POV RafiAku memandang garang lelaki tua tak tahu malu yang berdiri di hadapanku. Ya dia adalah Bahri Suseno, adik kandung ayahku. Lelaki yang sejak dulu selalu saja membuat keluargaku berantakan. Walaupun kami saudara dekat, tapi kedekatannya dengan keluargaku selalu saja membawa petaka. Namun anehnya Ibu selalu saja menuruti keinginannya.Sejak meninggalnya Bapak, Om Bahri adalah satu-satunya saudara yang selalu membantu keluargaku terutama masalah ekonomi. Bahkan dialah yang membuatku dan Desi dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Atas jasanya tersebut Ibu menempatnya ia sebagai salah satu orang terpenting di keluarga kami.Walaupun Om Bahri selalu ikut campur masalah keluarga kami, tapi aku anggap itu adalah sebuah bentuk perhatian dari paman kepada keponakannya. Tapi semua berubah ketika Om Bahri bercerai dengan istrinya. Banyak rumor yang beredar jika penyebab perceraiannya adalah kedekatannya dengan Ibuku. Aku dan Desi yang saat itu sedang fokus dengan pendidika
“Sebelum kesabaranku habis, lebih baik Om pergi dari sini,” pekikku sembari menunjuk pintu keluar.Bukan soal mudah menghadapi makhluk gendut di hadapanku ini. Sebagai orang yang biasa terjun di dunia politik, ia pasti sangat pandai dalam mengolah kata-kaya, ia juga angat pandai bersilat lidah bahkan bisa membuat lawan bicaranya mati kutu.“Wah, wah. Udah berani sekarang kamu, ya.” Om Bahri bertepuk tangan kemudian menepuk pundakku beberapa kaki “Kalo saja Silvi tahu cinta kalian begitu erat, tentu ia segera mencabut semua fasilitas yang telah ia berikan pada keluarga ini.”“Akan lebih baik jika seperti itu.”“Om tunggu kesuksesanmu, atau kehancuranmu, Rafi.” Tawa Om Bahri menggelegar sebelum ia berjalan meninggalkan rumah.Aku mengalihkan pada wanita yang masih terdiam di sudut ruangan. Wanita yang paling ingin aku bahagiakan tapi nyatanya malah semakin membuatnya menderita. “Maafkan aku.” Kurengkuh Anita dalam pelukanku.Sejenak ia hanya mematung, namun tak berapa lama kurasakan
“Mama ..., mama udah ingat Nita?” Aku membantu mama bangun dan mengganjal punggungnya dengan dua bantal.“Mama selalu ingat Nita, andai saja dulu kita menerima dia, pasti keluarga kita tidak akan berantakan seperti ini.” Suara mama terdengar parau.“Bukankah kemarin Mama ...”“Mama sudah ingat semua, mama hanya sedang berpura-pura agar orang tua tak tahu diri itu tidak terus memaki mama.”“Maksudnya Om Bahri?”“Siapa lagi.”Mama benar, keluargaku mulai berantakan saat aku memutuskan untuk tak menikahi Anita. Kami memang hidup bergelimang harta, tapi ternyata itu hanya kebahagiaan semu belaka. Kami sadar saat masalah datang bertubi-tubi mulai dari saat Silvi, menantu yang dulunya sangat mama banggakan di nyatakan tak bisa mengandung. Entah berapa puluh kali kami berobat dan berapa ratus juta uang yang kami keluarkan namun hasilnya tetap nihil, Silvi tak sembuh hingga sekarang.Masalah berlanjut saat Desi juga mengalami masalah yang sama. Seolah Tuhan ingin menunjukkan betapa mahalnya
“Anita,” panggilku pada seorang wanita yang sedang serius berbincang dengan beberapa orang di pos satpam.“Mas, Miko ...” Ia langsung menghambur ke pelukanku. Wajahnya sembab dan penampilannya sangat kusut.“Sabar, nanti kita cari Miko sama-sama.” Aku mencoba menenangkannya.Aku bergegas mencari semua informasi pada guru dan petugas keamanan sekolah. Kami juga mengecek rekaman CCTV yang terpasang, namun tak banyak informasi yang kami dapatkan. Karena terkadang para orang tua harus parkir jauh dari sekolah karena banyaknya kendaraan penjemput.Memang di sekolah Miko pengawasannya cukup ketat, karena para siswa hanya boleh di jemput oleh seseorang yang biasa menjemput. Kalaupun ada penjemput baru, maka harus dengan konfirmasi orang tua kepada pihak sekolah. Namun terkadang pada jam pulang sekolah keadaan sangat ramai dan setiap orang tua akan mencari anaknya sendiri-sendiri.Pihak juga telah menghubungi beberapa wali murid untuk mengulik informasi tentang siapa orang yang menjemput Miko
“Benar-benar enggak waras. Apa jangan-jangan kamu dalang semua ini?” Aku menyelidik.“Aku tidak akan mengotori tanganku dengan hal-hal yang tidak penting seperti itu. Kalaupun aku mau, pasti kubawa keduanya, enggak Cuma anaknya.” Sanggah Ario.“Tolonglah, aku kesini mau minta bantuan bukan berdebat.”“Baiklah.” Ario menepuk punggungku sambil tertawa mengejek.Kulihat Ario mengambil ponselnya di dalam saku dan menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas aku sangat berharap orang-orang Ario bisa menemukan Miko secepatnya.“Ikut aku, kita jemput Miko,” ajak Ario.“Apa sudah ketemu?” Aku seakan tak percaya dengan apa yang Ario katakan, secepat itukah dia menemukan Miko? Atau memang dia yang menculik Miko?“Jangan buruk sangka, sudah kukatakan bukan aku yang membawa Miko. Aku sudah bertindak sejak kamu mengirim pesan di grup tadi siang,” ucapnya santai.“Kalo kamu sudah tahu, kenapa enggak bilang dari tadi?” “Kamu pikir nyari orang itu gampang. Aku juga baru dapat in
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa