Share

Suara Tidak Jelas Terdengar Dekat Tapi Tidak Ada

Adzan magrib baru saja selesai berkumandang ketika Qiana sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya masih melayang, hari ini banyak yang aneh. Kompor tadi, ia yakin kompor itu belum mati, juga saat di toilet sekolah. Qian masih masuk dalam pikiran saat sosok Pelita lewat di belakang ia bisa melihat dari ekor matanya. Pelita lewat tapi aneh? Kenapa hanya diam saja Qiana makin menegaskan pandangan melihat Pelita dari belakang punggungnya, 'apa dia marah? Tidak ditemani kedepan tadi' katanya dalam hati melihat Pelita menghilang ke arah dapur. 

Tidak berapa lama setelah Pelita menghilang ke arah dapur, dari arah pintu. Pelita mengucapkan salam, ia baru saja datang.

"Ta, lo dari mana?" Tanya Qiana terbelalak seraya menggeser duduknya agar lebih tegas melihat. Heran, kalau Pelita baru saja datang lalu yang tadi siapa? "Ta. Barusan lo lewat, di belakang gue, pake baju yang sama." Qiana bertanya lagi untuk memastikan.

Sedangkan Pelita masih tidak percaya apa yang dikatakan Qiana keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. "Ngomong apa sih? Siapa yang lewat? Gue baru masuk."

Angin berhembus kencang dari arah pintu. Membuka pintu sekaligus, diiringi hujan. Hawa dingin menyebar membuat bulu-bulu halus di tengkuk Qiana berdiri.

Ting ... tring ning ... Ting ... Ting .. Trining ... Ting ... 

"Hape gue. Di, dapur?" Qiana mengerjap, kenapa bisa di dapur? Berkali-kali ia harus menguatkan hati dan logika, mungkin ia lupa. Itu yang terus ia rapalkan dalam hati. Tidak mungkin ada roh sejelas itu ia lihat dan juga bisa memindahkan hapenya.

Lalu tadi siapa? Berkali-kali pun ia membantah kenyataan, tapi matanya jelas melihat itu Pelita.

"Qin, ngelamun lagi, hape lo bunyi!"

Qiana masih sibuk dengan pikirannya saat langkah kakinya menuju dapur, ponsel itu di dekat kompor denting suara dan sinarnya menyala. Qiana melihat nama Federica di sana. Begitu panggilan diangkat ___

Federica bicara tanpa putus, dengan satu tarikan napas. "Qin, tolong Vanessa Qin, dia kesurupan." 

Qiana langsung melempar ponsel itu, kupingnya berdengung menyakitkan, dari seberang sana ada yang berteriak menusuk indra pendengaran bersamaan dengan itu entah dari mana bayangan makhluk membuka mulutnya lebar ada tepat di pikiran Qiana. Ia mundur hampir terjatuh masih melihat ponsel. Pelita yang melihat itu langsung mengambil alih.

"Jangan dipegang Ta!" larang Qiana pikirannya bingung.

"Halo…. Halo.... Halo…"

Dari seberang sana Federica terus memanggil.

"Iya, Fee. Kenapa? Gue Pelita." Pelita melihat Qiana, tapi dari matanya ia bertanya?

"Ta, Vanessa kesurupan dia teriak-teriak terus, harus gimana gue? Lo pada kesini yah! bantuin gue!" Federica mondar-mandir panik, di belakangnya Vanessa dipegang oleh Pak Toto tukang kebun dan bi Ijah asisten rumah tangganya. Vanessa terus berteriak dengan mata terbelalak rambutnya berantakan, suaranya berubah mengerikan.

"Iya. Lo jangan panik gitu dong, gue kesana sekarang." Pelita menutup telponnya, sedangkan Qiana masih terpaku.

"Kita kerumah Fee, Qin."

"Iya, gue ambil tas." Qiana masih tenggelam dalam pemikirannya tadi, sampai ia naik taksi.

***

Qiana dan Pelita baru saja sampai di gerbang rumah Federica saat bersamaan mobil berwarna merah berhenti, menyorotkan lampunya pada mereka berdua. "Waeyy... Silau!" Teriak Qiana langsung disikut Pelita.

"Jangan barbar deh, itu Dewa." keduanya lantas masuk meninggalkan seseorang di dalam mobil yang terus melihat punggung kecil milik seseorang, sudut bibirnya sedikit melengkung.

Qiana, Pelita di belakangnya Dewa sama-sama berdiri di pintu masuk yang sudah terbuka lebar. Di ruang tamu keadaan kacau.

"Kita harus panggil orang pintar Non!" kata pak Toto mereka bertiga masih bingung melihat Vanessa yang sekarang merangkak di lantai matanya tajam, rambutnya tergerai hampir menutupi semua dataran wajahnya.

"Yah, yah udah deh, jauh nggak tempatnya?"

"Enggak non, saya tinggal dulu." Pak Toto berlalu tergesah menuju rumah orang pintar yang ada di belakang komplek perumahan.

Suara geraman juga cakaran kuku di lantai seraya berkata.

"Bunga Merah..." Kembali terdengar geraman, dari Vanessa. Ia mundur. Matanya masih tajam melihat pada arah Dewa. Kemudian kembali berteriak sedih seakan minta tolong. Air mata Qiana menetes begitu saja ia bisa merasakan emosi lain yang dibawa mahluk itu, ada dendam dan kesedihan. Qian sendiri bingung apa yang ia rasakan sekarang, ini bukan perasaannya. Ia bisa merasakan dimensi lain?

Vanessa menggigit tangan kirinya sendiri, seisi ruangan panik segera berlari mencegah menyakiti dirinya sendiri. Setelah itu Vanessa tidak sadarkan diri, dengan darah yang terus menetes dari pergelangan tangan kirinya. 

Dewa berlari menggendongnya menuju mobil diikuti Federica, Qiana dan Pelita keempatnya segera membawa Vanesa pada rumah sakit terdekat. 

"Nesa sadar dong!" Fee menepuk-nepuk pipi Vanessa.

"Emang tadi, Lo lagi pada ngapain coba, sampe kesurupan gini?" tanya Qiana.

"Gue nggak ngapa-ngapain Qiana kita baru selesai makan, ini anak memang udah aneh dari siang tadi ceritanya terus ngelantur kalo dia diganggu setan."

Vanessa sampai di rumah sakit, langsung masuk UGD masih belum sadar, tangannya sudah diperban.

"Mamanya nggak bisa ditelepon," Kata Federica melihat Qiana. "Kita temenin sampe besok pagi, kalo pagi banyak suster yang jaga. Nggak tega gue kalo dia tidur di sini sendirian, gimana Qin?" tanyanya pada Qiana. Ia lah yang bisa diharapkan jika Pelita pasti pulang secara ada adik yang harus jadi tanggung jawabnya.

"Ya udah, lo pulang Ta?" jawab Qiana, lantas bertanya pada Pelita.

"Iya gue pulang, kasian tiara nanti." Mutiara adalah adik perempuan Pelita sejak mamanya tidak ada kabar mereka hanya tinggal berdua, tinggal bersama budenya sedangkan ayahnya sudah tidak ada saat mereka kecil.

Semua sudah dapat tugas masing-masing. Dewa masih di luar duduk saat Qiana keluar dari kamar Vanessa, ruangan itu ada empat kamar tidur penghuninya hanya Vanessa.

"Kamu nginep sini, apa pulang Wa?" tanya Federica.

"Terserah, kalo dibutuhin gue di sini!" ujarnya, tatapnya sedikit melihat Qiana yang dibalas lengosan wajah oleh Qiana. Takut Qiana terlalu percaya diri jika Dewa melihatnya.

Qiana berasa jadi obat nyamuk di antara Dewa dan Federica. Ia salah tingkah, saat kebetulan matanya beradu pandang dengan mata Dewa, kenapa juga laki-laki itu seperti curi lihat pada Qiana. Jadilah anak remaja yang jomblo ini salah tingkah. 

Malam sudah mulai merayap Qiana tidur di atas ranjang yang kosong, di sebelahnya Vanessa tertutup tirai, sayup-sayup ia mendengar obrolan banyak sekali orang, diselingi tawa seorang wanita. 'ada pasien baru? Berisik banget' katanya dalam hati matanya masih terpejam, angin dingin berhembus memaksa matanya terbuka mencari selimut. Namun, saat Qiana bangun yang ia temukan adalah ruangan itu masih hening. Qiana duduk, kembali heran tadi jelas begitu ramai, Qiana turun dari ranjang membuka pintu. lorong-lorong rumah sakit juga sepi tidak ada satupun orang.

"Ngapain?"

Qiana terperanjat. Dewa entah datang dari mana langsung menyapanya, dengan bau kopi yang tercium. "Lo, bikin gue kaget."

"Minum." Dewa memberikan gelas berisi teh hangat, lantas ia duduk setelah gelasnya berpindah tangan pada Qiana.

Sekalipun tersentak, tapi hati Qiana lebih nyaman, ada yang terjaga selain ia. Tanpa kata keduanya mulai menyeruput minuman hangat, membunuh waktu sampai mata Qiana mulai terasa berat. Ia masuk, meraih satu selimut lalu kembali keluar menyimpannya di kursi tunggu bermaksud untuk Dewa, malam sudah semakin larut hawa dingin semakin menusuk. Qiana kembali masuk berbaring dengan selimut yang lain sebatas lehernya berkunjung ke alam mimpi.

***

Ig : nilakrisna176

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status