Kecupan singkat, pujian Mas Fahry dan Khanza pada masakanku, serta ekspresinya yang menurut saat aku memintanya tak merokok di kamar tadi membuatku hari ini menjalani hariku dengan penuh semangat. Khanza dan Ghazy pun semakin akran dan menjadi pelipur lara bagi ibu mertuaku menyaksikan mereka berdua bermain bersama di dalam rumah. Suara-suara khas anak kecil membuat rumah ini terasa kembali ceria, itu yang dikatakan ibu padaku.“Rumah ini terasa mati beberapa bulan terakhir ini semenjak kepergian Mbak mu, Nak. Ibu bersyukur sekarang masih bisa menikmati pemandangan seperti ini. Melihat cucu-cucu ibu bermain bersama.”Aku hanya tersenyum. Satu lagi yang membuatku merasa bahagia, tadi sewaktu kembali ke dapur untuk membereskan peralatan makan Mas Fahry dan Khanza, ternyata semua sudah bersih dan tersusun rapi.“Tadi ayah yang beresin. Katanya biar nggak ngerepotin Tante Nilam.” Itu yang dikatakan Khanza saat aku bertanya.“Nak Nilam.” Suara ibu membuyarkan lamunanku.“Iya, Bu.”“Nak Nil
“Tapi, Dek ..."“Tanpa tapi, Mas. Nilam nggak kenal kata tapi jika berurusan dengan wanita gila itu! Bahkan Nilam bisa lebih gila darinya jika ia mengusik ketenangan hidup Mas Fahry, terutama anak-anak Mbak Tania!”Mas Fahry justru memandangku sambil tertawa kecil, tak lama kemudian ia menghampiriku lalu mengacak-acak rambutku.“Kamu berlebihan, Dek. Mas nggak ada maksud apa-apa. Ini murni kerja sama bisnis. Kamu pasti tau kan Hasan Lukman mewariskan separuh harta dan perusahaannya pada Nasya. Dan dia sekarang sedang memulai merintis dari awal lagi bersama salah satu rekanku. Jadi karena kami bergerak di bidang yang sama, kami punya kesepakatan untuk saling mendukung.”Aku terdiam sesaat, tapi naluriku tetap saja waspada dengan semua yang berhubungan dengan Nasya. Kata-kata Mbak Tania sebelum meninggal waktu itu masih kuingat dan akan selalu kuingat.“Dek, jika nanti Mbak nggak bisa bertahan dan harus menyerah pada penyakit ini, Mbak mohon Nilam yang mengambil alih menjagakan anak-ana
“Tapi Nasya wanita licik, Mas. Dan kata Mbak Tania ... kata Mbak Tania ....”“Apa kata Tania, Dek?”“Katan Mbak Tania Mas Fahry dan Nasya seakan punya ikatan tak kasat mata, yang selalu membuat kalian berdua kembali terhubung satu sama lain. Makanya Nilam harus jauh lebih waspada dari pada Mbak Tania dulu.” Ia menarik nafas dalam-dalam, kurasa memang lelaki itu masih merasakan penyesalannya atas semua yang dulu terjadi. Ia kembali menarik tubuhku dengan lembut, kali ini bukan untuk didekapnya seperti tadi, tapi ia menghadapkan wajahku tepat di depannya, kemudian memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya.“Kamu cemburu pada Nasya?”“Nggak! Aku nggak punya hak untuk itu.”“Kamu punya hak, Dek. Kamu sekarang istriku.”“Entahlah! Nilam hanya ingin menjalankan amanah bunda Khanza dan Ghazy untuk menjauhkan mereka dari Nasya.”“Mas Fahry janji kali ini akan lebih berhati-hati. Mas hanya ingin bekerja sama dengan perusahaannya. Mas janji akan melaporkan semua padamu jika kamu nggak per
Mas Fahry akhirnya benar-benar menurunkan pigura fotonya dengan Mbak Tania dari dinding kamar. Kulihat ia memandangi foto itu agak lama, lalu kemudian mengambil tisu dan membersihkannya dengan penuh kelembutan. Aku terus meliriknya dengan sudut mataku. Sesekali kulihat ia menyeka sudut matanya. Terus terang saja aku terenyuh, aku tau betapa dalam cinta Mas Fahry pada Mbak Tania serta betapa besar rasa penyesalannya karena dalam hubungan mereka yang tidak begitu lama, Mas Fahry pernah menghadirkan luka di sana.Kini dinding di mana ia menciumku dengan brutal di bawah foto Mbak Hannan tadi telah kosong. Hatiku pun terasa kosong. Meski aku sangat menikmati dan bahkan menginginkan lebih dari ciuman Mas Fahry tadi, tapi aku masih tetap saja merasa jika ini adalah kamar Mbak Tania. Ada yang hilang dari hatiku saat foto itu tak lagi ada di sana. Aku sendiri tak bisa menggambarkan perasaan apa yang sedang kurasakan saat ini. Jika saja bisa meminta, aku hanya ingin Mbak Tania kembali dan menja
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita