Sementara di meja sebelah, Pak De Andre dan Zapa tiba-tiba menghampiri Tuan Abdul Razzak. Ia terlihat seperti berbincang padanya beberapa saat. Lalu mereka bertiga beranjak ke meja yang berbeda.“Pssst,” Tara memberi kode padaku untuk melihat Pak De Andre dan Zapa serta Tuan Abdul Razzak di meja agak ujung sana. “Dengerin mereka ngomong apa?” bisik Tara.“Caranya?”“Ini alat perekam kecil. Bungkus pakai tisu, terus lempar sedekat mungkin ke mereka, tapi jangan sampai terlalu dekat nanti ketahuan.” Tara mengeluarkan sebuah alat yang berbentuk agak bulat kecil sebesar kelereng. Ia kemudian membungkusnya dengan tisu.Tara menjatuhkan alat yang sudah terbungkus tisu itu, lalu ia sepak hingga menggelinding dan berhenti tepat di bawah meja mereka bertiga.“Berhasil, tinggal koneksikan ke ponselku. Nanti di ponsel akan merekam otomatis dan mengubahnya jadi tulisan. Jadi kita tinggal baca. Canggih, ‘kan?” ujar Tara.“Canggih, Ra.”Setelah sekitar satu menit lamanya ponsel Tara mulai menangkap
MAS RAMA akhirnya menunjukkan sebuah kalung yang berisi bukti kecurangan banyak termasuk Pak De Andre. Tentu saja ekspresi wajah Pak De dapat ditebak: terbelalak. Namun hanya beberapa detik. “Apa?” tanyanya dengan suara terkejut.“Ini semua bukti pencucian uang dan proyek kotor, Pak De.”“Memangnya siapa yang percaya? Hahaha.” Pak De Andre ternyata hanya berpura-pura terkejut. Beberapa detik kemudian espresinya berubah kembali meremahkan. “Coba saja laporkan semua itu ke polisi, Rama!” jeritnya memenuhi ruangan itu.“Bukan hanya polisi, Pak De, tapi juga ke media.” “Media?”“Ya.”“Rama, Rama. Semua media bisa dibungkam asal ada uang, Ram. Dengan besarnya Rama Corporation sekarang tentu saja mereka bisa diatur sekehendak hati. Paham, Ram? Hahaha.”“Licik! Aku pasti akan memasukkanmu ke penjara, Andromeda!”“Kita buktikan siapa yang paling kuat, Ram.” Pak De Andre beranjak meninggalkan ruangan itu, berjalan dengan meletakkan tangan di saku celana. Sementara kami hanya memandangi merek
“Saya memang suka menggoda mahasiswa, Pak. Itu bagian buruk dari sifat saya, namun khusus untuk Bu Lovarena Cinta, saya benar-benar diminta, eh, lebih tepatnya dipaksa oleh Pak Zapa. Ternyata memang ia dendam kepada anda, Pak Rama.” Solomon diam lagi, membiatkan Mas Rama memberikan tanggapannya.Mas Rama hanya mendesah panjang. “Baiklah, terima kasih atas penjelasannya. Namun kalau anda ingin dalam perlindungan saya, anda harus melakukan ini.”“Apa itu, Pak?”“Begini ….”***Hari berlalu begitu cepat hingga sudah tiga hari lamanya setelah kami memenangkan tender dari Langit Putra Inc. Aku harus menemani Mas Rama lembur beberapa hari terkahir sebab menyiapkan proyek besar dari perusahaan asal Malaysia itu. Tuan Abdul Razzak beberapa kali berkunjung ke kantor kami untuk memeriksa perjanjian kontrak yang baru ditandatangani hari ini. Tok tok. Aku mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Mas Rama. Klek. Saat kubuka pintu itu Mas Rama masih sibuk dengan laptonya, bahkan tanpa menoleh keara
HIRUK-PIKUK Kota Jambi pagi itu tetap ramai seperti biasanya. Masih jam kerja, terdengar kabar ada demo besar di depan kantor Rama Corporation. Demo itu memicu ketidakstabilan, karena itu Mas Rama segera memanfaatkan momentum. Data kejahatan oknum di perusahaan Rama Corps itu dilaporkan ke pihak berwajib, dan disebarkan ke media.Demikian hal itu membuatku tegang setengah mati. Itu artinya kami harus berperang langsung kali ini. Perang dengan cerdas tentunya.Namun telepon dari Rindu tiba-tiba mengagetkan.“Ibu, Mbak, Ibu.” Suara Rindu menganduk rasa takut yang tak biasa. Sepertinya, telah terjadi sesuatu di rumah Ibu. Setelah Rindu berucap hal itu teleponnya lekas putus dan ketika kucoba menghubunginya lagi, ponselnya sudah mati.“Siapa yang nelpon, Lov?” tanya Mas Rama.“Rindu, Mas. Dari nada suaranya kayak ada sesuatu yang terjadi deh, Mas.”“Datangin aja gimana?”“Iya, Mas. Aku kok jadi cemas ya, dengar kata-kata Rindu tadi. Apa kita berangkat sekarang aja, Mas?”“Kamu diantar Den
“Rindu, kamu nggak papa, Dek?” Aku menggoyang-goyang tubuh Rindu. Namun tiada jawaban dari gadis tujuh belas tahun itu.Kutepuk-tepuk pipi Rindu, tetap tiada jawaban. Rindu pingsan.“Beraninya kamu Cinta!” Ibu mendorongku hingga aku terjatuh ke lantai. “Selama ini apa yang kamu lakukan? Bisanya cuma buat masalah aja. Kamu nggak pernah ngerti perasaan Ibu. Jahat, kalian semua jahaaat!”“Ibu, Cinta nggak pernah niat– “Ibu tak mengindahkan jawabanku lagi. Ia beranjak dengan bergegas keluar kamar. Klek. Suara pintu kamar tiba-tiba dikunci dari luar. Astaga. Ibu mengurung kami di dalam, sementara Rindu sedang pingsan karena kehabisan napas. Si*alnya, aku tak bisa melakukan napas buatan.“Ibuuu, bukaaa!” teriakku. Namun Ibu tak menjawab sama-sekali. Aku berlari ke arah pintu dan menggedor beberapa kali, tetap tiada jawaban. Sementara Rindu sudah semaput dan aku sangat khawatir.“Toloong!” Aku berteriak agar seseorang di luar mendengar. Tiada sesiapa pun menjawab. Kemana Fresha dan Dennis?
SREK! BARU saja mau kubuka tirai itu, Fresha langsung memanggil.“Bu Cinta, maaf saya harus kembali ke kantor. Ada dokumen yang harus segera saya selesaikan. Saya naik taksi online saja, nggak apa-apa.”Seketika aku urung membuka tirai itu dan menoleh pada Fresha. “Oh, baik, Fresh.”“Maaf, Ibu, mohon jangan mengganggu, karena dokter sedang menangani pasien. Silakan menjauh, Ibu,” tegur seorang perawat yang mengenakan masker medis di dalam tirai itu.Srek! Kututup lagi tirai itu dan beranjak ke ranjang Rindu.“Sudah enakan, Dek?” tanyaku pada adik bungsuku itu.“Lumayan, Mbak.” Rindu memegangi lehernya yang merah.“Sakit?”Rindu mengangguk. “Ibu mana, Mbak?”“Pergi, belum tahu kemana.”“Cari, Mbak.”“Yang penting kamu sehat dulu. Mbak Kasih sama Mas Bagus udah dihubungi, semoga cepat sampai sini.”Di sebelah sana, beberapa perawat sibuk mondar-mandir dari meja di ruang IGD menuju tirai sebelah yang tertutup. Barangkali paramedis masih berjibaku menyelamatkan pasien yang baru masuk itu.
Deg. Ingatan? “Ya Allah.” Aku limbung dan hampir pingsan. Mas Bagus langsung menangkap tubuhku, lalu memapahku duduk kembali.Tak lama berselang, Mas Rama dibawa dengan ranjang roda lagi menuju ruang perawatan. Aku hanya bisa menatap Mas Rama yang tampak sudah dibalut perban di bagian kepalanya itu. Tak sanggup rasanya menatap lama, kutundukkan wajahku dan tumpah lagi air mataku. Nyeri semakin menggila menyusup ke dalam tulang.Blur. Pandanganku kabur. Gelap.***“Cinta?” Suara Bunda Syandi terdengar pelan, membangunkanku. Bau aromaterapi menyengat hidung.“Bunda?” mataku perlahan dapat melihat sosok berjilab panjang itu. “Mas Rama mana?”“Rama ada, masih belum siuman.”“Mas Rama,” panggilku seraya mencoba bangun dari sofa ruang rawat VVIP itu. “Sshhh. Jangan bangun dulu. Tetap istirahat. Rama juga belum bangun. Dia baik-baik aja.”“Tapi kata Suster tadi–““Dokter sudah menjelaskan hasil rontgen-nya.”“Terus, Bun?”“Mbak Cinta, Mbak tenang dulu ya?” Tara yang duduk di samping ranjan
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki