[Kamu ya, kebiasaan! Sekarang enggak tahu ibu ke mana.]
Panggilan pun berakhir.
[Ibu enggak tahu di mana Dan, di Nadia juga enggak ada.]
[Biarin aja, ibu juga bawa uang yang enggak sedikit. Dia juga enggak akan kelaparan di jalan.]
[Dan, Teteh ngerti kamu kecewa banget, tapi apa bener kamu enggak peduli sama ibu?]
[Enggak ada anak yang enggak peduli, aku juga perlu waktu buat nerima semuanya. Aku malu kesel, tapi juga enggak bisa berbuat apa-apa, karena dia orang yang melahirkan dan merawatku sejak kecil.]
[Ya sudah, kalian istirahat saja di sini. Sidangnya besok ‘kan? Kalau mau nginep aja di sini. Mbak juga lama kayaknya enggak kumpul keluarga.]
[Aku sih terserah Yasmin.]
[Boleh, kalau memang Mbak enggak keberatan.]
Dari pada aku harus tinggal di sana sampai besok, lebih baik di sini. Setidaknya bisa menghindar dari Si Nining.
~
Esok hari, usai salat subuh kami memutuskan untuk pulang. Kami harus men
“To-tolong!”Aku masih berusaha berteriak, tetapi suaraku bahkan hanya bisa tercekat di tenggorokan. Saking takutnya aku bahkan tak berani membuka mata. Namun, pria itu malah semakin mendekat.Embusan nafasnya yang hangat mulai menerpa wajahku. Tepat saat kurasakan kami hampir nyaris tanpa jarak, aku refleks membuka mata dan bersiap menendang tepat di area vitalnya. Namun, pria yang memakai buff dan hoodie itu seketika menghindar dan membuka penutup wajahnya.“Kamu mau ngancurin masa depan kita?” teriaknya.Dalam kegelapan saja, meski wajahnya belum terlalu jelas, aku sudah bisa mengenali pemilik suara itu.“Ini Akang?”“Ya, kamu maen tendang-tendang aja.”“Ya lagian Akang datang-datang langsung seret aku ke tempat gelap. Siapa yang enggak panik.”“Kalau enggak begini, memangnya kamu mau pulang?”Sekarang tanpa basa-basi, pria
Tidak bisakah ia lembut sedikit. Ia bahkan membuat makanannya berantakan.Sekarang bukannya minta maaf, ia malah pergi dan mengancamku. Memangnya siapa yang akan makan dalam keadaan seperti ini. Aku hanya bersikap berdasarkan naluri.Kalau, hanya melihat ia menggendong wanita lain saja hatiku sudah sangat sakit, bagaimana jika ia benar-benar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Akan sesakit apa nantinya aku.Tapi, sebentar bukankah saat itu Nining juga mengaku hamil, tetapi kenapa perutnya tak kunjung membesar?Ia pasti berpura-pura lagi. Untung saja aku tak mudah terkecoh saat itu. Kalau saja aku percaya padanya, ia mungkin akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil suamiku.Entah di mana pikirannya. Bisa-bisanya mengaku hamil, padahal ia tak pernah disentuh suamiku.Sekarang di kamar ini, aku hanya bisa melirik ke arah bungkusan makanan yang tergeletak di ranjang, sedikit berantakan, tetapi masih layak dimakan.Perutku m
“Akang aku mau keluar sebentar!”Aku tak bisa mengabaikan hal ini, sesakit apa pun luka yang ia torehkan, wanita itu tetap ibu kandung dari suamiku. Aku tak bisa menampik kenyataan itu. Lagi pula kalau memang benar ibu, kenapa dia berada di jalanan dengan penampilan lusuh seperti itu.“Enggak bisa Sayang! Sebentar lagi mau berangkat? Ada apa sih?”Aku melirik ke arah lampu rambu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi kuning.“Sayang? Mau ke mana? Bahaya!”Kang Dadan berteriak dari dalam mobil, tetapi ini sanga mendesak. Aku mungkin akan menyesal jika tak menuntaskan rasa penasaranku.Beberapa mobil mulai menekan klakson, karena mobil yang ditumpangi Kang Dadan enggan melaju. Mungkin ia masih menunggu, sayangnya aku juga tak punya waktu menjelaskan. Takut ibu buru-buru meninggalkan lampu merah.Kang Dadan hanya bisa melajukan mobilnya. Mencari tempat parkir yang aman, sehingga ia bisa menyusulk
Bahkan ketika kami telah tiba di Bandara Ngurah Rai Bali, aku masih saja tak bisa tenang. Pikiranku masih terfokus pada perhiasan itu.“Sayang jam berapa sekarang?”“Sebentar, Sayang!”Aku berniat untuk melihat jam di ponsel. Namun, ternyata aku baru sadar kalau sejak tadi ponselku masih menampilkan potret keluarga kami saat lebaran tahun lalu. Aku lupa belum mengembalikannya.Perhatianku sontak saja langsung mengarah pada giwang yang dipakai ibu. Model dan ukurannya terlihat sama persis dengan yang dipakai Teh Nadia.“Kamu ditanya jam malah mainan hp,” sindir Kang Dadan.“Jam 4 sore, Kang!”“Lihat apa sih, sampai segitunya?”Kang Dadan yang penasaran mulai mendekatkan kepalanya padaku, hanya untuk melihat apa yang sedang kuamati hingga membuatnya kesal.“Kamu beneran kangen sama ibu, Yas. Heran padahal, ibu cerewet banget loh.”Sekali lagi pr
Malam hari ketika kami masih menanti kabar dari suami Teh Nadia.[Hallo, saya udah ketemu sama orang yang katanya mirip ibu di lampu merah. Kayaknya bukan ibu, tapi emang orang itu perawakannya mirip sama ibu.]Sekarang Kang Dadan hanya bisa melihatku dengan wajahnya yang menahan kesal.“Kamu kalau kangen sama omelan ibu jangan halu dong, Sayang!”Sudahlah kalau memang bukan ibu, syukurlah. Setidaknya meskipun pergi entah ke mana ia tak sampai mengemis di jalanan hanya demi menyambung hidup.~“Terus sekarang ibu di mana, ya? Akang tetap enggak mau cari tahu?”“Kenapa Akang harus cari tahu?”“Karena dia yang melahirkan Akang, seberapa pun besarnya kesalahan ibu. Kita enggak bisa mengubah fakta itu. Dalam tubuhmu mengalir darahnya, tanpa ibu Akang juga enggak akan ada di dunia ini.”Pria itu menatapku dalam diam, sampai kemudian ia merapatkan tubuhnya padaku. Aroma
“Astaghfirrullah Akang, kenapa malah pingsan di depan pintu.”Aku tidak tahu kalau pria ini akan panik sampai tak sadarkan diri, hanya karena melihat darah dan cairan yang entah apa terlihat mengotori lantai kamar mandi.Cairan itu berasal dariku, sekarang bahkan aku harus berusaha membuka pintu di tengah tubuh Kang Dadan yang menghalangi jalan.Akhirnya setelah berusaha mendudukkan tubuhnya ke pinggir pintu, aku baru bisa keluar dari sana.“Ya Allah kamu kenapa Yas, kok teriak-teriak di dalam.”“Aku enggak apa-apa, tapi kayaknya Akang shocklihat itu!”Aku menunjuk lantai kamar mandi yang kotor dengan darah.“Kamu pecah ketuban Sayang, sudah-sudah ayo sini. Ya Allah si Dadan, istri lagi hamil dia malah pingsan! Ini Sus, tolong suaminya pingsan di kamar mandi!”Aku dituntun ibu menuju ke ranjang, sementara Kang Dadan dibantu para perawat untuk ditangan
“Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya
“Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t