Bertemu kembali dengan seseorang yang selama ini mengisi sebagian dari hati membuat hari-hariku kian bersemangat dan bahagia. AZZAHRA ADINDA, dia tidak cantik menurut definisi kebanyakan lelaki yang cantik itu harus putih, tinggi, ramping bak super model Luna Maya atau Maudy Ayunda, tidak! Dia jauh dari definisi most beauty women in the world itu.Dia sederhana, sangat sederhana tetapi dia satu-satunya wanita yang mampu mengisi hatiku sejak masih SMP. Cinta monyet! Itu kata mendiang Abang dulu. Tapi, aku meyakini bahwa itu bukan cinta monyet apalagi monyet yang cinta-cintaan, bukan.Aku meyakini bahwa rasaku pada Zahra adalah cinta sejati. Rasa ingin selalu bersamanya selalu hadir dalam setiap langkah hidupku. Ingin selalu mendengar suaranya, ingin selalu melihat senyum dan tawanya, rasa ingin selalu menjaga dan melindunginya kerap kali meneror perasaanku.Sejak dari SMP, rasa itu ada untuknya. Dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi apa salahnya? Ketika dia lulus SMP, hariku merasa sepi d
Entah sudah semerah apa wajahku kini, pun dengan El yang wajah tampannya memerah dan salah tingkah. Lagian, main nyosor aja gak lihat sikon!"El, itu ada orang EO datang!" ucap Ayah masih berdiri di ambang pintu. Ayah mengulum senyum melihat kami yang sudah sama-sama salah tingkah karena kedapatan lagi nganu, eh cium kening! Cuma cium kening aja loh ya!"Eh, i-iya, Yah!" jawab El gegas bangkit berdiri. Melangkah dengan malu-malu sembari sedikit menunduk.Begitu melewati tubuh Ayah, Ayah menepuk bahunya pelan sembari tersenyum lebar. Duh, jantungku sudah kayak pacuan kuda, bergemuruh luar biasa.Ayah kemudian melangkah mendekat dan duduk di tepi kasur, tepatnya di sebelah kakiku berada."Gimana? Sudah lebih enakan?" tanyanya."Udah mendingan, Yah! Udah gak ngilu lagi." jawabku meyakinkan."Iyalah, lha wong udah di-" ledek Ayah sembari memainkan bibirnya maju mundur membuatku mengulum senyum dengan wajah memanas. Rasanya pengen menghilang sekarang juga, malu!Ayah tertawa melihatku yang
Aku terdiam mematung di depan cermin, melihat pantulan diriku sendiri di dalam sana. Pangling!Balutan kebaya berwarna dusty pink dipadukan dengan kain jarik khas Pekalongan dengan motif yang begitu cantik, hijab senada dengan untaian bunga melati dan sapuan make up tipis natural membuat diriku berbeda. Sederhana namun elegan, dan aku menyukainya.Bibirku seolah tak ingin menutupi deratan gigiku yang mungkin saja akan segera mengering ini, walau sebentar saja. Ia terus tertarik ke samping kanan dan kiri, megembang dengan begitu sempurnanya.Telinga seakan tuli dengan suara bising di luar sana, hanya satu gaungan yang terus berdenging di kedua telingaku."Cantik sekali!"Dua kata yang mampu menerbangkanku ke awan-awan. Jangankan orang lain, aku sendiri saja pangkling dengan diri ini. Make Up senada dengan kebaya kini kian merona di kedua sisi wajahku."Ya Allah, Zahra! Mbak sampe pangkling loh!" pekik Mbak Iddah saat aku telah selesai dimake up."Cantik banget!" girangnya menantapku ta
"HAH?! SAKAU?!"Pekikku refleks, terasa ponsel berpindah dari telingaku dan rupanya tangan suamiku yang dengan cepat mengambilnya."Halo, Pak! Upayakan yang terbaik untuk adik kami, tolong share lokasinya dan pengacara kami yang akan mengurus semuanya. Ambil tindakan yang memang harus segera diambil, kami percayakan adik kami kepada pihak berwajib!" ucap suamiku tegas dan tenang.Sekian detik berlalu dan aku masih melongo dengan kabar yang baru saja aku dengar. Sakau? Mendengar kondisi itu, bayangan Risma tengah menggigil hebat dengan wajah pucat dan mata setengah terpejam melintas begitu saja. Layaknya adegan-adegan dalam sinetron yang pernah aku lihat dulu, apakah benar begitu ya kondisi sakau atau yang ku tahu setengah sekarat? Astaghfirullah! Aku merinding mendengarnya sampai seluruh tubuhku bergidig ngeri."Sayang!" usapan lembut di bahu mengagetkanku yang pikirannya tengah melanglang buana tak tentu arah."Eh, iya, Yang!" gagapku sembari menolehke arahnya."Kenapa melamun? Mikir
"Selamat siang, Pak, Bu!" sapa kedua polisi itu ketika melihat kami sampai di ruang tamu."Selamat siang, Pak! Mari silahkan duduk!" pinta El, lantas kami semua duduk saling berhadapan. Dengan degub jantung yang tak menentu, aku menanti kabar apa yang hendak kedua polisi itu sampaikan."Maaf, Pak Hanan, Ibu Zahra. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk menyampaikan kabar kurang baik kepada Bapak dan Ibu terkait keberadaan saudari Kharisma Wijayanti." ucap Pak polisi bertag name Heru dengan serius. Sesaat aku dan El saling beradu pandang namun tetap menyimak dengan baik apa yang hendak beliau sampaikan."Kondisi saudari Kharisma kian menurun. Beliau mengalami dehidrasi berat sehingga membuat tubuhnya drop akibat kecanduan obat terlarang, kemarin sore kami membawa beliau ke rumah sakit dan segera mendapat penanganan.Namun, hasil dari pemeriksaan mendeteksi adanya penyakit lain dalam tubuh beliau. Menurut hasil pemeriksaan lanjutan tadi pagi oleh beberapa dokter mengatakan bahwa, s
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu