Aku mengucap hamdalah, bersyukur bahwa adikku sudah bisa kembali dan dalam keadaan aman sekarang.“Aku ikut.” Kuraih tangan Mas Fahry yang baru selangkah menjauh.“Jangan, Sayang. Kamu harus banyak istirahat, biar aku yang urus.”Akhirnya Mas Fahry luluh, meski akhirnya ia mengatakan bukan hanya mengkhawatirkanku tapi ia juga tak ingin aku sering-sering bertemu dengan Gibran.“Dokter gila itu pernah menyukaimu, Tania,” ucapnya setelah mobilnya sudah melaju di jalan raya.“Aku tak punya hak mengatur perasaan orang, Mas. Lagian kamu kok gitu padanya, ngatain gila lah, brengsek lah, dokter enggak jelas lah! Padahal Gibran udah baik banget dan banyak membantu kita selama ini.”“Ini nih yang kutakutkan. Kamu punya rasa kagum padanya.”“Ck! Aku berkata sesuai kenyataan, Mas. Lagian aku tau batasanku dalam bergaul.”Ia melirikku sekilas, kurasa kalimatku barusan sedikit menyinggung perasaannya. Karena ia dan Nasya memang sudah melanggar batasan pergaulan selama ini.“Maaf jika Mas Fahry mera
Sebenarnya aku sedikit grogi berhadapan dengan wanita ini. Wanita yang menurut Mas Fahry sangat ambisius. Mampukah aku menghadapinya? Namun demi masa depan hubungan rumah tanggaku, aku harus terlihat kuat di hadapannya.“Mas Fahry tau kita ketemuan?” tanyanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Pantas saja tadi dia enggak nanya apa-apa sewaktu aku izin hari ini enggak ikut ke lokasi. Padahal biasanya dia pasti nanyain.”Ia mulai mengeluarkan kalimat provokasinya. Kurasa iya, dulu mungkin Mas Fahry akan bertanya padanya, tapi aku yakin, sekarang Mas Fahry pasti sudah mulai menghindarinya. Karena itulah yang dijanjikannya padaku dengan bersungguh-sungguh.“Nasya, apa kamu tau? Kemarin aku hampir menyerah dengan hubungan ini. Terus terang saja aku tak bisa melihat suamiku dekat dengan wanita lain. Tapi ternyata Mas Fahry memilih mempertahankan hubungan kami dan berjanji akan memperbaikinya. Jadi aku menemuimu di sini untuk meminta padamu sebagai sesama wanita, jauhilah suamiku!”Ia tertawa keci
“Kamu!!!” Kurasa ia kehabisan kata-kata.“Jika aku dan Mas Fahry saling bergandengan menghadapi tekanan karena video masa lalu kalian itu, lalu siapa yang akan mendampingimu menghadapi tekanan? Kamu yakin hatimu sekuat itu, Nasya? Tubuh polosmu akan menjadi santapan semua orang. Oiya, kurasa kamu juga sering melihat adegan-adegan semacam itu, kan? Apa kamu pikir orang-orang akan lebih memperhatikan si pria dalam adengan semacam itu? Tidak, Nasya! Si wanita lah yang akan lebih banyak mendapat sorotan. Sudah siapkah hatimu mendengar namamu dicaci maki? Sementara kamu sendiri yang membuka jalan bagi orang lain untuk mencacimu. Sudah siapkah kamu kehilangan semua harga dirimu? Sudah siapkah kamu menghadapinya seorang diri, tanpa saudara, tanpa kekasih dan tanpa suami? Bukankah suamimu sekarang tengah terjerat kasus hukum atas percobaan tindakan pemerkosaan pada adikku? Maka lengkap sudah penilaian publik nantinya pada kalian berdua. Jika kamu benar-benar sudah siap untuk itu, maka aku pun
PoV FahryKurasa ada yang disembunyikan Tania dariku, tapi aku tak tau itu apa. Sesekali juga aku masih menangkap keraguan dari pancaran matanya. Meski aku dan Tania sudah sepakat untuk meneruskan hubungan ini, tapi dengan beberapa kebohonganku dan bukti-bukti yang dimiliki Tania pastilah tak semudah itu membuatnya yakin padaku. Aku paham karena kuakui aku memang bersalah padanya. Niatku untuk membuktikan kesungguhanku padanya dengan pengajuan pengunduran diriku dari perusahaan pun ternyata menemui kendala. Kantor pusat tak menyetujui dan bahkan aku akan dikenakan denda yang tidak sedikit jika resign ditengah-tengah besarnya tanggung jawab proyek yang sedang kuemban.Sejujurnya aku senang pengajuan resignku tak disetujui, karena memang aku sangat mencintai pekerjaanku, dan menjadi arsitek memang cita-citaku dari dulu. Saat aku dipanggil untuk mengungkapkan alasan pengunduran diriku di hadapan para petinggi perusahaan, kukatakan dengan jujur alasanku, yaitu keberadaan Nasya yang akhirn
“Tapi kamu membuatnya terbangun, Sayang.”Kuendus leher jenjangnya, ini adalah bagian tubuh Tania yang sangat kusukai. Dulu, saat ia belum jadi istriku aku pernah memergokinya di dapur dengan leher putih jenjangnya yang terekspos bebas, dan sejak saat itulah aku begitu mendambakan tubuh Tania, yang waktu itu masih bergelar kakak iparku. Napasku semakin memburu saat bibir dan hidungku menyentuh lehernya dengan bebas.“Mas!!” Tania semakin protes ketika tanganku dengan nakalnya sudah menarik tali kimononya.“Kamu seksi sekali, Istriku.”“Mas, Please! Aku belum nyiapin sarapan. Nanti kamu telat kerjanya, Khanza juga bentar lagi bangun dan nyariin kita.”Aku tak peduli. Kujamah semua bagian tubuhnya yang menyenangkan.“Mas. Setelah aku bikin sarapan aja, ya.” Tania mengajukan permintaan.Aku tersenyum, ia tak ingin mengecewakanku tapi juga tak mau melewatkan kewajibannya. Maka aku pun melepasnya.“Janji, ya. Aku maunya sarapan kamu hari ini.”“Iya, janji.”Aku kembali meraih ponsel Tania
“Mas.”“Hmmm.” Mataku masih terpejam menikmati sisa-sisa sensasi kenikmatan tadi.“Apa kamu benar-benar tak pernah melakukan hal seperti ini dengannya setelah kita menikah?”“Tidak. Aku berani bersumpah!”“Apa kamu pernah mencumbunya?”Refleks aku membuka mataku, Tania menatapku tajam, tapi ada seutas senyum di wajah cantiknya. Ah, Tania. Kamu benar-benar membuat perasaanku tak menentu. Harus bagaimana aku menjawab pertanyaanmu ini?Cup!Tiba-tiba saja ia mencium bibirku saat aku baru saja hendak berbicara.“Jangan dijawab, Mas. Diammu cukup untuk menjawab pertanyaanku tadi.”“Maafin aku.”Tania tersenyum. Aku merengkuh bahunya lebih erat lagi, dan mendekapnya lebih dalam lagi. Dalam hatiku yang paling dalam aku berjanji tak akan salah langkah lagi, aku berjanji tak akan membuat wanita ini menangis lagi. Semua kata maaf yang berkali-kali kuucapkan padanya kurasa tak akan mampu menebus kesalahanku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri dan juga pada almarhum Mas Farhan untuk tidak lag
“Enggak, Tania. Hanya briefing sebentar, Mas enggak ikut ke lokasi. Siang ini harus ke lokasi tim 2. Bentar aja kok, abis itu Mas antarin ke rumah ayah.”Tania menggangguk setuju. Aku kembali menoleh sebelum melajukan mobilku.“Tim 1 itu timnya Nasya,” ucapku lirih.Ia hanya mengangkat bahunya menandakan tak peduli. Aku terkekeh.“Aku nunggu di mobil aja, ya, Mas,” ucap Tania setelah aku memarkirkan mobilku di parkiran kantor. Kulihat ia menyetel kaca spion kemudian merapikan riasannya.“Kamu ikut Mas aja ke atas. Sebentar aja kok. Abis itu ....” Kalimatku terputus saat melihat Nasya juga sedang memarkirkan mobilnya dan hanya berjarak 4 mobil dari mobilku.Tania mengikuti arah mataku, tepat di saat Nasya membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Ia terlihat melangkah ke arah mobilku. Biasanya jika kebetulan bersamaan seperti ini ia pasti akan mengiringi langkahku dan mengikutiku masuk ke dalam lift hingga ke lantai 5 di mana kantorku berada. Kutelan salivaku kasar.Namun Tania just
PoV TaniaMas Fahry mengajakku ke kantornya meski aku sudah meminta untuk mengunggu di mobil saja. Beberapa pasang mata menatapku tajam saat Mas Fahry menggandeng tanganku menuju lantai lima di mana ruangannya berada. Perempuan muda yang duduk di depan ruangan Mas Fahry berdiri dan menunduk hormat saat melihat kami. Kurasa ia adalah sekretaris Mas Fahry.“Brefingnya di mana, In?” tanya Mas Fahry tak melepaskan gandengan tangannya.“Sementara saya arahkan ke ruang meeting, Pak. Kalau Pak Fahry mau tempatnya dipindah saya akan memberitahu mereka.”“Tak perlu. Biar di ruang meeting saja. Semua sudah hadir?”“Sudah, Pak. Cuma Mbak Nasya yang belum datang.”Mas Fahry berhenti sejenak, kemudian kembali berjalan hingga kami berdua masuk ke ruangannya.“Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Mas ke ruang meeting dulu.”Aku mengangguk, lalu duduk di sofa yang ada di dalam ruangannya. Mas Fahry mengecup pipiku sekilas sebelum keluar dari ruangannya.Kuedarkan pandanganku menyapu setiap sudut ruangan