Sesampai di rumah, Angela merasa seperti ada yang mengikuti. Sekelebat bayang mondar-mandir seakan sengaja mengganggunya. Angela memang memiliki kepekaan. Namun, hanya sebatas suara atau mimpi. Belum pernah melihat bentuk roh, arwah atau makhluk astral yang sering dibicarakan orang semacam kuntilanak dan lainnya.
"Tante mengikuti saya?" tanya Angela setelah menghabiskan makan malamnya. Setelah kematian ibunya ia lebih suka melakukan semua aktivitas di ruang kecil di samping kamarnya. Di rumah sederhana itu Angela tinggal bersama kakak perempuan yang belum lama menikah.
"Bujuklah Maria sekali lagi, Angela." Suara mamanya Maria terdengar lirih dan putus asa.
"Sebenarnya ini tentang Maria atau tentang Tante juga? Saya merasa ada hal yang belum selesai di antara Tante dan papanya Maria. Betul?" tanya Angela tenang."Tante ingin sekali melihatnya sebelum benar-benar pergi. Tidak pernah seumur hidup Tante mencintai seseorang seperti Tante mencintai papanya Maria." Suaranya kali ini terdengar sendu dan penuh perasaan.
Angela menghela napas cepat. "Baiklah, Tante. Saya telepon Maria sekarang."
Angela menelepon Maria. Ia tidak begitu yakin temannya itu mengaktifkan ponselnya. Mengingat saat ini ia sedang dalam keadaan berduka.
Perkiraan Angela tidak meleset. Berulang kali dihubungi nomornya tetap tidak aktif. Namun, Angela tidak habis akal, ia menelepon Cindy dan memintanya untuk memberikan ponsel pada Maria.
"Akan banyak hati yang terluka bila kubuka jati diri papaku, An," kata Maria menanggapi permintaan Angela.
"Aku tidak mau mamamu mengikutiku terus. Bisa gila aku, Maria!"
Terdengar Maria menghela napas. "Bilang pada mamaku, beri aku waktu."
"Ya, akan aku katakan. Tapi please! Kabulkan permintaan terakhir mamamu. Jangan sampai setelah kau diberi waktu keputusan akhirnya malah mengecewakan." Angela mengingatkan dengan penekanan.
Maria tidak memberi tanggapan sampai ponsel itu kembali ke tangan Cindy. Angela tidak bisa memaksa Maria lebih jauh. Cerita di balik perpisahan kedua orang tua Maria tidak pernah Angela mendengarnya.
"Saya sudah mengatakan apa yang Tante bilang pada Maria. Kita lihat saja besok. Sekarang saya mau tidur. Tolong jangan ganggu saya, ya, Tante."
Angela tidak menunggu jawaban dari mamanya Maria. Ia langsung saja keluar ruangan kemudian menutup pintunya sebelum masuk ke kamar tidur di sebelahnya. Ia ingin benar-benar beristirahat dengan tenang tanpa gangguan seperti yang selama ini terjadi.
***
Angela kembali datang ke rumah Maria sebelum berangkat kuliah. Kebetulan jadwal mata kuliahnya agak siang. Di samping itu ia juga ingin memastikan bahwa keinginan terakhir mamanya Maria terwujud.
"Bagaimana, Maria? Apa papamu sudah datang?" tanya Angela dengan volume suara kecil.
"Sudah," jawab Maria pendek. Tidak tampak kebahagiaan pada raut wajahnya. Sorot matanya masih sama seperti semalam.
"Maaf kalau aku jadi ingin tahu siapa sebenarnya papamu hingga mampu membuat mamamu jatuh cinta sampai akhir hidupnya," ujar Angela hati-hati.
"Dia duduk di sana." Maria sedikit mengangkat dagunya, menunjuk seorang pria berbaju hitam duduk membelakangi mereka. "Aku sudah memintanya untuk datang sebagai tamu bukan sebagai papaku."
"Yang duduk persis di samping peti itu?" tanya Angela memastikan.
"Ya." Lagi-lagi Maria menjawab singkat tanpa ekspresi.
Angela mengamati sosok pria tersebut. Seperti tidak asing lagi. Untuk memastikannya Angela meminta izin pada Maria untuk memeriksa kembali riasan wajah mamanya.
Rasa penasaran Angela akhirnya terjawab. Ternyata benar sosok yang tengah duduk di sebelah Cindy adalah orang yang sudah tidak asing lagi."Om," sapa Angela dengan seulas senyum. Pria itu membalasnya dengan senyuman dan anggukan.
Angela menghela napas panjang. Matanya kini tertuju pada wajah mama Maria. Sosok perempuan yang menjadi istri simpanan atau bisa juga selingkuhan seorang laki-laki yang dipanggil papa oleh Cindy.
"Seandainya aku tahu …." Angela menyesali keputusannya membantu mama Maria. Karena ia tahu sakitnya dikhianati. Perusak rumah tangga orang lain tidak punya hak untuk meminta bahagia.
***
Pukul 5.00 Angela sudah selesai menyiapkan seluruh perlengkapan make up yang akan dibawanya ke rumah Antoni Hakim, seorang pengusaha kaya raya yang asistennya menelepon dini hari tadi.
Angela hanya makan dua keping biskuit dan setengah gelas susu cair dari dalam kulkas. Kakak perempuannya, Rania belum bangun. Namun, suaminya sudah merokok di teras depan dengan ponsel di tangan. Bukan sekali dua kali Angela mendapati kakak iparnya itu menghabiskan waktu sendiri tanpa Rania. Mereka tidak seperti pasangan pengantin baru yang biasanya mesra dan sering menghabiskan waktu bersama walau hanya menyeruput teh di kala senja.
"Pagi sekali kau pergi, An," ujar Robby setelah Angela berpamitan pada kakak iparnya itu.
"Aku harus sampai pukul enam ini, Bang. Nanti tolong bilang ke Kak Nia, ya, Bang," pesan Angela lalu menstart motor matic terbaru berwarna biru. Robby membalasnya dengan mengangkat jempol seraya tersenyum kecil mengiringi kepergian adik iparnya tersebut.
Begitulah Robby, lebih sering di rumah. Sejak awal ia tinggal, Angela sudah tidak suka gelagatnya. Sangat bossy seolah-olah rumah yang mereka tinggali adalah miliknya. Angela menyimpan ketidaknyamanan itu dari kakaknya. Ia tidak mau hubungan darah terputus hanya karena orang lain yang terhubung karena pernikahan. Namun, Angela tidak akan lengah. Ia percaya ketidaknyaman itu sebuah firasat yang tidak boleh diabaikan.
Kondisi jalan raya yang masih lengang membuat Angela tidak begitu memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ia perkirakan sekitar tiga puluh menit lagi akan sampai. Dengan petunjuk dari gogle map jarak tempuh terdekat mudah ditemukan.
Setelah sampai di depan rumah besar berpagar tinggi dengan nomor persis seperti yang diinformasikan asisten Antoni Hakim, Angela menelepon agar dibukakan pintu. Berulang kali menekan tombol, tidak ada seorang pun yang muncul.
"Maaf menunggu lama. Saya Lula yang menelepon Kak Angie," ucap seorang perempuan muda yang berdiri di samping seorang wanita paruh baya yang membuka pintu.
"Tidak apa. Belum lama, kok," kata Angela mengangkat kaca helm yang masih dipakainya.
"Silakan masuk. Bawa saja motornya ke dalam, Kak."
"Terima kasih."
Angela mendorong masuk motornya ke halaman rumah besar yang halamannya dua kali besar tanah rumah miliknya.
Angela diantar masuk ke ruangan yang cukup besar. Di sana sebuah peti berwarna putih sudah terbujur peti dengan penyangga setinggi lutut. Di ujung ruangan di bawah lukisan pemandangan gunung Bromo duduk menyilang kaki dan bersedekap seorang perempuan sebaya Angela menatap peti tersebut tanpa berkedip. Kehadiran Angela dan Lula tidak membuatnya peduli. Ia seperti raga tanpa roh yang membeku.
"Langsung saja, Kak. Ibu tadi berpesan, jangan bicara apa pun dengannya. Saya tahu Kakak pasti ingin menyapa atau menyalaminya, bukan?" tanya Lula nyaris berbisik dan mendekatkan wajahnya ke samping wajah Angela.
Angela mengangguk. Ia merasa agak aneh. Biasanya akan banyak keluarga yang berdatangan ketika mendengar kabar kematian. Namun di rumah ini, dari luar sampai masuk ke dalam pun tidak terlihat ada tanda-tanda kedukaan. Angela menggeser sedikit kursi yang disediakan ke samping dada jenazah gadis belia yang masih berusia sembilan tahun. Seperti biasa Angela memperkenalkan diri dan berdialog pendek menjelaskan alasan dirinya ada di tempat itu. Ia meminta dengan sopan agar si pemilik tubuh dapat bekerja sama dengan baik. Sudut mata Angela menangkap sesuatu yang belum tepat. Letak telapak tangan kanan di bawah tangan kiri. Entah karena ketidaksengajaan atau ketidaktahuan. Tetapi rasanya tidak mungkin. Angela membetulkan letaknya. Menautkan jemari kanan dan kiri dengan hati-hati. Sarung tangan transparan bermotif bunga kecil-kecil terlihat cantik di tangan putri Antoni Hakim yang juga berwajah cantik. Ketika hendak mengangkat tangannya, Angela merasakan sesuatu yang dingin menahannya. Ia
Angela berhenti di sebuah pom bensin yang tak jauh dari rumah Lily. Ia sengaja masuk ke toilet yang ada di pom bensin tersebut untuk mengirim pesan pendek pada Antoni Hakim. Lelaki itu harus cepat mengetahui penyebab kematian putrinya. "Periksa leher putri Anda. Ada bekas cekikan di sana. Miranda dan Lula adalah penyebabnya."Pesan dikirimkan dengan doa dan pengharapan yang besar agar Antoni Hakim cepat membuka pesan itu. Centang dua berwarna abu-abu bertanda WA lelaki tersebut aktif. Selebihnya Angela serahkan pada Tuhan.Angela mencari tahu di internet tentang keluarga Antoni Hakim. Ternyata Miranda adalah istri keduanya setelah istri pertamanya berpulang. Sedangkan Lula adalah keponakan Miranda yang lebih dulu bekerja pada Antoni Hakim. Mungkin Lula yang menjodohkan keduanya hingga menikah. Kabar kematian mendadak putri pengusaha itu pun sudah muncul menghiasi beberapa halaman berita media online. Namun, pesan dari Angela belum juga bercentang biru. Suara gadis kecil itu seakan t
Sejak itu Olla menjadi semacam 'dokter' yang bertugas menetralisir energi yang menempel di tubuh Angela agar tidak sampai mengganggu pikirannya. Orang mati yang dirias Angela energinya terbawa. Baik itu tentang kenangan baik, buruk dan yang paling sering adalah urusan yang belum terselesaikan. "Kau merias jenazah putrinya Antoni Hakim, kan?" tanya Olla setelah selesai melakukan pembersihan di tubuh Angela. "Iya. Kenapa?" Angela mengubah posisi duduknya menghadap Olla setelah sebelumnya membelakangi. "Hati-hati. Firasatku tidak enak. Jangan melibatkan dirimu terlalu jauh." Olla menarik napas. "Aku melihat anak itu ... di … sini.""Lily maksudmu?" "Siapa lagi. Dia satu-satunya anak Antoni Hakim bukan? Orang yang terlibat dalam kematian anak itu bukan orang biasa. Kalau sampai mereka masuk penjara, kau dalam masalah besar, Angela.""Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya ingin membantu Lily mendapatkan keadilan.""Kadang menjadi orang baik itu malah berefek tidak baik, An."
"Keluarga saya berutang banyak pada keluarga Miranda. Merekalah yang membantu perusahaan keluarga kami bangkit. Tentu hal itu meninggalkan budi yang tidak tertulis tetapi harus dibayar.""Jadi Anda menikah dengan Miranda hanya karena balas budi, begitu?" Angela keceplosan. Ia baru menyadari pertanyaan itu bisa saja membuat Antoni Hakim tidak senang. Siapa tahu pria itu benar-benar menikah atas dasar cinta. "Kau benar, Nona. Saya terpaksa menikah dengannya demi menyelamatkan perusahaan yang sudah kepayahan." Antoni menarik napas cepat. "Walaupun saya tahu dialah yang menyebabkan Lily pergi. Saya harus bersikap seolah-olah tidak tahu.""Jadi Tuan tidak melaporkan dia ke polisi? Kenapa?!" tanya Angela geram. "Tidak. Saya akan membalasnya dengan cara saya sendiri. Bila saya melaporkan Miranda, perusahaan saya yang baru mau bangkit ini dipastikan jatuh terhempas. Habislah! Banyak orang yang akan jadi pengangguran. Kalau Nona pikir menjadi saya itu semuanya terlihat serba mudah. Nona sala
Wajah Pauli terbilang baik karena hanya terdapat sedikit jahitan di pipi, dagu dan kening. Pada bagian hidung dan matanya terdapat lebam. Kapas yang disumpalkan pada hidung dan telinga terlihat memerah. Angela mengganti dengan yang baru kemudian menempelkan plester agar kapas tersebut tidak terlepas. Baru saja diganti kapas di rongga-rongga tersebut, warnanya kembali memerah. Angela merasa perlu bicara pada Pauli. "Pauli cantik, warna merah memang bagus, menunjukkan keberanian. Terima kasih, Kakak jadi tahu kalau Pauli anak yang berani. Coba sekarang tunjukkan pada Kakak kebaikan dan rasa kasih di hati Pauli." Angela kembali mengganti kapas yang memerah dan sangat berharap darahnya akan berhenti kali ini. "Kata Kakak Pauli baik, tapi kenapa dua orang ini mengikat Pauli dengan kuat. Pauli tidak bisa bergerak." Akhirnya Pauli mau bicara. Angela mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Ia merasakan hawa panas yang tidak biasa di seberang peti. Terlihat tiga
Di depan kios yang tutup itu, Angela memarkirkan motornya. Ia menitipkannya pada ibu penjual rokok di sebelah kios. Cukup ramai kendaraan yang lalu lalang di jalan raya di depan kios tersebut. Mata Angela langsung tertuju pada sebuah rumah makan besar yang tadi disebutkan Olla."Tuhan, tolong bantu saya," ucap Angela dalam hati seraya menyeberang jalan ke arah rumah makan itu. Sesampainya di depan rumah makan yang terkenal itu telinga Angela sebelah kiri tiba-tiba berdengung hebat hingga matanya terpejam dan keningnya berkerut menahan sakit. Memang ada yang tidak benar dengan tempat ini. Angela bersikap seperti pelanggan lain yang akan makan siang. Ia masuk dengan telinga yang semakin berdengung. Suara-suara lain semakin tidak terdengar. Berdasarkan petunjuk Olla bahwa Angela harus menemukan energi yang sama dengan Pauli. Tetapi Angela jadi bingung, karena panasnya di dalam rumah makan ini sudah sama. Lalu, di mana benda yang sedang dicarinya. Meja-meja yang tersedia hampir selur
Pegawai yang menolong Angela mengurungkan niatnya meminta nomor WA setelah dia tahu bahwa profesi Angela adalah perias jenazah. Padahal dia sudah sangat antusias sebelumnya. "Ada untungnya juga jadi perias jenazah," ujar Angela seraya tertawa kecil saat keluar dari rumah makan mengerikan itu. Makanan yang ia pesan tidak sedikit pun ia makan. Angela berjalan cepat ke sisi rumah makan di mana ia melemparkan bonekanya tadi. Namun, sial sisi kanan dinding itu adalah sebuah rumah besar yang pasti tidak bisa sembarang orang memasukinya. Apalagi orang yang tidak dikenal seperti Angela. Sejenak Angela berdiri di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk. Tetapi otaknya seperti buntu tidak bisa berpikir. Ia menyeberang, kembali ke kios bapaknya Pauli. "Maaf, Bu, saya agak lama," kata Angela pada ibu penjual rokok di samping kios."Tidak apa-apa, Mbak. Saya belum pernah melihat Mbak. Apa bukan orang sini?" tanya ibu penjual rokok ramah. "Iya,
Angela berdiri, kemudian menyalami lelaki gondrong di depannya. Olla lalu mengantar Angela sampai ke halaman. Ia menepuk-nepuk bahu Olla membesarkan hati temannya itu. Angela hanya tersenyum tipis. Hatinya belum bisa menerima kenyataan yang menurutnya masih bisa dirubah. Namun, apa daya. Awan-awan pembawa air mulai memenuhi hamparan langit kota. Angela memacu motornya lebih cepat. Ia tidak mau kehujanan di jalan karena air hujan yang dingin bisa memunculkan alergi di kulitnya. Dan itu akan mengganggu konsentrasi pekerjaannya. Tujuan Angela menjelang sore ini adalah sebuah rumah duka yang cukup terkenal. Berdiri sejak tiga puluh tahun lalu. Melayani berbagai kalangan sesuai kebutuhan. Tidak jarang rumah duka ini memberikan layanan gratis untuk keluarga yang tidak mampu. Termasuk untuk jasa rias yang dilakukan Angela. Hujan sedang berbaik laku, ia turun tepat setelah Angela tiba di rumah duka. Pak Topan, pemilik sekaligus pengelola rumah duka tersebut sudah menunggunya. Ada dua jenaz