"ADA apa, Pak?" Rendra buru-buru mendekat karena mendengar suara kaca pecah, agak terlambat menyaksikan drama yang terjadi barusan."Ada apa, Den Rama, Nyonya?" Bu Meri dan ART lainnya pun ikut berkumpul di ruang tamu itu. Salah satu ART bernama Niska cekatan melihat kaca berhamburan di depan pintu, bergegas mengambil sapu dan membersikannya. Ijah dan yang lain segera membantu.Bunda Syandi lekas mendekati Tara dan mengelus lengannya. Tara yang barusan melempar vas bunga kaca itu napasnya cepat. Masih menatap kosong ke arah pintu sama halnya dengan Mas Rama."Ra, kamu nggak seharusnya melakukan itu. Jangan sembarang main lempar kalau emosi. Terlihat nggak berpendidikan, apalagi kamu lulusan Leeds. Belum lagi kamu menyandang jabatan direktur," pungkas Bunda menasihati Tara."Tapi Pak De sudah keterlaluan, Bun. Itu sama saja mencuri perusahaan kita. Aku dengar semua yang dikatakan Pak De. Aku paham maksud Mas Rama. Semua kejadian akhir-akhir ini adalah settingan demi meloloskan tujuanny
Mata Mas Rama tiba-tiba menatapku, namun ekspresiku malah datar agak manyun. Aku beranjak dan duduk di kursi di depan meja rias. Pandanganku kulempar pada bayangan diriku sendiri di dalam cermin.“Maksud kamu apa, Lov?” tanya Mas Rama sama-sekali tak menyadari kesalahannya.“Bisa keluar sebentar, Mas?” pintaku datar. “Sebentar aja.”“Oke, tapi sebentar aja ya.” Mas Rama turun dari kasur dan beranjak menuju pintu keluar kamar. Aku mengambil bantal dan mengikuti di belakangnya. Setelah ia berada tepat di depan pintu dan sudah di luar kamar, kulemparkan bantal itu dan mengenai punggungnya. “Itu, Mas,” seruku.Mas Rama menoleh dengan tatapan heran. Namun aku segera berujar, “Kamu malam ini tidur di luar!” Lalu kututup pintu dan kukunci dari dalam. Dan kini terserah Mas Rama mau melakukan apa.***Mentari sore itu akhirnya digusur paksa oleh malam. Awan di atas sana menutupi bintang-bintang. Bulan pun bersembunyi. Hanya cahaya lampu jalanan yang masih setia berpijar.Tok tok. Mas Rama me
AWAN semakin pekat di atas sana hingga cahaya bulan tak tembus dan bintang-bintang pun semakin hilang. Semilir angin lembut berhembus hingga dinginnya membelai kulit."Kenapa tadi nggak teriak, Lov?” tanya Mas Rama ketika kami sudah berada di teras belakang rumah. Mas Rama menyesalkan mengapa saat bertemu Brian tadi aku tak memberi tahu sama sekali.Bukan apa-apa, entah mengapa aku memiliki firasat seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria paruh baya itu. Naluriku berkata, Brian takkan menyakitiku. Karena itulah aku tiba-tiba berani mendekati pohon itu, pohon mangga di sebelah sana.“Aku juga nggak tahu, Mas. Apa yang merasukiku sehingga bisa berani mendekati Brian. Namun aku merasakan sesuatu yang berbeda, Mas. Brian seperti ingin memberi tahu akan suatu hal, entah apa itu. Dan buktinya, dia nggak ngapa-ngapain aku, ‘kan?” Aku mengangkat bahu.“Maksud kamu gimana, Lov?”“Aku seperti bisa merasakan kalau Bryan ingin menyampaikan sesuatu dan pesan itu ada di kalung yang dia berikan.
Klek. Pintu dibuka. Seorang lelaki mengenakan stelan jas dan kemeja putih memasuki ruangan itu. Di tangannya adalah setumpuk map yang terdiri dari banyak dokumen.“Ini laporan tentang penyelidikan Robert dan Brian, serta beberapa nama yang Bapak minta.” Lelaki itu adalah Dennis, ia letakkan map itu di atas meja direktur.“Terima kasih. Akan saya periksa segera. Silakan duduk dulu,” titah Mas Rama pada Dennis yang kemudian duduk di kursi di depan meja direktur itu.“Kerja bagus, Dennis. Alamat Brian di sini cukup jelas. Robert pun sudah terdeteksi. Saya masih penasaran dengan gudang itu, ya, yang waktu itu dilihat Cinta.” Mas Rama memuji pekerjaan Dennis, kemudian tatap Mas Rama mengarah padaku. “Lov, bawa kalung yang diberi Brian?”“Bawa, Mas.”“Berikan ke Dennis. Dia yang akan periksa. Mungkin ada memori super-micro yang ada di dalam.”Aku lekas mengambil kalung dari Brian yang kusimpan di tas Hermes-ku. Segera setelah itu kuletakkan di meja Mas Rama. Dennis meraih kalung itu dan mel
LANGIT kota Jambi biru membentang. Tak segumpal pun awan putih menyelimuti. Terik agak menyengat kulit jika berlama-lama membiarkannya tersentuh ultraviolet. Hari itu Kota Jambi tetap sibuk seperti biasanya, kendaraan lalu lalang tak terbilang jumlahnya.Setelah Mas Rama menyatakan untuk mengikuti tender besar dari perusahaan asal Malaysia, Langit Putra Inc., semua karyawan bergerak dan berfokus pada satu tujuan. Aku pun harus terlibat mengerjakan beberapa survey dan menghitung cost yang akan keluar dari salah satu divisi. Kami tak mau membuang waktu dan tenaga sia-sia, karena kemungkinan yang kami hadapi adalah perusahaan besar – Rama Corporation.“Maaf, Pak Rito,” cakapku dalam rapat pada direktur marketing, “kalau saya bisa memberi pendapat, sebaiknya kita menggunakan teknik marketing berbasis komunitas. Kerangka utamanya adalah pemberdayaan. Zaman sekarang sudah berubah, kita tidak bisa menembak target market secara langsung karena terlalu banyak yang membidik. Kita harus cari jal
Kami duduk di sebuah kursi depan kantor Aurora Corps dinaungi pohon beringin tua. Cahaya terik tembus beberapa titik menerobos rimbunan daun. Angin membelai lembut. Marini di sampingku masih saja tegang karena mungkin merasa tak percaya diri denganku yang berstatus istri direktur.“Santai aja, Bu. Dulu saya juga pembantu kok di rumah Pak Rama.” Aku mencoba membuat suasana manjadi cair. “Ibu kenapa makan di toilet, ‘kan ada dapur umum dan itu gratis untuk karyawan?”Marini diam sebentar. “Itu ‘kan untuk karyawan sini, Bu Cinta.” Akhinya ia mau berbicara. “Sementara saya ini hanya pekerja kontrak dari perusahaan kebersihan yang disewa oleh Aurora Corps. Jadi, saya tidak terdaftar sebagai karyawan sini.” Wajah Marini sendu.“Begitu juga dengan petugas kebersihan lain, Bu?”Marini mengangguk.“Beginilah kami, Bu Cinta. Dibilang bukan karyawan, tapi bekerja di sini. Dibilang karyawan pun tapi nggak dapat fasilitas yang sama dengan karyawan lain. Asuransi nggak dapat, tunjangan kerja nggak
RUANGAN meeting hotel bintang empat itu telah dipersiapkan oleh pihak Langit Putra Inc. untuk keperluan presentasi pemenangan tender. Proyek distribusi dan instalasi jasa telepon seluler dan internet itu cukup besar dan menggiurkan untuk diikuti banyak perusahaan, tak terkecuali perusahaan besar laiknya Rama Corporation, Epafix Company, PT. Trojan, dan lainnya. Kami, Aurora Corporation yang baru tumbuh beberapa tahun harus siap menghadapi mereka yang sudah meraksasa.“Untuk sistem marketing, kita akan menggunakan pendekatan berbasis media sosial. Menggunakan selebgram lokal dan iklan berbayar di Facebook atau Instagram. Untuk merancang tema dan kontennya kita akan menyewa desainer grafis yang sudah andal dan berpengalaman.” Seseorang dari perusahaan bernama Epafix Company mempresentasikan proposal dari pihak mereka.Setelah selesai, pihak dari Langit Putra Inc. memberi beberapa pertanyaan dan terjadi sesi tanya jawab yang kadang agak sengit.Zapa sebagai presenter perwakilan dari Rama
Sementara di meja sebelah, Pak De Andre dan Zapa tiba-tiba menghampiri Tuan Abdul Razzak. Ia terlihat seperti berbincang padanya beberapa saat. Lalu mereka bertiga beranjak ke meja yang berbeda.“Pssst,” Tara memberi kode padaku untuk melihat Pak De Andre dan Zapa serta Tuan Abdul Razzak di meja agak ujung sana. “Dengerin mereka ngomong apa?” bisik Tara.“Caranya?”“Ini alat perekam kecil. Bungkus pakai tisu, terus lempar sedekat mungkin ke mereka, tapi jangan sampai terlalu dekat nanti ketahuan.” Tara mengeluarkan sebuah alat yang berbentuk agak bulat kecil sebesar kelereng. Ia kemudian membungkusnya dengan tisu.Tara menjatuhkan alat yang sudah terbungkus tisu itu, lalu ia sepak hingga menggelinding dan berhenti tepat di bawah meja mereka bertiga.“Berhasil, tinggal koneksikan ke ponselku. Nanti di ponsel akan merekam otomatis dan mengubahnya jadi tulisan. Jadi kita tinggal baca. Canggih, ‘kan?” ujar Tara.“Canggih, Ra.”Setelah sekitar satu menit lamanya ponsel Tara mulai menangkap