Share

Kompor itu Mati Sendiri

Bell pulang sekolah baru saja berbunyi semua siswa berhambur keluar dari pintu kelas, begitu juga Qiana dan yang lainnya mereka sedang tertawa kadang menoyor kepala lantas saling berpamitan. Dari kelasnya ke parkiran melewati barisan kelas dua belas dan toilet barulah ruang Laboratorium. Dari ujung ruang Lap sudah terlihat parkiran, di sana ada seseorang bersandar di kap mobilnya, yang Qian tau itu Dewa cowok pelit suara yang tadi ia tabrak di depan toilet.

Sepertinya Qiana salah lihat. Dewa seakan sedang melihatnya sekarang, masih dengan mata datarnya. Tentu saja Fee yang dilihat. Qiana menepis pemikiran sendiri ia terus melangkah melewati Dewa yang sudah disapa Federica dengan semangat, setelah itu sudah tidak ada lagi suara yang ia dengar. 

"Qin, ngelamun loh? Jadi ke kosan gak?" Pelita bertanya.

"Iya jadi, Vanessa mana?" Ia mencari Vanessa yang sudah tidak ada.

"Mm.. Tuh kan kebanyakan mikir, tadi dia pamit udah dijemput ama nyokapnya." 

"Oohh... Ke warung, dulu sabun gue abis!" 

Pelita mengikuti Qiana dari warung sampai tempat indekosnya dua sahabat ini sangat dekat dibanding Federica dan Vanessa. Sampai di tempat kos Qiana, tidak lupa mengucapkan salam setelah membuka pintu barulah mereka masuk. Di tempat kosnya hanya ada satu kamar, lalu dapur dan kamar mandi. Kosannya berantakan Qiana langsung membersihkan baju yang berserakan di atas kasur.

"Sorry berantakan." Sunggingan senyum kuda Qiana melihat Pelita, dengan tangan penuh baju juga kantong plastik belanjaan tadi.

"Udah tau," kata Pelita mengejek sahabatnya. Ia mencari tempat untuk duduk. Qiana dan pelitan sama-sama anak mandiri juga anak dari kalangan biasa. Qiana berlalu menuju dapur menghidupkan kompor untuk memanaskan air, masih ada mie di lemarinya untuk disantap sore ini. Sekolah mereka berbasis full day jadi hanya mempersiapkan untuk makan malam saja.

"Ta," panggil Qiana di dalam kamar mandi. Ia lupa kompor tadi masih menyala. "Matiin kompor dulu, gue lupa. Nanggung lagi kucek baju."

"Iya." Pelita berjalan kearah dapur melihat kompor yang Qiana maksud. "Udah mati Qin."

Mendengar Pelita berkata sudah mati Qiana mengeluarkan kepalanya dari balik kamar mandi. "Masa sih perasaan belum gue matiin."

"Lupa kali, loh kan pelupa. Ya kali ni kopor mati sendiri."

Qian masih dengan pemikirannya apa memang ia lupa? Rasanya kompor belum dimatikan, karena tangannya tadi penuh dengan tumpukan baju. 

Vanesa :

"Mama udah bilang sama papa kamu, mama minta pisah, kamu mau ikut siapa?"

"Nesa gak mau ikut siapa-siapa." suara Vanessa tercekat menahan tangis.

"Kamu harus pilih, mama mau ke Singapura bulan depan. Kalau kamu ikut mama, sekalian pindah sekolah." 

"Mahh..." Panggil Vanessa ia menangis sekarang. Jangankan bercerita apa yang ia alami, orang tuanya malah sibuk ingin berpisah. Di balik rok biru panjangnya sekarang, betis Vanessa membiru ada bekas tangan seseorang. Setiap pagi tanda itu semakin bertambah, setelah malamnya ia selalu bermimpi diseret makhluk berkubu panjang berwarna hitam, dengan baju berwarna coklat tanah rambutnya panjang, baunya amis busuk seperti hangus terbakar. Seakan ingin membawanya tenggelam dalam gelap. Vanessa membuka pintu mobil yang berjalan perlahan. Ia lari tidak ingin mendengar mamanya yang akhirnya hanya membahas kejelekan papanya, begitu pula sebaliknya mereka tidak pernah bertanya bagaimana di sekolah, bagaimana teman-temannya dan bagaimana ia hari ini. Bulir kristal baru saja terjatuh dari ekor matanya. 

"Nesa, Nesa, kamu mau kemana?" Teriakan mamanya manggil, langsung menepikan mobil ingin mengejar anaknya tapi Vanesa sudah menghilang di balik gang-gang sempit pemukiman. 

Vanessa terus berlari tanpa tujuan terus masuk melewati gang sepi banyak bekas genangan air jejak hujan entah kapan? Jalan makin lama makin sepi dan menyempit bau tidak sedap makin tercium, cahaya semakin lama semakin temaram Vanessa mulai berlari perlahan menggeser pakaian berwarna coklat yang tergantung, terus menggeser, ia mulai menutup hidung saat bau amis semakin menyengat. Sampai di sudut ___ Di Sudut dinding, di atas, makhluk berkuku panjang merayap mendekati Vanessa dengan rambut terjulur panjang matanya hitam legam dengan mulut terbuka lebar.

Vanessa berteriak ia berbalik arah kembali menggeser semua benda yang menghalangi sampai terjatuh, pandangannya bisa melihat makhluk itu sudah merayap di tanah. Vanessa kembali berteriak bangun lalu kemudian kembali berlari tak tentu arah menyusuri semua gang yang terlihat sama. Waktu sudah berjalan cukup lama Vanesa tidak juga menemukan arah luar, bajunya sudah kotor rambut sudah basah oleh keringat ia terus berlari. 

Makhluk mengerikan itu terus merayap mengikutinya bahkan semakin cepat. Vanessa berteriak.

Tinn. 

Bunyi klakson mobil ada di hadapannya, mobil berwarna merah.

"Vanessa." Teriak Federica dari dalam mobil melihat sahabatnya yang tiba-tiba keluar entah dari arah mana. Untunglah Dewa tepat menginjak rem. Federica keluar dari mobil. "Nesa, ngapain loh di sini?"

"Fee, setan itu ganggu gue terus, lo harus berhenti!" Kata Vanessa sambil bergetar panik pandangannya berputar tidak tentu arah. 

"Lo ngomong apa sih? Setan apa?" Federica mengguncang bahu Vanessa bermaksud menyadarkan. "Lo dari mana?"

Dewa yang ada di dalam mobil melihat mereka berdebat kemudian kembali membunyikan klakson mobilnya. 

Federica langsung menoleh melihat Dewa dan antrian mobil yang ada di belakang.

"Nggak usah bahas apa-apa ada Dewa, sekarang lo ikut gue dulu!"

Vanessa dan Federica berjalan masuk kedalam mobil Dewa. Vanessa melihat dari kaca pintu mobil. Tidak ada gang? Hanya ada barisan toko.Tadi ia keluar dari arah mana? Mobil langsung melaju meninggalkan semua pemikiran Vanness.

Saat mobilnya sudah sampai di depan rumah. Federica masih berdiri di depan rumah, melihat mobil dewa semakin menjauh.

"Dia masih aja kaya gitu, bingung gue?" Federica masih berbicara, dengan matanya memandang jauh mobil merah itu.

Setelah Vanessa membersihkan dirinya, ia duduk menggulung celana tidur, bekas tanda biru di betisnya semakin bertambah.

"Nesa, makan yuu!" ajak Federica, Vanessa lantas kembali menurunkan gulungan celananya.

"Loh ko bisa ada di situh? Bukannya dijemput," tanya Federica langsung saat Vanessa sudah duduk di hadapannya.

"Fee lo harus berhenti, sebelum diganggu kaya gue sekarang," tutur Vanessa datar tanpa ekspresi. Federica mulai jengah Vanessa terus membahas itu. Yang bermain dan bertanya adalah dia sendiri, Vanessa hanya pelengkap dalam permainan andai pun diganggu harusnya dirinya bukan Vanesa.

"Lo aja yang terlalu penakut jadi berasa kebawa-bawa mulu, coba biasa aja." Federica tidak percaya ia malah hanya menggumam santai. Dari arah belakang ada benda jatuh. Federica dan Vanessa sama-sama menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu Bi?" tanya Federica.

"Maaf non, panci jatuh." Asisten rumah tangga Federica datang, membawa nampan lalu ia kembali ke arah dapur dengan perasaan heran, ko bisa panci jatuh? Nggak ada kucing apalagi angin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status