"Bisa tidak mulutmu itu diam? Kepalaku sudah mau pecah ini. Tidak usah banyak menuntut. Ini apartemenku. Aku ingin menenangkan diri disini, jadi tolong kamu tau diri," kata AgamAisyah diam. Tapi bibirnya terus mencibir. Uang nafkah dari Agam yang tidak seberapa itu tentu sudah menipis di tanggal tua seperti ini.Agam mencoba memejamkan matanya di sofa apartemen. Namun baru beberapa menit, handphonenya sudah kembali bergetar. Di layar tertulis kontak dengan nama sang mama. Dengan malas, Agam mengangkatnya."Hallo Ma?""Kamu ini dimana? Di telfon Neni sedari tadi tidak di angkat?"Agam menghela nafas kesal."Aku sedang istirahat Ma,""Cepat pulang. Neni sudah menunggu," perintah sang mama."Untuk apa Ma? Aku dan dia baru saja bertemu,""Sudah pulang saja dulu," kata sang mama lalu mematikan sambungan telfonnya.Agam dengan langkah gontai akhirnya bangun dari tidurnya "Pergi lagi Mas? Katanya ingin menenangkan diri?" tanya Aisyah."Bukankah kamu senang jika aku pergi dari sini? Jadi k
Aisyah sangat tertarik untuk melanjutkan pembicaraan dengan Papa Amanda. Namun apa daya, anaknya butuh dibawa ke rumah sakit sekarang juga "Saya sangat tertarik dengan tawaran Om. Tapi saya belum bisa bicara lebih lanjut. Lain kali saya akan segera kesini Om untuk membicarakan hal ini. Tapi anak saya harus dibawa ke rumah sakit terlebih dahulu," kata Aisyah tak enak hati."Oh iya kamu bawa dulu saja. Anak kamu lebih penting."Aisyah mengangguk."Maaf ya Aisyah kami tidak bisa mengantarkan. Nanti kalau ada waktu pasti kamu akan menjenguk anak kamu," kata Bu Yosi.Aisyah kembali mengangguk. Dan tak banyak kata ia segera keluar dari rumah itu, memasuki taksi yang dipesankan Bu Yosi.Kebetulan di gerbang rumah Amanda, ia berpapasan dengan wanita paruh baya, yang menatap dirinya seolah menelisik tajam.Namun Aisyah tak terlalu memperdulikan."Siapa itu Yosi? Ngelamar jadi pembantu? Ngelamar jadi pembantu kok bawa anak segala," komentar Budhe Sri yang kebetulan ikut dalam satu acara itu."
Agam hanya tertunduk, di sorot tajam oleh netra sang mama. Sejenak ruangan itu terasa hening."Kalau bukan karena Bu Yosi. Entahlah bagaimana Arvi," kata Aisyah tiba tiba yang memecah keheningan."Maksud kamu bagaimana?"Aisyah menarik nafas panjang."Siapa yang membiayai Arvi masuk ke rumah sakit ini Ma? Sementara kami tidak memiliki jaminan kesehatan. Mama tanya sendiri kepada anak kesayangan Mama itu, ada tidak dia memberi saya uang untuk bulan ini?" tanya Aisyah dengan berani.Mendengar itu, Agam melotot menatap Aisyah. Dan wanita itu bergeming.Bu Melisa sebenarnya sempat salah tingkah. Ia menutupi dengan sempurna gestur tubuhnya. Namun ia berusaha menyangkal. Satu tanganya dikibaskan di udara."Tidak. Tak mungkin anak saya seperti itu. Memangnya kamu kira kamu menikah dengan anak orang susah begitu?" sangkal Bu Melisa."Jangan begitu dong Jeng. Tanyain dulu anaknya. Mentang mentang anaknya jangan langsung dibela terus menerus. Bagaimana kalau anaknya memang salah?" tanya Bu Yos
Amanda hanya diam. Tak langsung menjawab kalimat dari Yoga. Pandanganya beralih. Menoleh ke laut lepas. Walau di depanya ada sepasang netra yang menatapnya dengan lekat."Tidak apa apa kamu diam. Tapi wajahmu bisa menjawabnya Nda," kata Yoga tiba tiba"Maksudmu bagaimana? Mau jadi ahli bahasa tubuh begitu? Memangnya kamu berbakat?" tanya Manda lirih."Lihat pipimu yang kini merona merah seperti jambu itu. Itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah jawaban bukan?" jawab Yoga.Amanda hanya tersenyum simpul. Malu."Sudahi bualanmu itu. Kamu sudah di fase umur yang dewasa. Tidak seharusnya kamu buang buang waktu, haha hihi tidak jelas. Kata orang, anak orang kaya itu masa depanya sudah tertata rapi. Tapi dari apa yang kamu katakan tadi, itu berarti kamu menata masa depanmu sendiri bukan. Jadi, mulailah dari sekarang. Tak payah membuang waktu," kata Amanda."Sudah. Semua apa yang kamu katakan itu sudah aku persiapkan. Hanya kini sedang aku persiapkan, partner yang pantas, yang kuat, u
Mobil yang di kemudikan Agam sudah sampai di sebuah toko perhiasan yang besar. Banyak mobil mobil mewah yang berjejer di depan toko. Para elite dan sosialita juga tampak meramaikan toko perhiasan yang sangat dikenal oleh golongan ekonomi kelas tinggi tersebut.Neni tampak antusias sekali untuk segera masuk. Sementara berbeda dengan Agam yang tampak ketar ketir dengan apa yang Neni akan pilih nanti. Do'anya hanya satu. Semoga uangnya cukup."Duh pengantin baru. Kesini juga," sambut hangat salah satu karyawannya."Calon Mbak. Bagiamana yang aku keep kemarin. Ada?" tanya Neni."Oh tentu ada. Mbak Neni memang pintar. Seleranya tinggi. Itu tandanya wanita yang ingin dihargai laki laki. Maharnya bukan main. Fantastis," puji karyawannya."Tuh Mas. Dengarkan. Mahar adalah bentuk dari seorang calon suami dalam menghargai istrinya," kata Neni kepada AgamAgam hanya diam. Mengamati sekeliling. Hingga pandangan netranya bertabrakan dengan seorang wanita paruh baya yang juga tengah memilah Milah p
"Ingat ya Aisyah. Kamu jangan bilang macam macam kepada Mama," ancam Agam sesaat mereka hendak turun dari mobil.Aisyah hanya menghela nafas dengan kasar. Lelah."Ya Tuhan Aisyah. Ndeso sekali kamu. Kesini naik mobil, sudah seperti jalan kaki saja. Keringat sejagunh jagung. Penampilan kucel. Mana bau lagi," komentar Bu Melisa saat Aisyah datang."Iya Ma. Tadi sudah aku bilang untuk suruh mandi dulu, tapi tidak mau," jawab Agam.Sontak Aisyah menoleh. Suaminya memutar balikan fakta."Kalau caramu begini, bagaimana Agam bisa betah dengan kamu Aisyah?""Kalaupun saya tidak seperti ini, apakah Mas Agam juga betah dengan saya? Bertahan hanya dengan saya. Dengan satu wanita? Tidak juga bukan?" tanya balik Aisyah."Aisyah, sekarang kamu berani melawan Mama begitu?" tegur Agam."Aku tidak melawan, hanya saja aku membicarakan fakta Mas," jawab Aisyah"Sudah sudah. Cepat mandi sana. Lama lama saya bisa pingsan dengan bau kamu itu,"Aisyah menurut. Ia segera menuju kamar mandi."Kita harus seger
Amanda diam. Meskipun dalam hatinya ia tersipu malu. Hal kecil yang membuat dirinya merasa di hargai. Hal kecil yang bahkan tak pernah ia dapat dari mantan suaminya dulu. Dia tersanjung.Namun untuk menjalin tali asmara, kiranya tidak semudah itu. Ia sudah lelah dengan segala drama percintaan."Mama dan Papa tidak memaksa kehendak Nda. Sama sekali tidak. Hanya saja kamu merasa bahwa Yoga adalah orang yang tepat. Kamu itu batu, Nda. Kamu keras. Kamu pantang disakiti. Maka dari itu, kamu harus cari pria yang sefrekuensi dengan kamu. Yang punya sabar yang luas," nasihat sang Mama yang membuat Amanda hanya mengangguk kecil.*"Aisyah, saya ingin bertemu dengan kamu karena juga ada yang akan saya bicarakan," kata Bu Melisa dengan serius sesaat setelah Aisyah sudah membersihkan diri."Iya Ma.""Jadi sebentar lagi adalah acara pernikahan Agam dengan Neni. Saya harap, kamu tidak usah datang. Dan tidak usah memunculkan diri di hadapan orang lain. Jika ada orang yang bertanya, bilang saja kalia
Pagi sekali, setelah selesai sarapan, ART di rumah Pak Hartono mendekati Mengatakan bahwa di depan ada tamu."Tamu? Bukankah hari ini weekend. Kok ada saja yang berkunjung," gumam Bu Hartono dalam hati.Bu Hartono menemui tamunya tersebut. Dia kaget."Loh Bu Melati rupanya. Mari masuk Bu. Kok tidak bilang jika mau kesini?" ajak ramah Bu Hartono."Iya Bu. Tadi sekalian jalan. Saya kesini mau mengantarkan baju pesanan ibu," kata Bu Melati sembari menyerahkan sebuah paperbag. Bu Melati adalah penjahit langganan keluarga Hartono.Bu Hartono masih melongo. Karena dia tidak merasa memesan apapun."Terimakasih lhoh Bu. Sudah mempercayakan kepada saya untuk kesekian kalinya. Uang yang ditransfer juga di lebihkan, katanya untuk komisi. Padahal saya sudah senang mempunyai langganan seperti ibu," tambah Bu Melati dengan senyum tersipu malunya.Bu Hartono masih diam kebingungan."Kenapa Bu? Apakah ada yang salah dengan kalimat saya?" tanya Bu Melati yang tidak enak hati, karena Bu Hartono sedari