Share

Little Lily

Angela mengangguk. Ia merasa agak aneh. Biasanya akan banyak keluarga yang berdatangan ketika mendengar kabar kematian. Namun di rumah ini, dari luar sampai masuk ke dalam pun tidak terlihat ada tanda-tanda kedukaan. 

Angela menggeser sedikit kursi yang disediakan ke samping dada jenazah gadis belia yang masih berusia sembilan tahun. Seperti biasa Angela memperkenalkan diri dan berdialog pendek menjelaskan alasan dirinya ada di tempat itu. Ia meminta dengan sopan agar si pemilik tubuh dapat bekerja sama dengan baik. 

Sudut mata Angela menangkap sesuatu yang belum tepat. Letak telapak tangan kanan di bawah tangan kiri. Entah karena ketidaksengajaan atau ketidaktahuan. Tetapi rasanya tidak mungkin. 

Angela membetulkan letaknya. Menautkan jemari kanan dan kiri dengan hati-hati. Sarung tangan transparan bermotif bunga kecil-kecil terlihat cantik di tangan putri Antoni Hakim yang juga berwajah cantik. 

Ketika hendak mengangkat tangannya, Angela merasakan sesuatu yang dingin menahannya. Ia tahu betul dingin orang mati seperti apa, tetapi ini beda. Rasanya seperti sedang meletakkan tangan di atas batu es. 

"Adik cantik, ada apa? Apakah kamu tidak suka saya di sini?" tanya Angela seraya mengusap lembut punggung tangan gadis kecil tersebut. 

Angela menunggu jawaban dengan sabar. Bola matanya bergerak pelan memindai ruangan agar terlihat bila ada sesuatu yang bergerak. Namun, hingga lebih dari tiga menit tidak juga terlihat apa pun. 

"Berarti tidak ada apa-apa, ya, Cantik?" tanya Angela sekali lagi. Ia yakin ada sesuatu yang hendak disampaikan. 

Tiba-tiba tangan Angela seperti terdorong ke arah leher gadis belia itu. Potongan kerah turtle neck berenda menutup leher si cantik dengan sempurna. 

"Sebentar, ya, Cantik. Kakak ambil peralatan dulu, ya," ucap Angela dalam hati. Ia selalu melakukan itu agar percakapannya tidak didengar orang lain.

Angela mengambil apa-apa yang diperlukan dari dalam kotak make up. Ia sengaja melakukan itu agar tidak terlihat mencurigakan. Berlama-lama di samping jenazah tetapi tidak melakukan apa-apa. 

"Jangan mengoleskan lipstik merah di bibirku. Aku sangat tidak suka. Aku tidak mau tampak seperti Tante jahat itu!" 

Angela tetap melanjutkan memoles wajah gadis belia itu seolah tidak mendengar apa-apa. 

"Iya, Cantik. Jangan khawatir. Kakak akan membuat wajahmu terlihat lebih cantik. Kamu belum menyebutkan nama."

"Papa senang memanggilku Lily. Kata Papa itu panggilan kesayangan untuk Mama."

"Lalu di mana mama kamu sekarang?"

"Kata Papa waktu aku lahir Mama kembali ke tempat yang sangat indah."

"Tidak lama lagi Lily juga akan pergi ke tempat indah itu."

"Benar, kah? Tapi kenapa Lily masih saja di sini." Suaranya terdengar kesal.

"Supaya Lily bisa melihat orang-orang yang menyayangi Lily sebelum Lily benar-benar pergi ke tempat indah itu."

"O, iya, Papa belum datang. Lily mau bilang sama Papa kalau Lily sangat rindu. Tante Miranda dan Tante Lula jahat. Mereka yang bikin Lily tidak bisa bernapas." Suaranya melemah. 

Angela menarik napas dalam. Ia memindahkan kuas di tangan kanan ke tangan kirinya. Ia kemudian memeriksa leher Lily yang sepertinya memang sengaja ditutupi dengan kerah berpotongan turtle neck. 

"Apa masih lama, Kak?" tanya Lula seraya menepuk pelan bahu kanan Angela. 

Angela menoleh cepat sambil mengalihkan tangannya. "Sekitar tiga puluh menit lagi selesai, Mbak."

"Kalau bisa lebih cepat, ya, Kak. Karena papanya Lily akan datang sebentar lagi," sambungnya kemudian. 

"Akan saya usahakan."

Lula tersenyum tipis dengan sedikit mengangguk lalu kembali ke kursinya. Angela sedikit lega, hampir saja ia ketahuan atau mungkin Lula sudah mulai menaruh curiga. 

Angela membungkuk, mengambil pembersih concealer dari dalam tas riasnya yang ia letakkan di lantai persis di samping kursi. Kesempatan itu ia gunakan untuk melihat ke arah perempuan yang disebut Lily, Tante Miranda. Perempuan itu masih bergeming seperti saat Angela tiba. 

Dari penampilan kedua perempuan yang full make up, hampir bisa dipastikan mereka tahu seperti apa kemasan atau bentuk pembersih concealer itu. Untungnya Angela menyimpannya dalam dompet kosmetik berbahan parasut yang tidak transparan lengkap dengan kapas pembersih. Ia mengambilnya dengan menggamit bersama eyeshadow pallete yang ukuran panjangnya hampir sama. 

Angela membersihkan bagian leher tengah hingga ke bawah. Dadanya bergemuruh, terlihat jelas warna merah membekas di leher Lily. Melihat dari jumlah garis di leher, kemungkinan besar Lily dicekik dari arah belakang dan untuk menutupinya mereka mengoleskan concealer cukup tebal.

"Siapa yang mencekik leher Lily?" tanya Angela seraya membetulkan lagi posisi kerah gaun yang dikenakan Lily. 

"Tante Miranda yang pertama. Karena Lily masih bernapas, lalu Tante Miranda menyuruh Tante Lula membekap Lily pakai boneka beruang. Sekarang boneka beruangnya ada di tong sampah," jelas Lily. 

"Lily anak baik, cantik dan pintar. Kakak janji Tante Miranda dan Tante Lula akan mendapat balasan dari perbuatan mereka. Lily tenanglah. Kita tunggu papa Lily datang," kata Angela menenangkan Lily. 

Gadis kecil itu tidak lagi berkata-kata selama Angela menyelesaikan tugasnya yang tinggal setengah. Kurang dari tiga puluh menit, riasan untuk Lily selesai. 

Miranda yang sedari tadi hanya diam langsung berdiri ketika Angela membereskan alat-alat make up-nya. Dengan dagu yang sedikit terangkat ia berdiri di samping peti jenazah. Ia memperhatikan wajah Lily beberapa saat kemudian memanggil Lula. 

"Kau antar dia sampai ke luar dan jangan lupa berikan tips untuk hasil riasannya yang bagus ini," titah Miranda pada Lula yang bersiap mengantarkan Angela. 

Namun, belum sempat Lula mengantar Angela suara ketuk sepatu terdengar jelas dan cepat mengarah ke ruangan di mana mereka berada. Seorang lelaki sebaya Miranda setengah berlari menghambur ke arah peti. Ia seperti orang gila yang berteriak memanggil-manggil nama Lily. 

Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi Angela. Terlebih dia bukan siapa-siapa di lingkup keluarga Antoni Hakim. Namun, ia harus memberitahu lelaki itu tentang kematian Lily. Kalau tidak kedua perempuan laknat itu akan melenggang bebas. 

Angela memaksa mendekat pada Antoni. Miranda dan Lula terkejut melihat kelancangannya. Tanpa aba-aba keduanya menarik tangan Angela agar cepat menjauh dari Antoni dan keluar dari ruangan. 

"Berani-beraninya kau ini. Urusanmu sudah selesai. Apa kau tidak tahu dia itu siapa?!" bentak Miranda. 

"Saya hanya ingin mengucapkan rasa belasungkawa saja kok, Bu. Kalau saya dianggap lancang, ya, maaf," kata Angela membenahi lengan bajunya yang terangkat. 

Miranda dan Lula berbalik tak hirau lalu menutup pintu. Angela bimbang. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara mengatakan pada papanya Lily tentang kedua perempuan itu. Ia tidak punya nomor W* atau nomor telepon Antoni Hakim.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status