Angela meloncat dari tempat tidurnya ketika alarm yang ia setel meraung beberapa kali. Matanya sangat berat, pekerjaan memaksanya hanya tidur dua jam saja hari ini. Ia harus segera bersiap pasalnya pukul 03.00 dini hari tadi salah satu anggota keluarga pengusaha papan atas menghubungi dan memintanya datang pukul 06.00 dan tidak boleh terlambat.
Sebuah permintaan yang sudah biasa dihadapi Angela. Apalagi si pemilik tubuh meninggal tengah malam. Pagi buta ia harus sudah tiba di rumah keluarganya.
Angela sudah dikenal luas sebagai perias jenazah yang profesional. Hasil sentuhan tangannya tidak pernah mengecewakan pihak keluarga yang meninggal dunia. Ia memulai profesi ini tanpa sengaja sepuluh tahun lalu.
Saat itu, sepulang kuliah sore ia datang melayat mama temannya yang meninggal mendadak. Menurut dokter tetangganya kemungkinan besar penyebab kematian adalah serangan jantung. Sebagai keluarga yang tidak berpunya mengurus kematian bukan perkara mudah. Dibutuhkan banyak biaya untuk membayar keperluan termasuk jasa perias jenazah.
"Kau mahir merias orang hidup, bisalah kau bantu Maria meriaskan mamanya," bisik Cindy setelah berbincang dengan Maria di kamarnya.
Angela melotot. "Apa aku tidak salah dengar? Kau kira merias jenazah sama dengan merias wajahmu!" Angela buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Suaranya membuat beberapa orang menoleh ke arahnya.
"Untuk membuktikannya kau coba saja dulu. Nanti kau ceritakan padaku."
Cindy beranjak lalu masuk ke kamar Maria lagi. Tampaknya ia tidak peduli Angela setuju atau tidak.
Tangan Angela memang ajaib. Ia bisa membuat teman-temannya terlihat 'manglingi' saat kuas make up-nya menyapu wajah mereka. Ia tahu riasan apa yang cocok untuk masing-masing bentuk wajah dan karakter orang yang diriasnya. Padahal ia belajar secara otodidak tanpa guru. Mungkin inilah yang disebut bakat yang tidak dimiliki oleh banyak orang.
Cindy menarik tangan Angela hingga ia tidak mampu menolak permintaan teman karibnya itu. Maria sendiri hanya bicara seperlunya. Tampak kesedihan mendalam membuntutinya. Air matanya mengalir hampir tanpa jeda. Hidupnya kini sudah tak berorang tua.
"Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya, Maria. Apa pun nanti hasilnya tolong dimaklumi," kata Angela sebelum memulai merias mama temannya itu.
"Terima kasih banyak, Angie," ucap Maria sendu. Sesekali tangannya mengusap pipinya yang basah karena air mata.
Hanya ditemani Cindy dan Maria, Angela mulai memoles wajah jenazah. Untunglah ia selalu membawa perlengkapan make up dasar di tasnya. Awalnya semua berlangsung mulus. Namun, ketika hendak merias bagian mata, ada sesuatu yang tidak biasa. Air mata tidak berhenti mengalir. Walaupun tidak deras tetapi cukup mengganggu.
Angela mulai ketakutan dan tidak ingin melanjutkan. Tiap kali ingin mengoleskan kuas tangannya gemetar dan kaku. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Ia bimbang. Di satu sisi ia dibutuhkan di sisi lain ia tak sanggup melanjutkan.
"Tante, saya di sini untuk membuat Tante cantik. Tidak ada niat saya yang lain. Tolong bantulah saya," ucap Angela dalam hati. Ia sudah hampir putus asa.
"Kau bantulah Tante juga."
Angela menghentikan gerakan jarinya. Mengamati wajah mama Maria dengan seksama. Tidak ada gerakan bibir maupun mulut yang terbuka. Suara yang ia dengar sangat jelas dan ia tahu betul itu suara mamanya Maria.
"Apa yang bisa saya bantu, Tante?" Lagi-lagi Angela berucap dalam hati.
"Tolong katakan pada Maria untuk menghubungi papanya. Tante tidak tenang kalau Maria belum memaafkan papanya."
"Akan saya katakan pada Maria. Sekarang tolong hentikan tangis Tante agar saya bisa merias Tante dengan maksimal. Tentu Tante tidak ingin membuat Maria lebih sedih lagi, kan?"
"Tante titip Maria. Sering-seringlah kalian mengunjunginya. Keluarga Tante sudah lama tidak menganggap kami ada. Semoga Maria bisa membuka hati untuk papanya agar dia tidak sendiri di dunia ini."
Angela mengiyakan dengan mengangguk pelan. Ia tidak ingin berbicara lebih lama dengan mamanya Maria. Bicara dengan orang mati rasanya bukan sesuatu yang benar karena jangan-jangan ia hanya berhalusinasi.
Terlepas apakah itu benar mamanya Maria atau bukan, air yang keluar dari mata jenazah benar-benar berhenti. Angela pun bisa melanjutkan pekerjaannya.
"Maria, maaf sebelumnya. Aku tahu mungkin bukan saat yang tepat untuk membicarakan tentang sesuatu yang hendak kutanyakan ini. Tapi aku harus karena sudah berjanji dengan mamamu."
Gerak bola mata Maria berhenti. "Mamaku?"
"Iya. Tadi aku mendengar suara mamamu. Aku sudah berjanji untuk mengatakan ini. Kau boleh percaya boleh juga tidak."
"Apa yang kau dengar?"
"Berbaikanlah dengan papamu."
Maria memalingkan wajah. "Sulit …."
"Sulit bukan berarti tidak bisa, Maria. Mamamu tidak bisa pergi dengan tenang bila kau belum berbaikan dengan papamu." Angela membujuk dengan sungguh-sungguh. Ia meraih tangan gadis itu walau masih memalingkan wajah.
"Lelaki itu meninggalkan Mama. Bahkan sejak aku masih dalam kandungan. Dia ingin kembali pada kami tapi aku menolaknya keras. Sudah sangat terlambat bagiku. Mama banting tulang agar aku bisa sekolah. Di mana dia saat itu? Apa dia memikirkan kami?!" Maria menggigit bibirnya yang gemetar.
"Aku pernah melakukan yang sama dengan yang kau lakukan saat ini. Dan aku menyesalinya. Ketika papamu berniat kembali aku yakin beliau sudah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki semua. Tugas kita adalah memaafkan dan memberikan kesempatan. Kata ibuku, di dalam darahmu mengalir juga darah ayahmu."
"Sangat mudah kau bicara seperti itu, An. Kau tidak tahu seperti apa kehidupan kami. Serba kekurangan, dikucilkan keluarga dan dijauhi tetangga karena apa? Karena kami miskin!" Maria mengibaskan tangannya hingga genggaman Angela terlepas.
"Tapi aku yakin kesulitan hidup yang kau lewati mampu mengayakan hatimu. Aku akan keluar agar kau lebih leluasa berpikir. Aku tidak memaksa, semua kukembalikan padamu."
Angela menoleh ke arah kiri ruangan di mana Cindy duduk. Sedari tadi ia hanya memperhatikan tanpa ada gerakan untuk mendekat atau terlibat dalam pembicaraan. Isyarat yang diberikan Angela cukup dimengerti oleh gadis itu. Ia mengekor di belakang Angela meninggalkan Maria bersama jenazah mamanya.
Peti jenazah yang dipesan dengan dana urunan dari jemaat dan warga sekitar serta teman-teman Maria akhirnya datang. Acara penghiburan pun akan segera dilakukan.
Menurut cerita Cindy, besok jenazah akan segera dimakamkan karena tidak ada lagi keluarga yang ditunggu. Pelayat pun tidak banyak. Masih menurut cerita Cindy, Maria dan mamanya kurang bergaul di lingkungannya. Mungkin karena keadaan finansial mereka.Setelah jenazah dimasukkan ke dalam peti, Angela berpamitan pulang. Sedangkan Cindy tetap tinggal mengingat rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari tempat Maria. Ia diantar oleh salah satu kerabat Cindy menggunakan mobil.
Sesampai di rumah, Angela merasa seperti ada yang mengikuti. Sekelebat bayang mondar-mandir seakan sengaja mengganggunya. Angela memang memiliki kepekaan. Namun, hanya sebatas suara atau mimpi. Belum pernah melihat bentuk roh, arwah atau makhluk astral yang sering dibicarakan orang semacam kuntilanak dan lainnya. "Tante mengikuti saya?" tanya Angela setelah menghabiskan makan malamnya. Setelah kematian ibunya ia lebih suka melakukan semua aktivitas di ruang kecil di samping kamarnya. Di rumah sederhana itu Angela tinggal bersama kakak perempuan yang belum lama menikah. "Bujuklah Maria sekali lagi, Angela." Suara mamanya Maria terdengar lirih dan putus asa. "Sebenarnya ini tentang Maria atau tentang Tante juga? Saya merasa ada hal yang belum selesai di antara Tante dan papanya Maria. Betul?" tanya Angela tenang. "Tante ingin sekali melihatnya sebelum benar-benar pergi. Tidak pernah seumur hidup Tante mencintai seseorang seperti Tante mencintai papanya Maria." Suaranya kali ini
Angela mengangguk. Ia merasa agak aneh. Biasanya akan banyak keluarga yang berdatangan ketika mendengar kabar kematian. Namun di rumah ini, dari luar sampai masuk ke dalam pun tidak terlihat ada tanda-tanda kedukaan. Angela menggeser sedikit kursi yang disediakan ke samping dada jenazah gadis belia yang masih berusia sembilan tahun. Seperti biasa Angela memperkenalkan diri dan berdialog pendek menjelaskan alasan dirinya ada di tempat itu. Ia meminta dengan sopan agar si pemilik tubuh dapat bekerja sama dengan baik. Sudut mata Angela menangkap sesuatu yang belum tepat. Letak telapak tangan kanan di bawah tangan kiri. Entah karena ketidaksengajaan atau ketidaktahuan. Tetapi rasanya tidak mungkin. Angela membetulkan letaknya. Menautkan jemari kanan dan kiri dengan hati-hati. Sarung tangan transparan bermotif bunga kecil-kecil terlihat cantik di tangan putri Antoni Hakim yang juga berwajah cantik. Ketika hendak mengangkat tangannya, Angela merasakan sesuatu yang dingin menahannya. Ia
Angela berhenti di sebuah pom bensin yang tak jauh dari rumah Lily. Ia sengaja masuk ke toilet yang ada di pom bensin tersebut untuk mengirim pesan pendek pada Antoni Hakim. Lelaki itu harus cepat mengetahui penyebab kematian putrinya. "Periksa leher putri Anda. Ada bekas cekikan di sana. Miranda dan Lula adalah penyebabnya."Pesan dikirimkan dengan doa dan pengharapan yang besar agar Antoni Hakim cepat membuka pesan itu. Centang dua berwarna abu-abu bertanda WA lelaki tersebut aktif. Selebihnya Angela serahkan pada Tuhan.Angela mencari tahu di internet tentang keluarga Antoni Hakim. Ternyata Miranda adalah istri keduanya setelah istri pertamanya berpulang. Sedangkan Lula adalah keponakan Miranda yang lebih dulu bekerja pada Antoni Hakim. Mungkin Lula yang menjodohkan keduanya hingga menikah. Kabar kematian mendadak putri pengusaha itu pun sudah muncul menghiasi beberapa halaman berita media online. Namun, pesan dari Angela belum juga bercentang biru. Suara gadis kecil itu seakan t
Sejak itu Olla menjadi semacam 'dokter' yang bertugas menetralisir energi yang menempel di tubuh Angela agar tidak sampai mengganggu pikirannya. Orang mati yang dirias Angela energinya terbawa. Baik itu tentang kenangan baik, buruk dan yang paling sering adalah urusan yang belum terselesaikan. "Kau merias jenazah putrinya Antoni Hakim, kan?" tanya Olla setelah selesai melakukan pembersihan di tubuh Angela. "Iya. Kenapa?" Angela mengubah posisi duduknya menghadap Olla setelah sebelumnya membelakangi. "Hati-hati. Firasatku tidak enak. Jangan melibatkan dirimu terlalu jauh." Olla menarik napas. "Aku melihat anak itu ... di … sini.""Lily maksudmu?" "Siapa lagi. Dia satu-satunya anak Antoni Hakim bukan? Orang yang terlibat dalam kematian anak itu bukan orang biasa. Kalau sampai mereka masuk penjara, kau dalam masalah besar, Angela.""Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya ingin membantu Lily mendapatkan keadilan.""Kadang menjadi orang baik itu malah berefek tidak baik, An."
"Keluarga saya berutang banyak pada keluarga Miranda. Merekalah yang membantu perusahaan keluarga kami bangkit. Tentu hal itu meninggalkan budi yang tidak tertulis tetapi harus dibayar.""Jadi Anda menikah dengan Miranda hanya karena balas budi, begitu?" Angela keceplosan. Ia baru menyadari pertanyaan itu bisa saja membuat Antoni Hakim tidak senang. Siapa tahu pria itu benar-benar menikah atas dasar cinta. "Kau benar, Nona. Saya terpaksa menikah dengannya demi menyelamatkan perusahaan yang sudah kepayahan." Antoni menarik napas cepat. "Walaupun saya tahu dialah yang menyebabkan Lily pergi. Saya harus bersikap seolah-olah tidak tahu.""Jadi Tuan tidak melaporkan dia ke polisi? Kenapa?!" tanya Angela geram. "Tidak. Saya akan membalasnya dengan cara saya sendiri. Bila saya melaporkan Miranda, perusahaan saya yang baru mau bangkit ini dipastikan jatuh terhempas. Habislah! Banyak orang yang akan jadi pengangguran. Kalau Nona pikir menjadi saya itu semuanya terlihat serba mudah. Nona sala
Wajah Pauli terbilang baik karena hanya terdapat sedikit jahitan di pipi, dagu dan kening. Pada bagian hidung dan matanya terdapat lebam. Kapas yang disumpalkan pada hidung dan telinga terlihat memerah. Angela mengganti dengan yang baru kemudian menempelkan plester agar kapas tersebut tidak terlepas. Baru saja diganti kapas di rongga-rongga tersebut, warnanya kembali memerah. Angela merasa perlu bicara pada Pauli. "Pauli cantik, warna merah memang bagus, menunjukkan keberanian. Terima kasih, Kakak jadi tahu kalau Pauli anak yang berani. Coba sekarang tunjukkan pada Kakak kebaikan dan rasa kasih di hati Pauli." Angela kembali mengganti kapas yang memerah dan sangat berharap darahnya akan berhenti kali ini. "Kata Kakak Pauli baik, tapi kenapa dua orang ini mengikat Pauli dengan kuat. Pauli tidak bisa bergerak." Akhirnya Pauli mau bicara. Angela mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Ia merasakan hawa panas yang tidak biasa di seberang peti. Terlihat tiga
Di depan kios yang tutup itu, Angela memarkirkan motornya. Ia menitipkannya pada ibu penjual rokok di sebelah kios. Cukup ramai kendaraan yang lalu lalang di jalan raya di depan kios tersebut. Mata Angela langsung tertuju pada sebuah rumah makan besar yang tadi disebutkan Olla."Tuhan, tolong bantu saya," ucap Angela dalam hati seraya menyeberang jalan ke arah rumah makan itu. Sesampainya di depan rumah makan yang terkenal itu telinga Angela sebelah kiri tiba-tiba berdengung hebat hingga matanya terpejam dan keningnya berkerut menahan sakit. Memang ada yang tidak benar dengan tempat ini. Angela bersikap seperti pelanggan lain yang akan makan siang. Ia masuk dengan telinga yang semakin berdengung. Suara-suara lain semakin tidak terdengar. Berdasarkan petunjuk Olla bahwa Angela harus menemukan energi yang sama dengan Pauli. Tetapi Angela jadi bingung, karena panasnya di dalam rumah makan ini sudah sama. Lalu, di mana benda yang sedang dicarinya. Meja-meja yang tersedia hampir selur
Pegawai yang menolong Angela mengurungkan niatnya meminta nomor WA setelah dia tahu bahwa profesi Angela adalah perias jenazah. Padahal dia sudah sangat antusias sebelumnya. "Ada untungnya juga jadi perias jenazah," ujar Angela seraya tertawa kecil saat keluar dari rumah makan mengerikan itu. Makanan yang ia pesan tidak sedikit pun ia makan. Angela berjalan cepat ke sisi rumah makan di mana ia melemparkan bonekanya tadi. Namun, sial sisi kanan dinding itu adalah sebuah rumah besar yang pasti tidak bisa sembarang orang memasukinya. Apalagi orang yang tidak dikenal seperti Angela. Sejenak Angela berdiri di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk. Tetapi otaknya seperti buntu tidak bisa berpikir. Ia menyeberang, kembali ke kios bapaknya Pauli. "Maaf, Bu, saya agak lama," kata Angela pada ibu penjual rokok di samping kios."Tidak apa-apa, Mbak. Saya belum pernah melihat Mbak. Apa bukan orang sini?" tanya ibu penjual rokok ramah. "Iya,