“Untuk media sosial, saya akan buat video klarifikasi. Tolong kirim ke semua akun berita,” terus Mas Rama. Setya mengerti dan cepat mencatatnya.“Untuk tim penyelidikan, harus lebih berhati-hati. Penyamaran harus lebih sempurna lagi. Saya mau informasinya langsung dikirim ke ponsel saya.” Pandang Mas Rama beralih ke salah satu lelaki yang berbadan kekar. “Cari istrinya Brian dan minta keterangan darinya. Cari pula siapa yang berkontak dengan Nenek Jum dan siapa yang membeli ramuan bius itu.”“Untuk Bu Meri, berhati-hati baik di rumah atau saat keluar belanja. Kalau bisa semua aktivitas ART lebih dikontrol lagi. Libur lebaran harus bergantian, jangan sampai ada hari dimana rumah kosong. Ini berlaku juga untuk para penjaga. Libur bergantian.”“Siap, Pak Rama,” jawab beberapa orang hampir serentak.“Terakhir, Dennis, saya minta hubungi beberapa mekanik untuk mobil, harus check sebelum dipakai. Saya tidak mau ada yang menyabotase. Jangan sampai ada rem blong atau apalah seperti di sinetro
MAS RAMA terpaksa melepas sebagian besar saham Rama Corporation dengan harga jatuh. Pak De Andre kembali mendesak saat malam takbir berkumandang dari segala penjuru. Tak disangka, esok saat hari kemenangan idul fitri, Mas Rama harus rela merasakan kehilangan. Meskipun begitu, Bunda Syandi terus menguatkan anaknya itu kalau harta ialah sepenuhnya hak prerogatif Tuhan.Pagi yang cerah membuat orang-orang begitu antusias untuk melaksanakan shalat idul fitri di masjid perumahan. Kami shalat di rumah karena alasan keamanan.Setelah shalat, aku dan Mas Rama mengunjungi rumah Bapak di kampung, dikawal beberapa lelaki. Kami selanjutnya mengunjungi Ibu pula di rumahnya, bertemu dengan Kasih, Rindu dan Mas Bagus.***Siangnya,Sebenarnya Mas Rama tidak mau menerima tamu di rumah lebaran kali ini. Namun Bunda Syandi tetap meminta untuk mengizinkan tamu datang. Pastinya yang datang paling awal adalah ibu-ibu perumahan sebelah. Mereka selalu seperti rebutan untuk datang lebih dulu, karena biasany
“Intip, intip.” Ijah bergegas mengejakku mengintip dari dinding pembatas antara ruang makan dan ruang tamu. Suasana rumah masih terdengar riuh dengan banyak orang yang sedang membicarakan banyak hal. Mas Rama yang tadi memberikan sambutan sudah duduk bergabung bersama bapak-bapak di ujung ruang tamu sana. Bunda dengan beberapa tetangga. Sementara di dekat dapur sini adalah para warga komplek sebelah yang berharap amplop itu.“Satu,” Ijah menghitung. “Dua, dan … tiga.”“Huaaaaaaa!” teriak seorang wanita yang bertubuh agak gemuk itu sambil langsung berdiri, menjejak-jejakkan kaki ke lantai, tangannya mengibas-ngibas di depan mulut. Keningnya mengernyit, matanya menyipit. “Aaasiiiiiiin!” lanjutnya sambil setengah melompat-lompat. “Buuuaaah!” wanita muda di sampingnya juga menyemburkan lontong sapi kare itu ke depan seorang ibu di depannya, tepat pula mengenai bajunya, membuat baju ibu itu basah sebagian. “Asiiin bangeet.”Sementara aku dan Ijah Munica terpingkal-pingkal dari balik dindi
"ADA apa, Pak?" Rendra buru-buru mendekat karena mendengar suara kaca pecah, agak terlambat menyaksikan drama yang terjadi barusan."Ada apa, Den Rama, Nyonya?" Bu Meri dan ART lainnya pun ikut berkumpul di ruang tamu itu. Salah satu ART bernama Niska cekatan melihat kaca berhamburan di depan pintu, bergegas mengambil sapu dan membersikannya. Ijah dan yang lain segera membantu.Bunda Syandi lekas mendekati Tara dan mengelus lengannya. Tara yang barusan melempar vas bunga kaca itu napasnya cepat. Masih menatap kosong ke arah pintu sama halnya dengan Mas Rama."Ra, kamu nggak seharusnya melakukan itu. Jangan sembarang main lempar kalau emosi. Terlihat nggak berpendidikan, apalagi kamu lulusan Leeds. Belum lagi kamu menyandang jabatan direktur," pungkas Bunda menasihati Tara."Tapi Pak De sudah keterlaluan, Bun. Itu sama saja mencuri perusahaan kita. Aku dengar semua yang dikatakan Pak De. Aku paham maksud Mas Rama. Semua kejadian akhir-akhir ini adalah settingan demi meloloskan tujuanny
Mata Mas Rama tiba-tiba menatapku, namun ekspresiku malah datar agak manyun. Aku beranjak dan duduk di kursi di depan meja rias. Pandanganku kulempar pada bayangan diriku sendiri di dalam cermin.“Maksud kamu apa, Lov?” tanya Mas Rama sama-sekali tak menyadari kesalahannya.“Bisa keluar sebentar, Mas?” pintaku datar. “Sebentar aja.”“Oke, tapi sebentar aja ya.” Mas Rama turun dari kasur dan beranjak menuju pintu keluar kamar. Aku mengambil bantal dan mengikuti di belakangnya. Setelah ia berada tepat di depan pintu dan sudah di luar kamar, kulemparkan bantal itu dan mengenai punggungnya. “Itu, Mas,” seruku.Mas Rama menoleh dengan tatapan heran. Namun aku segera berujar, “Kamu malam ini tidur di luar!” Lalu kututup pintu dan kukunci dari dalam. Dan kini terserah Mas Rama mau melakukan apa.***Mentari sore itu akhirnya digusur paksa oleh malam. Awan di atas sana menutupi bintang-bintang. Bulan pun bersembunyi. Hanya cahaya lampu jalanan yang masih setia berpijar.Tok tok. Mas Rama me
AWAN semakin pekat di atas sana hingga cahaya bulan tak tembus dan bintang-bintang pun semakin hilang. Semilir angin lembut berhembus hingga dinginnya membelai kulit."Kenapa tadi nggak teriak, Lov?” tanya Mas Rama ketika kami sudah berada di teras belakang rumah. Mas Rama menyesalkan mengapa saat bertemu Brian tadi aku tak memberi tahu sama sekali.Bukan apa-apa, entah mengapa aku memiliki firasat seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria paruh baya itu. Naluriku berkata, Brian takkan menyakitiku. Karena itulah aku tiba-tiba berani mendekati pohon itu, pohon mangga di sebelah sana.“Aku juga nggak tahu, Mas. Apa yang merasukiku sehingga bisa berani mendekati Brian. Namun aku merasakan sesuatu yang berbeda, Mas. Brian seperti ingin memberi tahu akan suatu hal, entah apa itu. Dan buktinya, dia nggak ngapa-ngapain aku, ‘kan?” Aku mengangkat bahu.“Maksud kamu gimana, Lov?”“Aku seperti bisa merasakan kalau Bryan ingin menyampaikan sesuatu dan pesan itu ada di kalung yang dia berikan.
Klek. Pintu dibuka. Seorang lelaki mengenakan stelan jas dan kemeja putih memasuki ruangan itu. Di tangannya adalah setumpuk map yang terdiri dari banyak dokumen.“Ini laporan tentang penyelidikan Robert dan Brian, serta beberapa nama yang Bapak minta.” Lelaki itu adalah Dennis, ia letakkan map itu di atas meja direktur.“Terima kasih. Akan saya periksa segera. Silakan duduk dulu,” titah Mas Rama pada Dennis yang kemudian duduk di kursi di depan meja direktur itu.“Kerja bagus, Dennis. Alamat Brian di sini cukup jelas. Robert pun sudah terdeteksi. Saya masih penasaran dengan gudang itu, ya, yang waktu itu dilihat Cinta.” Mas Rama memuji pekerjaan Dennis, kemudian tatap Mas Rama mengarah padaku. “Lov, bawa kalung yang diberi Brian?”“Bawa, Mas.”“Berikan ke Dennis. Dia yang akan periksa. Mungkin ada memori super-micro yang ada di dalam.”Aku lekas mengambil kalung dari Brian yang kusimpan di tas Hermes-ku. Segera setelah itu kuletakkan di meja Mas Rama. Dennis meraih kalung itu dan mel
LANGIT kota Jambi biru membentang. Tak segumpal pun awan putih menyelimuti. Terik agak menyengat kulit jika berlama-lama membiarkannya tersentuh ultraviolet. Hari itu Kota Jambi tetap sibuk seperti biasanya, kendaraan lalu lalang tak terbilang jumlahnya.Setelah Mas Rama menyatakan untuk mengikuti tender besar dari perusahaan asal Malaysia, Langit Putra Inc., semua karyawan bergerak dan berfokus pada satu tujuan. Aku pun harus terlibat mengerjakan beberapa survey dan menghitung cost yang akan keluar dari salah satu divisi. Kami tak mau membuang waktu dan tenaga sia-sia, karena kemungkinan yang kami hadapi adalah perusahaan besar – Rama Corporation.“Maaf, Pak Rito,” cakapku dalam rapat pada direktur marketing, “kalau saya bisa memberi pendapat, sebaiknya kita menggunakan teknik marketing berbasis komunitas. Kerangka utamanya adalah pemberdayaan. Zaman sekarang sudah berubah, kita tidak bisa menembak target market secara langsung karena terlalu banyak yang membidik. Kita harus cari jal