orangnya ada, kita beresin biar lo berdua ga diganggu lagi, ngomong-ngomong ko gue nggak diganggu yah? Bukan berarti mau, tapi aneh aja." 

"Bunga bilang Dewa suka koleksi pemantik api, dari berbagai tahun dan Negara, dia nyuru gue buat kasih hadiah itu. Dan berhasil, Dewa mau gue ajak ngobrol. Gue sering pesen makanan yang dia suka, semua tentang lo gue tau dari roh itu. Tapi gue tau lo cuma penasaran sama apa yang gue kasih? Tanpa balas perasaan gue, lo cuma nurut apa yang gue mau." Federica menangis melihat Dewa. "Lo jahat Wa! harusnya Lo nolak gue jangan malah ngasih harapan."

"Fee..." Pelita mengusap pundak Federica.

"Kita ngomong baik-baik yah..."

"Ini Ayudia." Dewa mengulurkan foto anak SMA rambutnya sebahu bersandar ke dinding Sekolah. Ia tersenyum dengan dua jari terangkat. 

Qiana melihat foto itu. Air matanya menetes. Dia ada di sini mencoba berkomunikasi, menyampaika perasaannya.

"Dia ada di sini." Kata Qiana. 

Seketika suasana hening, yang tadinya hangat dan nyaman dengan suara dentingan alat musik jadi berubah dingin Federica sesekali mengusap pergelangan tangannya, bulu-bulu halus yang ada di sana berdiri. 

"Dia, bukan cewek aktif, dia lebih suka diem gue yakin dia nggak mungkin ganggu kalian." Pikiran Dewa menerawang mengingat bagaimana sifat Ayu yang selalu diam sekalipun diganggu Dewa dan teman-temannya. Ia paling hanya akan tersenyum lembut dan kembali membaca buku. Ayu lebih lembut dari seorang wanita, tutur katanya manis bila kita berhadapan dengannya. Hanya ada kelembutan sekalipun dari senyumnya. Sampai orang akan berpikir makan apa dia di rumahnya sampai bisa selembut dan semanis itu. Semua yang ada di situ bisa merasakan bagaimana Ayudia bersikap, pantas saja Qiana bisa merasakan kesedihan yang teramat sangat, tapi kenapa? 

"Terus. Lo pikir kita bohong, atau ada roh gentayangan lain di sekolah? Kenapa dia mati? Mungkin ada yang belum selesai makanya dia terus ganggu kita." Qiana makin penasaran kalau roh itu sebaik dan selembut itu kenapa bisa. Ia mengerikan di dalam mimpinya. Qiana tahu memang makhluk seperti itu punya berbagai wujud.

"Ditabrak. Tiga Tahun lalu, di depan sekolah, harusnya dia gak nyebrang waktu itu." Dewa nanar ia ingat Ayu ingin menemuinya di seberang jalan dan mobil dari arah samping melaju dengan cepat menabrak tubuh mungil itu hingga terpental bermeter-meter.

Bagaimana Ayu tersenyum mengacungkan pemantik api yang didapatkan untuk Dewa dari seberang jalan, sampai beberapa langkah mobil menabraknya tanpa bisa Dewa cegah, sekalipun ia sudah berlari. Teriak semua orang adalah saksi bagaimana kerasnya benturan itu. Dewa ingat, tubuh mungil itu sudah tidak bergerak dengan banjir darah di sekelilingnya, punggungnya remuk saat Dewa mengangkat menuju ambulans. Ayu sudah tidak bergerak, hidupnya ikut tertarik masuk tidak ada yang bisa menggantikan gadis itu.

"Gue serasa di film, kutukan Bunga merah wahh... Jadi lo ga bisa punya pasangan dong? Makanya lo ga punya temen selama ini," komentar Pelita begitu saja tanpa bisa dicegah "Eh... Sory... Berarti masalah beres dong. Mungkin dia cuma pengen kita tahu Dewa adalah pacarnya."

Qiana ragu apa hanya sesederhana itu keinginan roh itu, sedangkan yang ia rasakan sangatlah mengerikan lalu bayangan hitam? Tenggelam diantara pemikiran orang lain Dewa masih dengan ingatannya bersama Ayudia. Sekarang pun di seberang sana Ayu seakan sedang menatapnya, berdiri dengan seragam yang sama, rambut yang sama, diselingi barisan mobil dan cahaya lampu yang lewat. Dengan perasaan yang sama, Dewa memandang, perasaan tiga tahun yang lalu. 

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status