Aji memukul dada pelan setiap dua detik sekali. Perlahan untuk menghilangkan kesal juga getar di tangannya yang enggan terhenti. Mungkin otaknya kini sedang enggan bekerja hingga Aji harus memukul dada untuk menghilangkan rasa sakit. Dengan gerakan tenang yang teratur, mencoba sekuat tenaga mengalihkan pikiran yang membuatnya kesal.
02 September pukul 14.25
Hari itu lengan kiri Aji sobek akibat sayatan. Membuatnya harus melepas kemeja seragam dan menggantinya dengan kaos olahraga yang sedikit kotor. Aji mencuci kemeja putih miliknya di kamar mandi sekolah. Dengan isak tertahan yang sengaja dia sembunyikan dari banyak orang. Termasuk beberapa sosok hantu yang menatap Aji dengan tatap treyuh. Namun sayangnya Aji terlalu terluka untuk bersikap baik-baik saja. Terlalu sakit untuk tetap tersenyum seperti biasanya.
"Lo nggak apa-apa?" tanya salah satu hantu yang hanya Aji abaikan. Aji menggeleng samar lantas memeras kemeja m
***"Juna kenapa lagi?" Saka bertanya pada Raina. Sebuah tanya yang jelas tidak bisa Raina jawab."Kenapa tanya gue?""Ho.oh, kenapa tanya Raina?" Ecan datang tiba-tiba datang menyela. Menyelamatkan Raina dari pertanyaan Saka yang aneh banget.Raina menghela napas lelah. Sudah seminggu lebih Arjuna murung. Raina tidak tahu apa sebabnya karena dia begitu diam. Biasanya Arjuna akan cerita pada Raina apapun itu, namun kini tidak sama sekali. Bahkan alasan Arjuna terus terusan menghela napaspun Raina tak tau."Gonjang-ganjing sama Lia lagi mungkin." Raina menjawab sekenanya. Sembari mengikuti arah pergi Arjuna meninggalkan kantin."Tapi Lia nggak curhat sama gue." Ecan berkata yang membuat Saka mengangguk dan Raina berdeham."Mereka berdua pada dasarnya udah nggak cocok satu sama lain." Raina memberi komentar. Yang langsung dijawab angguk oleh Saka dan Ecan serempak."Gonjang-ganjing mereka beber
***"Enak, Jun makan es krim gratisan?" Raina berkomentar ketika Arjuna asik menjilati coklat es krim yang menetes keluar dari cone."Itung-itung ongkos gue nganterin lo."Raina berdecih, kemudian ikutan menjilat es krim miliknya."Lo alesan supaya gue nganterin lo pulang, kan?" Arjuna berkata membuat Raina tersenyum jahil. Nih anak pinter juga. "Mau tanya apa soal Lia?""Sumpah, sih, Arjuna." Raina menggelengkan kepala. "Gue nggak mau nanya apa apa. Tapi mempersilakan lo buat cerita tentang dia.""Gue break sama dia. Buat alesan yang lebih logis.""Apa?""Sesuatu yang bikin kita sama sama lelah. Sesuatu yang membuat kita sama-sama istirahat."Raina memakan es krim terakhirnya dimana ada batang coklat di ujungnya. Ketika dikunyah rasanya enak banget, sensasi dingin dan manis coklat berpadu di mulut. Rasanya memang es krim nggak pernah mengecewakan"Apakah sama
***Setelah hari dimana Aji ketemu sama Luna hari itu, mereka berdua jadi sering chattingan. Tanya ini itu, bahas ini itu. Kayak setiap malem selalu ada aja bahan buat ngobrol. Seputar cilok sampe Cita Citata. Aji jadi sering senyum sendiri di kamar. Bikin aura kamar lebih cerah. Tapi pas kak Juna masuk, auranya bakal berubah suram lagi. Kayaknya kak Juna lagi ada masalah."Kak?" Aji manggil kak Juna ketika cowok itu berdiri di depan kaca ngeringin rambut gondrongnya setelah keramas."Apa?""Nongkrong, yuk?"Aji nggak betulan pengen nongkrong, sih. Tapi kayaknya Kak Juna butuh temen buat pergi. Secara beberapa hari terakhir dia manyun terus. Mas Abim sibuk jadi president mahasiswa, bang Banyu sibuk sama skripsi. Jadi Aji ragu kak Juna punya temen ngobrol di rumah."Tiba-tiba?""Ayok, kak. Aji lagi pengen ngopi tapi nggak punya duit.""Minum kopi sachet nya bang Banyu aja sana.""Kak Ju
*** Lia merasa bahwa hubungan dengan Arjuna semakin lama semakin renggang. Awal Lia bilang break, dia merasa semua bakal baik-baik aja karena ketidak cocokan sudah berada diantara keduanya. Tapi semakin lama Lia menyangkal, dadanya semakin sakit. Seolah dia tidak terima, seolah perpisahannya dengan Arjuna adalah sebuah kesalahan. Lia jadi gila. Dia sering ngelamun, memikirkan sesuatu tentang Arjuna dengan sebuah kata seandainya. Meski itu akan tetap jadi angan. Hari itu, entah untuk alasan apa Lia mengendarai mobilnya menuju rumah Arjuna. Meski tidak betulan singgah, Lia merasa bahwa berada di sekitar Arjuna membuatnya kembali berpikir, apa yang salah diantara hubungan mereka. Semakin lama, bahkan semakin sering Lia berkunjung tanpa singgah, dirinya menjadi semakin sakit. Dan untuk sebuah alasan sebelumnya, Raina. Hari itu Raina hadir, membawa kresek putih besar. Kemudian keduanya keluar rumah berdua. Dan untuk rasa sa
***Apa yang dipikirkan Aji hari itu setelah pertemuan kak Juna dengan Rio? Banyak. Sangat banyak. Saking banyaknya dia nggak tau harus bagaimana. Setiaji yang sedari awal tahu tentang bersitegang Aji dan gerombolan kakak kelas cuma bisa diem pas Aji cerita. Kayak nggak tau harus kasih nasihat apa.Sosok yang mengikuti Aji beberapa hari lalu muncul lagi untuk pamit dan menghilang. Mereka ketemu di rooftop kelas 11."Gue pergi.""Bentar, sebelum itu, ada banyak pertanyaan yang pengen gue tanyain ke lo."Aji menatap mata hitam Tiara, sosok itu. Hanya ada gelap, tapi rasanya ada banyak jawab di mata itu. Aji menghela napas sebentar kemudian mulai bertanya."Kenapa lo tulis semua yang pernah gue alami. Biar apa?"Sosok tadi terkekeh kecil, kemudian membetulkan tali rambutnya yang sedikit melonggar."Karena secara nggak langsung, lo adalah gue." Tiara bilang gitu. Aji sedikit kaget. Di
***Raina bingung, sih sama penawaran yang Rio kasih. Dia harus gantiin Lia buat jadi sandra sedangkan Arjuna dan Raina pun nggak pernah ada hubungan apa apa. Atau misal dia jadi sandra, masalahnya bakal tetep sama. Lia atau Raina, Arjuna bakal tetep marah dan murka. Terus kenapa harus begitu.Raina pamit pulang setelah selesai nerima telfon. Alasan kalo ada temen kampus yang bakal main ke rumah buat ngopi tugas. Arjuna dan yang lain nggak curiga makanya Raina bisa melenggang pulang. Masalahnya apakah Raina harus dateng atau enggak. Itu ganggu pikiran dia sekarang.Raina sampai di depan rumah dan nggak tau kenapa ada orang asing di sana. Cowok, tinggi banget dan rambutnya lumayan gondrong. Berdiri bersiap mau ngetok pintu."Wait, siape lu?" khas gaya bicara Raina."Ah, sorry. Lo Raina, kan?""Iya. Raina. Kenapa?" Raina nada bicaranya agak genit. Nggak apa apa goda cowok orang walaupun keadaannya hatinya lagi bersitega
***"Sekarang apa?" Raina bilang gitu setelah semua bagian tubuhnya terikat. Hanya menyisakan perih."Nggak ada. Kita tunggu besok malem." Rio mundur beberapa langkah. Kemudian menjatuhkan diri pada sebuah sofa usang yang masih terlihat emput dengan penutup kain berwarna putih."Lama banget. Kenapa nggak malem ini aja?"Rio kelihatan agak khawatir dengan gerak mata itu. Namun sepertinya dia masih mencoba untuk tenang."Lo kasih tau Arjuna?""Ye, Babi. Lo bilang jangan kasih tau Arjuna. Ya gue nggak kasih tau dia, lah." Raina dalam keadaan apapun tetaplah Raina yang tanpa filter kalo ngomong. Padahal keadaannya lagi tegang."Emang gue bisa percaya lo?""Tunggu aja sampe besok pagi. Kalo Juna dateng, berarti gue bo'ong. Kalo dia nggak dateng, berati gue jujur.""Kenapa gue harus nurut?""Sumpah, ya. Lo gaya gaya'an doang punya otak nggak pernah di update."Rio m
***Seharusnya dingin. Tapi rasanya hangat. Laluna berjalan tenang dengan tangan sedikit melebar menyeimbangkan gerak kakinya yang lurus melewati garis kuning trotoar bagi penyandang disabilitas. Malam sudah larut dan dingin sudah menyapa tapi rasanya Aji tetap merasa hangat."Lo balik aja, Ji. Cari ojol buruan. Nanti kemaleman." Luna bilang begitu. Pada Aji yang sejujurnya masih asik menikmati hangat bersama Luna."Gue anterin sampe rumah.""Nggak usah. Nanti lo kemaleman sampenya." Luna meraih satu tas belanja miliknya kemudian bersiap melambai."Gue pengen tau rumah lo, biar besok bisa jemput."Luna terdiam begitu pula Aji. Apa terlalu kaku? Aji bukan modus, sungguh. Karena dari awal Aji mengajak Luna untuk berkunjung ke makam Zahra. Luna menerimanya dan sangat tidak gentleman jika Aji menyuruh Luna menunggu di pinggir jalan. Motor bang Banyu pasti tidak dipakai dan menganggur di rumah karena yang punya lagi sibuk.