Share

Manusia Adalah Ciptaan yang Paling Sempurna

Pagi ini Qiana merasa tidak enak pada Federica, semalam ia rasanya seakan selingkuh dengan cowoknya. Ahh... Tapi tidak, semalam ngobrol saja tidak, saat tehnya habis Qiana langsung masuk dan tertidur pulas sampai pagi. Sekalipun pagi ini rasa ada yang tidak enak. "Gue balik dulu sekarang! Pulang sekolah nanti sini lagi, Lo istirahat ya!" Vanessa mengangguk, tadi ia sempat bertanya kenapa ia ada di rumah sakit. Qiana hanya bilang pingsan, karena sakit dan perban di tangannya karena tergores. Bukan bermaksud berbohong tapi biarlah nanti setelah ia benar-benar pulih baru Qiana akan jujur.

"Gue juga balik ya, nyokap lo bentar lagi dateng." Pamit Federica. Vanessa kembali mengangguk sekalipun ada getir dimatanya. 

Qiana dan Federica keluar dari kamar Vanessa. Keduanya berjalan di lorong rumah sakit yang mulai aktif melayani. Dewa berjalan santai di belakang Qiana tangannya terselip dalam saku seragam yang belum berganti dari kemarin, wajahnya basah sehabis dicuci tadi.

"Ikut ama kita aja Qin, dianterin," ujar Federica. Sejenak Qiana berpikir ajakan Federica, tapi ia menggeleng tidak ingin kali ini jadi lalat di antara mereka.

"Nggak usah, gue naik ojol aja, duluan gih!" jawabnya. Tidak ingin terjebak diantara pasangan, jadi membuat ia semakin ngenes.

"Aku anter, biar gak telat, pagi gini ojol susah." Suara datar Dewa bersamaan dengan bunyi kunci mobilnya dibuka. 

Qiana garuk-garuk kepala suara Dewa seperti hukum yang tidak bisa dibantah. Dingin, datar, tapi menyihir. Ia akhirnya ikut duduk di belakang. Matanya terpejam berharap kupingnya sama ikut tidak mendengar untuk tiga puluh menit ini, suara Fee yang terus manja pada Dewa dibalas kata datar dari Dewa serasa ia benar-benar jadi lalat yang berterbangan di antara mereka.

***

Bell istirahat baru saja berbunyi. Qiana memilih untuk ke kantin sekolah. Memuaskan hawa laparnya nasi, lauk, ditambah gorengan, seperti biasa kantin selalu ramai ia harus mengantri terlebih dahulu. 'semoga istirahat ini gak ketemu muka datar' Qiana terkikit kecil dengan pikiran yang ada di otaknya. 

"Sawan lo ya, ngikik sendiri." Pelita berlalu membawa piringnya diikuti Qiana.

"Nyadar gak ada yang aneh sama Vanessa, lo liat warna ungu di kakinya?" 

"Gue nggak mau ikut campur, selama dia belum mau cerita, artinya privasi dia." 

"Dewa juga, gue curiga dia terus ada di sekeliling Fee sama Vanessa." Pelita makin menajamkan perkataannya, sambil mengangkat-angkat sendok makan.

"Ya iyalah Dewa ada, cowoknya Fee. Udah makan, otak lo jangan mikir, makan aja, makan!" Pelita mengangguk-angguk, setuju kembali menyuapkan sendok ke dalam mulutnya.

"Tapi, berapa hari ini emang ada yang aneh sama gue, Ta."

"Tuh, kan apa kata gue!" Pelita komentar menggebu-gebu. Qiana protes dengan tatapan matanya yang bulat. "sorry, gue berlebihan, soal lo yang liat gue lewat?" waktu itu belum sempat dibahas bagaimana ceritanya Qiana melihat ada Pelita padahal saat itu Pelita baru saja datang, mungkinkah ada roh yang menyerupainya?

"Iya, gue ngerasa ada yang ngikutin. Kaya di awasin gitu, dari belakang, tapi pas di tengok gak ada siapa-siapa. Terus sering dengar suara aneh, pas di rumah sakit juga, semalem gue jelas dengar suara berisik ketawa, terus ngobrol, tapi gak jelas. Pas bangun, gue liat gak ada orang."

"Serisu Qin? Ko gue merinding ya, terus-terus yang sama kaya gue gimana ceritanya?"

"Gue lagi main hape ngadep tembok sambil tiduran, terus lo lewat pake baju yang sama tapi gak nyapa. Gue mikirnya lo marah karena gak ditemenin ke warung. Tapi, pas lo dateng gue bingung yang lewat siap? Gue inget juga lo jalan kaya ga gerak, kaya ngelayang, terus gak ada jiwa gitu. Susah deh gue jelasinnya."

"Gue merinding Qin." Pelita menunjukan bulu halus di kulit tangan yang berdiri. "Lo ga takut?"

"Takut lah, tapi gue percaya manusia adalah makhluk yang paling Mulia ciptaan Allah di muka bumi ini, mereka cuma pengen kita tau perasaan mereka atau masalah yang masih ketinggalan di dunia. Itu bentuk perasaan yang ingin mereka kasih tau ke kita."

"Cara ngomong lo kaya tau apa mau mereka?"

"Itu juga yang aneh Ta, kaya gue liat lo yang pertama lewat, gue ngerasa lo bawa kecewa yang dalem banget. Makanya gue mikir lo marah gara-gara gak gue anterin. Sedangkan tempat Vanessa kemarin gue ngerasa ada kesedihan terus dendam, buat balas dendam gitu. Ngeri rasanya."

Pelita sudah tidak bisa komentar piringnya saja sudah bergeser, rasa lapar tadi seakan menghilang.

"Gue juga berapa kali liat bayangan. Lo masih mau denger?"

"Jangan Qin, nanti gue parno nanti lagi jangan sekaligus!"

Qiana diam ia bisa merasakan rasa takut Pelita sekarang, jadi ia mengurungkan untuk terus menjelaskan apa yang ia rasakan sekarang. Apapun yang sekarang dirasakan ia percaya manusia adalah makhluk yang paling Sempurna. Toh sejauh ini ia hanya mendengar dan melihat, tidak ada yang menyakiti yang kalian sebut dengan. Hantu. 

***

"Lo bertiga bolos?" tanya Vanessa. Di hadapannya ada Federica, Qiana dan Pelita sudah duduk di atas ranjangnya dengan setumpuk cemilan. 

"Nggak, cuma gak ikut pelajaran." Ujar Pelita dengan cengiran, berlaga benar.

"Sama aja." Teriak merek menyahut ucapan Pelita. Keempatnya tertawa bersama.

Sesaat hening menunggu, Ada yang ingin disampaikan Vanessa, kepalanya menunduk. "Makasih, kalian selalu ada buat gue." Isakan kecil mulai terdengar juga getaran halus pundak Vanessa.

"Aaa... Nesa jangan melow gitu dong, kita semua sayang sama lo, cepet sembuh." Pelita memeluk Vanessa diikuti yang lain.

"Lo jangan segan cerita ama kita." Vanessa sedikit melirik Federica. Saat Qiana bicara, Federica langsung memutus pembicaraan mereka. 

"Gue tadi beli banyak makanan, mau?" Federica mengambil sekotak Pizza. Disambut suka cita semua orang, menarik lelehan Pizza sambil tertawa, Vanessa tertawa seadanya melihat ketiga temannya saling bercanda. 

"Nanti malam siapa yang nemenin?" tanya Qiana.

"Nyokap kesini," Jawab Vanessa.

"Bokap lo udah ke sini?" Qiana bertanya lagi lebih hati-hati, sudah lama mereka tau keadaan orang tua Vanessa yang tidak akur. 

"Belum, masih sibuk kali, nanti juga ke sini." Vanessa mencoba tersenyum getir menutupi rongga dadanya yang semakin hari semakin sesak, ditambah sekarang keduanya ribut berpisah dan meminta ia untuk memilih.

"Ya udah, yang penting lo cepet sembuh. Kita balik dulu."

Vanessa mengangguk. "Makasih," ucapnya pelan, melepaskan pelukan Qiana disusul pelukan yang lain. Saling melambaikan tangan meninggalkan Vanessa di kamarnya sendiri. Tadi, mamanya sempat memindahkan ia ke kelas satu, jadi sekarang hanya ada satu kamar luas, kursi meja tamu dan satu tempat tidur untuk yang menjaga pasien. 

"Bareng sama gue!" tanya Fee ketiganya sudah ada di luar rumah sakit.

"Boleh tuh, bareng aja yu Qin, irit ongkos!" ujar Pelita.

"Nggak, gue naik umum, lo mau ikut Fee ga papa," kata Qiana, ia tidak ingin mengulang hal yang sama sekalipun ada Pelita. 

"Kita kan berdua Qin jadi gak jadi obat nyamuk." Qiana melihat Pelita tegas dengan matanya, ia tidak mahu.

"Oke, kita naik kopaja aja."

"Gue duluan!" pamit Qiana, dari ujung parkiran ia melihat mobil merah yang sudah terparkir tapi pemiliknya memilih tetap di dalam. 

Qiana dan Pelita berdiri di halte menunggu angkutan umum datang. Satu kopaja berhenti yang lain berebut masuk saling berdesakan. Pelita baru saja melangkahkan kakinya ingin ikut masuk juga. Dicegah Qiana.

"Penuh Ta, nanti aja yang lain masih ada!"

Pelita bercanda sambil tangannya terus bergerak. "Sejak kapan Kopaja sepi Qiana, apalagi di sini Jakarta, biasanya juga berdiri gelantungan," katanya jenaka. Qiana tidak peduli ia kembali ke pinggiran halte menunggu bus yang lain.

"Nanti kemalaman Qin!" Qiana terus diam mendengar semua ocehan Pelita, sampai Pelita lelah sendiri dan akhirnya diam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status