Kami chek out dari hotel tepat di saat cuaca kota Denpasar sedang tak bersahabat. Hujan deras disetai angin kencang membuat beberapa petugas hotel terlihat ragu saat Mas Fahry meminta fasilitas pengantaran ke Bandara Ngurah Rai. Guide tour pun sudah dicancel semua oleh Mas Fahry, padahal masih ada 2 hari tersisa dari paket bulan madu yang sudah dibayarnya. Mas Fahry terlihat sedikit bersitegang dengan pihak hotel ketika mereka menyarankan menunda ke bandara mengingat cuaca sedang sangat buruk.Namun Mas Fahry bersikeras dengan alasan sedang ada urusan yang sangat penting yang tak bisa ditunda lagi, sementara aku hanya menatapnya dari sofa yang ada di lobby hotel dengan tatapan kosng. Pikiranku tak lagi fokus karena memikirkan keselamatan putriku.Berkali-kali aku harus mengusap sudut mataku, yang kemudian membuat Mas Fahry makin terlihat panik dan menuntut untuk segera berangkat ke bandara.“Kamu tenang dulu, ya, Sayang. Mereka sudah setuju mengantarkan kita sekarang juga. Jangan pan
Beberapa kali terdengar pengumuman dari petugas bandara yang mengumumkan jika kemungkinan tak akan ada penerbangan lagi hari ini karena beberapa fasilitas bandara dan beberapa antena juga roboh diterpa angin kencang. Aku semakin panik, sementara penampilan Mas Fahry makin terlihat acak-acakan.Hingga akhirnya kami benar-benar tak bisa terbang, lalu kembali terdampar di salah satu hotel yang berada di area bandara.“Mas, aku takut.” Kali ini tangisku makin kencang.“Ssshhh. Kamu tenang, ya, Sayang. Insya Allah Khanza tidak apa-apa.”Dia menenangkanku, padahal aku tau lelaki itu pun sedang merasakan hal yang sama. Tadi kudengar ia menelepon Mas Gufron dan meminta bantuannya untuk mencari Khanza. Aku juga mendengar ia menelepon Gibran, namun yang membuatku semakin khawatir ketika aku mendengar pembicaraannya dengan Gibran.“Tolong kamu awasi gerak-gerik Hasan Lukman di sana. Aku curiga dia berada di balik semua ini.”Degg!! Jantungku serasa mau copot. Jika dugaan Mas Fahry benar, aku be
PoV Nasya.Sudah beberapa minggu ini aku tinggal di rumah Mas Fahry. Awalnya aku terkejut ketika Roy, salah satu rekanku sesama arsitek di perusahaan mengatakan akan membawaku ke rumah Mas Fahry saat aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah menjalani perawatan akibat penganiayaan yang dilakukan Mas Fahry padaku.Keberadaan Roy sendiri masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku tak terlalu akrab dengannya, meski dulunya kami juga satu kampus ketika kuliah. Memang tak jarang aku menangkap tatapan tak biasa darinya jika kami sedang bekerja. Aku merasa Roy sering diam-diam memperhatikanku, namun aku tak terlalu ambil pusing karena duniaku dan fokusku hanya selalu pada atasanku sekaligus mantan kekasihku, Fahry Aditama.Aku juga tau jika Mas Fahry dan Roy berteman, Roy bisa dengan santainya saling menyapa lu gue dengan Mas Fahry yang notabene adalah atasan kami di perusahaan.Maka kedatangannya ke rumah sakit dan mengurus semua administrasi kepulanganku sempat membuatku her
Awalnya kehadiran bayi dalam rahimku ini ingin kujadikan alat untuk menjebak Mas Fahry, namun ternyata semua tak berjalan sesuai rencanaku. Tindakan Mas Fahry yang menganiayaku dan Indah membuatku membuka mata bahwa lelaki itu sungguh tak lagi menginginkanku. Selama mengenalnya, aku belum pernah melihat lelaki yang kucintai itu semarah itu, apalagi menyakiti fisik wanita. Maka aku merasa sia-sia semua yang sudah kurencanakan.Benih yang tertanam di rahimku, benih hasil affairku dengan Mr. Adam ternyata tak dapat kujadikan alat untuk menjebak Mas Fahry. Meski aku sempat merasa senang saat beberapa kali Mas Fahry diam-diam mengunjungiku ke rumah sakit, memberi perhatian dengan menyuapiku. Namun ternyata itu semua dilakukannya hanya karena perasaan bersalahnya padaku karena telah mengangaiayaku.“Terima kasih atas perhatianmu, Mas,” ucapku saat itu sambil berkaca-kaca.Namun jawaban Mas Fahry sungguh membuat hatikun terluka.“Tak perlu berterima kasih. Jika saja kamu tidak dalam kondisi
Aku membanting ponselku ketika Mas Hasan sengaja memprovokasiku lewat telepon. Suara isakan tangis dari ruang tengah membuatku membuka pintu kamar. Di sana, di sofa itu, ibu Mas Fahry terlihat mengangis terisak-isak. Kurasa ia begitu menglhawatirkan Khanza, cucu kesayangannya. Rasa bersalah seketika memenuhi dadaku, jika benar Mas Hasan yang telah menculik Khanza, maka bagaimana pun aku adalah penyebabnya. Mas Fahry dan Tania sendiri belum terlihat, padahal tadinya kupikir mereka akan segera pulang dari Bali begitu mendengar berita mengenai hilangnya Khanza.Sosok wanita tua renta yang sedang menangis itu sungguh membuatku merasa sangat bersalah. Ibu Mas Fahry adalah satu-satunya orang yang terlihat tulus menerima kehadiranku di rumah ini. Tania dan Mas Fahry sendiri terkesan sangat cuek dan tak pernah menganggapku ada. Perlakuan dan perhatian Ibu Mas Fahry selalu mengingatkanku pada ibuku.Perlahan kuhampiri beliau.“Ibu istirahat dulu, ya,” ucapku ragu.Ibu menoleh padaku.“Tidak, N
Aku menoleh pada sahabat Mas Fahry ini. Dulu, saat aku masih menjadi kekasih Mas Fahry, tak jarang ia mengajakku ketika sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatnya, termasuk salah satunya Gibran, sahabat Mas Fahry yang tinggal di Bandung dan berprofesi sebagai dokter.“Kamu ada hubungan dengan Nilam, Gib?” tanyaku.“Iya, Sya. Aku bahkan sudah berniat menikahinya?”Entah kenapa ada rasa sesak di dadaku. Kenapa kedua kakak beradik itu dengan gampangnya bisa menaklukkan lelaki yang baik seperti Mas Fahry dan Gibran? Sedangkan aku? Aku kini bahkan dicap perempuan murahan karena mengandung anak dari pria lain.“Ada apa, Sya?” Gibran sepertinya melihat ekspresi terkejutku.“Apa kamu tau seperti apa latar belakang Nilam, Gib? Gadis itu pernah menjalin hubungan gelap dengan suamiku.”“Aku tau. Bahkan karena kasus menyekap Nilam lah suamimu kemarin berurusan dengan kepolisian dan ditahan.”“Tapi kenapa kamu masih menerimanya?”“Dia tak seburuk yang ada dalam pikiranmu, Sya. Dia hanya terjebak
PoV TaniaKeberadaan Khanza di apartemen Nasya membuatku yang tadinya meragukan jika Nasya terlibat dalam hilangnya Khanza meradang. Bukan karena keadaan Khanza yang diculiknya dari rumah. Bukan. Toh kulihat di sana Khanza justru sedang tertidur lelap di sofa bersama Nasya. Namun yang membuatku meradang adalah apa sebenarnya yang direncanakan wanita itu, perbuatannya menculik Khanza sudah membuatku dan Mas Fahry yang tengah berada di Bali sungguh dilanda kepanikan yang luar biasa. Belum lagi kesedihan dan kepanikan ibu ketika tau cucunya menghilang.Kurasa Nasya benar-benar tak punya perasaan, dia bahkan tak bersyukur bahwa aku masih mau menerimanya di rumah kami untuk melindunginya dari suaminya. Apa mata hati wanita itu sudah benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Mas Fahry? Apa ia melakukan ini hanya untuk memancingku dan Mas Fahry untuk segera pulang dari bulan madu kami? Sungguh, apa pun alasan Nasya melakukan ini, aku sudah terlanjur marah pada wanita itu.“A-apa yang terjadi?
Ya, kami berdua memang masih dalam keadaan syok. Semalam, di tengah hujan badai yang terjadi di Kota Denpasar, kami berdua hanya bisa berpelukan sambil merapal doa berharap putri kami baik-baik saja. Mas Fahry bahkan dengan air mata berlinang meminta maaf berkali-kali padaku karena merasa tak bisa melindungi Nasya, berkali-kali juga kudengar ia menggumamkan kata maaf pada Mas Farhan atas kelalaiannya. Kami berdua benar-benar melalui malam panjang dengan pikiran masing-masing, dengan doa masing-masing.Maka, ketika aku tadi menangkap tatapan marahnya pada Nasya saat kami berhasil masuk ke apartemennya dan mendapati Khanza di sini, kurasa sangat wajar Mas Fahry marah. Bahkan mungkin jika Nasya tidak sedang dalam kondisi hamil, bukan tidak mungkin ia akan kembali menyakiti mantan kekasihnya itu.Aku tak ingin berlama-lama di sini. Keberadaan Khanza yang sudah aman dalam pelukan Mas Fahry kurasa cukup. Aku takut tak bisa mengendalikan emosiku jika Nasya masih saja berkilah. Seumur hidupku