Di hari ketiga Mas Fahry dirawat, akhirnya Mas Fahry sudah diperbolehkan pulang dan menempuh perjalanan darat ke Jakarta. Belum ada penjelasan apa pun yang kudapat dari pria itu. Ia hanya terus nenerus membisikkan kata maaf ketika aku menyuapinya, menyeka tubuhnya ataupun membetulkan alat-alat medis di tubuhnya. Bukan tanpa sebab aku masih membiarkannya, tapi ayahku ternyata menolak untuk tidur di hotel dan justru memilih tidur di sofa rumah sakit, sehingga aku memilih menghindari bertanya ataupun meminta penjelasn pada Mas Fahry.Selain itu, aku juga ingin agar ia segera pulih dan kami semua bisa kembali ke Jakarta. Aku tak mau ibu mertuaku bertambah panik memikirkan putra bungsunya ini, juga aku sudah merasa kangen pada Khanza. Ini kali pertama aku berpisah dari putriku dan Mas Farhan itu.Sesekali Mas Fahry juga menanyakan Khanza dan memintaku untuk melakukan panggilan video padanya. Ya, untuk urusan kasih sayangnya pada Khanza, aku memang tak meragukannya. Meski kini rasa ragu itu
Sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta, Mas Fahry terus menautkan jemarinya dalam genggamanku. Aku pun tak menolaknya karena sesekali ayahku melirik kami dari spion di atas kepalanya. Aku dan Mas Fahry memang duduk di belakang, sedangkan Nilam duduk di depan menemani ayah.Tak ada pembicaraan apapun di antara kami. Hanya sesekali terdengar suara Nilam menerima panggilan telepon di ponselnya, adikku satu-satunya itu kadang berbisik-bisik di telepon, membuat ayah sesekali menoleh heran padanya. Nilam juga memutar tape mobil untuk mengusir keheningan.Selama beberapa hari menunggui Mas Fahry di rumah sakit, aku tak pernah bisa tidur dengan baik. Selain karena harus terus menjaga dan menyiapkan apa saja yang dibutuhkan suamiku, pikiranku pun masih terganggu oleh kebersamaannya dengan Nasya. Rasa ngantuk menguasaiku di tengah perjalanan, sesekali kepalaku terkulai dengan sendirinya, sebelum akhirnya Mas Fahry menarik kepalaku ke dalam dekapannya. Aku ingin menghindar dan kembali menegakkan k
“Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan, Mas. Jangan berbelit-belit! Mas Fahry ingin kembali padanya? Mas Fahry merasa terhalang oleh ikatan pernikahan kita?”“Enggak, Tania! Enggak! Aku enggak punya niat kembali padanya. Percayalah padaku, aku mencintaimu.” Lelaki itu kembali berusaha meraih tanganku.“Seandainya saja kamu tak terlibat kecelakaan bersamanya. Seandainya saja aku tak menemukan kebohonganmu yang berpamitan untuk bekerja tapi justru berada dalam satu mobil bersamanya. Seandainya saja tak ada barang-barang pribadi Nasya dan ponsel rahasiamu itu, mungkin aku akan percaya, Mas. Karena selama ini aku percaya bahwa kamu mencintaiku. Tapi maaf, semua yang terjadi telah menghapus semua kepercayaanku padamu. Jika memang Mas Fahry tak berniat kembali padanya, kenapa harus berbohong padaku? Kenapa terlibat dengannya? Kenapa mengantarnya ke Bandung hingga berniat merayakan ulang tahunnya? Kenapa harus punya ponsel khusus untuk menghubunginya? Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Mas?”
Setibanya kami di rumah, ibu menyambut kami dengan wajah penuh kekhawatiran. Wanita renta itu bahkan meneteskan air matanya ketika melihat satu-satunya putranya yang tersisa turun dari mobil dengan menggunakan tongkat sebagai alat bantu. Aku membantu menopang tubuh Mas Fahry, lengannya melingkar sempurna di pundakku saat aku membantunya berjalan ke dalam rumah.Ayahku dan Nilam langsung pulang tak lama setelahnya, hingga kini tinggallah aku, Mas Fahry dan ibu di rumah kami. Rasa iba menelusup dalam hatiku ketika melihat ibu dengan lembutnya mengusap-usap bekas luka Mas Fahry, lalu menanyakan bagian tubuhnya yang mana yang sakit, sambil sesekali menyeka sudut matanya. Aku sangat mengerti perasaan ibu mertuaku, aku pun merasakan itu saat pertama kali mendengar kabar Mas Fahry kecelakaan. Rasa trauma kehilangan Mas Farhan dalam insiden kecelakaan di bengkel masih membekas dalam hati kami.Andaikan saja ibu tau jika Mas Fahry bersama Nasya saat kecelakaan, andaikan saja ibu tau jika sedan
“Aku berusaha menghindarinya dan memberi pengertian padanya, namun Nasya justru semakin nekat merobek sendiri pakaiannya. Ia mengancam akan berteriak jika aku menolaknya.”Hatiku semakin tak karuan menanti Mas Fahry melanjutkan ceritanya.“Sekuat tenaga aku membujuknya, menjelaskan jika ia adalah wanita baik-baik yang tak pantas merendahkan dirinya seperti itu. Aku juga menjelaskan padanya jika aku tak mungkin mengkhianati istriku, yaitu kamu, Tania. Hal itu membuatnya menangis meraung-raung sehingga membuatku terpaksa memeluknya untuk menenangkannya. Lalu ... lalu ia kemudian memintaku untuk menciumnya. Aku ... aku terbawa suasana. Hujan deras dan tangisan Nasya membuatku menuruti keinginannya. Kami berciuman. Hanya itu, Tania. Hanya sekali itu. Maafkan aku.”“Cihh! Wanita baik-baik mana yang menyerahkan tubuhnya dengan mudahnya pada suami orang? Dan kamu, Mas? Katamu tak mungkin mengkhianatiku? Lalu apa namanya semua ini jika bukan pengkhianatan!”“Aku sungguh tak bermaksud seperti
“Aku memang marah, Mas! Bahkan sangat marah, tapi bukan untuk masa lalu kelammu. Aku tak berhak menghakimimu atas masa lalumu. Yang kusesali adalah caramu menyikapi masa lalumu itu. Jika dulu kalian berdua bisa terlena hingga berbuat sejauh itu, lalu mengapa Mas Fahry justru mengulanginya lagi sekarang? Berduaan dengannya. Mengantarkan ke Bandung. Beduaan dalam mobilmu. Tidakkah Mas menyadari jika itu akan kembali membuka peluang untuk kalian mengulangi dosa yang sama?”Lelaki itu menatapku sendu.“Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar tak menyangka jika akan terjadi seperti ini.”“Jika saja waktu itu kalian tak mengalami kecelakaan, apa Mas Fahry bisa menjamin tak akan terjadi apa-apa selama kalian berdua berada di Bandung. Kamu dan Nasya dua orang dewasa yang pernah punya hubungan yang sangat dekat, Mas. Lalu kalian merencanakan untuk pergi berdua dengan berbohong padaku. Coba saja Mas bayangin, jika tak ada insiden kecelakaan itu, apa yang akan kalian perbuat selama tiga hari di san
Seminggu setelah pulang dari Bandung, Mas Fahry masih diberi waktu untuk beristirahat di rumah, meski ia sering sekali menerima telepon dari bawahannya bahkan beberapa kali rekan kerjanya datang ke rumah kami untuk membahas masalah pekerjaan. Sesekali dalam percakapan mereka aku mendengar nama Nasya disebut. Aku tau, Nasya merupakan salah salah satu arsitek yang menjadi bawahan Mas Fahry, maka aku menganggap wajar namanya disebut-sebut dalam percakapan mereka. Meski Mas Fahry sesekali melirik padaku saat nama Nasya disebut.Hingga aku mendengar salah satu percakapan Mas Fahry dengan rekannya saat aku hendak mengantarkan minuman pada tamu Mas Fahry.“Lu beneran kecelakaan bareng Nasya di Bandung kemarin, Bro?”“Ssstt. Jangan nyaring-nyaring, aku enggak enak kalau istriku dengar.”“Yeile, jadi beneran. Lu belum bisa move on dari Nasya? Terus istri lu belum tau kalau lu ke Bandung bareng Nasya?”“Bukan gitu, Roy. Gue kemarin cuma niat mau ngantarin dia ke Bandung, enggak taunya malah ke
Berada di rumah orang tuaku membuatku sedikit melupakan masalahku. Keceriaan Khanza saat bercanda dengan ayah dan ibuku membuatku tersenyum. Sedangkan Nilam sedari tadi kulihat hanya beberapa kali keluar dari kamarnya lalu kemudian masuk kembali dan menutup rapat kamarnya. Padahal biasanya jika ada Khanza, adikku yang masih kuliah di semester 5 itu akan mengajak Khanza keliling-keliling dengan motor maticnya.Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor Mas Fahry serta beberapa pesan yang belum terbaca juga dari nomornya ketika aku meraih ponselku yang sedari tadi hanya kuletakkan di atas meja di dalam kamarku.[Tania kamu kemana? Kok enggak pamit?][Khanza ikut kamu, kan?][Kata Ibu kamu izin mau nginap di rumah ayah? Kenapa enggak bilang sama aku?][Tania, kamu baik-baik saja, kan? Kenapa tiba-tiba pergi? Apa aku ada salah?]Ada jeda sekitar 30 menit dari pesan terakhirnya saat Mas Fahry kembali mengirimkan pesan.[Tania, kamu mendengar obrolanku dengan temanku tadi?][Ya Allah! J