Subuh ini, aku terbangun seperti biasanya. Sebelum berangkat sholat subuh di masjid, aku bergegas untuk mandi dan membersihkan diri. Seperti kebiasaan rutinku selama satu tahun ini. Selama satu tahun ini, aku sudah berusaha untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik. Setelah selesai mandi dan menggunakan pakaian, aku bergegas untuk berangkat ke masjid yang tak jauh dari rumahku.Saat keluar dari kamar, suasana rumah terlihat sepi. Padahal, biasanya di jam seperti ini Ibu sedang sibuk berkutat di dapur. Apa mungkin, Ibu masih marah padaku? Aku perhatikan, beberapa bulan ini, aku tak pernah lagi melihat Ibu menunaikan ibadah sholat. Entah apa yang membuat Ibu semakin berubah seperti ini."Ibu mana, Din?" tanyaku pada Dini setelah pulang dari masjid."Lagi di depan, Kak, lagi beresin warung," jawab Dini."Kamu udah sarapan?""Udah, Kak, barusan aja. Ibu kenapa ya, Kak? Hari ini banyak diam, gak secerewet biasanya?" tanya Dini."Aku juga gak tahu, Din. Kamu udah rapih begitu mau kemana
"Siapa, Mas? Kenapa gak diangkat teleponnya?" tanya Maryam.Aku yang sedang melamun sambil memandang layar ponsel seketika menoleh ke arah Maryam. Ingin rasanya aku jujur pada Maryam, tapi tetap saja terasa berat. Tak lama, layar ponsel mati, lalu hidup lagi. Seolah-olah Pak Abu ingin aku segera menjawab telepon darinya."Sebentar, Mar, aku angkat telepon dulu," jawabku. Maryam hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman kecil."Assalamualaikum," ucapku setelah menggeser tombol hijau.["Waalaikumsalam, gimana kabar kamu, Ken?"] tanya Pak Abu basa-basi."Aku baik, Pa. Ada apa?"["Saya cuma mau menanyakan tentang tawaran yang saya berikan kemarin. Apa kamu sudah punya jawaban?"]"Sudah, Pa," jawabku pelan.["Oh ya? Terus gimana, Ken, apa kamu setuju untuk kembali rujuk dengan Anggun?"] tanya Pak Abu seolah tak sabar."Saya minta maaf, Pa. Saya gak bisa rujuk dengan Anggun," jawabku.["Apa kamu sudah memikirkannya, Ken? Kalau kamu masih butuh waktu untuk berpikir, saya akan kasih kamu wa
"Mar, sebenarnya, masih banyak hal yang belum kamu tau tentang masa lalu aku. Aku gak sebaik yang kamu pikir, Mar.""Tapi hanya masa lalu kan, Mas? Insya Allah, aku terima, Mas, bagaimanapun masalalu kamu. Meskipun dimasa lalu kamu bukan orang baik sekalipun, aku akan tetap terima. Karena bagi aku, kamu itu pahlawan buat hidupku. Mungkin kalau kamu gak hadir waktu itu, aku sudah mati dengan tindakan bodohku dulu," ujar Maryam.Setelah berbincang-bincang dengan Maryam soal rencana pernikahan kami, aku pamit pulang pada Maryam. Kami sudah memutuskan, berencana untuk menikah Minggu ini. Setelah pulang dari kostan Maryam, aku ingin memberitahu Ibu tentang hari pernikahanku dengan Maryam. Dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kami.Bugh!Sebuah pukulan keras, mendarat di pipi kiriku. Membuat tubuhku terhuyung ke samping. Hampir saja aku jatuh, jika saja Maryam tak menahan bobot tubuhku. Sebab saat ini, aku dan Maryam sedang berjalan ke depan. Maryam ingin mengantarku untuk m
☘️Terlihat ada ketegangan di wajah mereka semua, termasuk Ibu dan juga Dini. Aku memperhatikan wajah Bapak, yang terlihat sayu seperti orang sakit. Setelah sekian lama Bapak mengusir Ibu dan juga Dini dari rumah, kini ia justru datang ke rumah kami. Tapi, untuk apa?Aku menyalami dua Paman dan satu Bibiku, yang tak lain adalah adik-adik dari Bapak. Aku juga menyalami Bapak, meskipun tak ada respon dari tangan Bapak. Mau bagaimanapun juga, mereka semua masih keluarga yang memiliki hubungan darah denganku. Setelahnya, aku duduk bergabung bersama mereka dan juga Ibu serta adikku Dini.Melihat keadaan Bapak yang seperti orang sakit, aku sudah bisa menduga tujuan mereka yang secara tiba-tiba datang ke rumahku. Setelah sebelumnya, mereka semua sama sekali tak pernah datang kemari. Perasaanku menjadi tak enak, apalagi melihat wajah Ibu yang terlihat tegang seperti menahan amarah."Ada apa ini, Lek Par? Ada tujuan apa kalian datang ke rumah kami?" tanyaku pada salah seorang Pamanku yang bern
"Enggak, Ken. Ibu gak mau Bapak kamu tinggal di sini. Kami sudah bukan suami istri lagi, gak pantas jika harus tinggal dalam satu atap. Apa kata orang nanti," ucap Ibu menolak."Lagipula, kalian kan adik-adik kesayangannya, kenapa begitu tega menelantarkan Kakak kalian sendiri? Kalian gak ingat, bagaimana dulu Kakak kalian itu begitu memanjakan kalian. Kalian jangan sok suci, seolah-olah kesalahan kalian lemparkan pada Kenzie. Sebelum bicara, harusnya kalian berkaca dulu. Diri kalian sudah benar apa belum? Kalian suruh kami untuk membuka hati nurani kami. Tapi kalian sendiri lupa, dimana hati nurani kalian sebagai adik?!" ujar Ibu yang terlihat emosi dan mulai kehilangan kesabaran.Memang benar yang diucapkan Ibu. Karena setahuku, dulu Bapak begitu menyayangi ketiga adiknya itu. Disaat mereka kesusahan, Bapaklah yang selalu membantu mereka. Tapi disaat Bapak jatuh seperti ini, mereka begitu tega membuang Bapak. Dan seolah sengaja melemparkan Bapak pada kami.Lek Par, Lek Narto dan jug
☘️"Ken, Ibu mau bicara dari hati ke hati sama kamu," ucap Ibu memecah keheningan diantara kami bertiga.Sebab saat ini, aku, Ibu dan Dini sedang sarapan pagi bersama. Sejak kejadian kemarin, kami tak bertegur sapa. Kami sama-sama saling mendiamkan. Jika Ibu bisa mendiamkan aku, kenapa aku tidak? Aku ingin tahu, seberapa tahan Ibu bisa mendiamkan aku. Dan akhirnya, Ibu mau memulai menegurku lebih dulu."Bicara apa, Bu?" tanyaku datar.Sejujurnya, aku benar-benar masih kesal pada Ibu. Untuk berbicara dengan Ibu saja, aku sudah malas. Aku tahu, Ibu tidak akan mungkin bisa berubah pikiran secara cepat. Dan aku yakin, Ibu masih mau membahas tentang Anggun."Tolong, Ken, Ibu mohon sama kamu, sekali ini saja, turuti kemauan Ibu. Ibu janji, ini permintaan Ibu yang terakhir. Untuk kedepannya, Ibu gak akan pernah memaksa kamu lagi," jawab Ibu."Permintaan mana yang harus aku turuti, Bu? Menikahi Anggun maksud Ibu?" tanyaku mulai kesal. Selera makanku tiba-tiba menghilang sudah."Iya, Ken. Kamu
"Kamu kenapa, Mas? Kok kelihatan kusut banget?" tanya Maryam, saat kami istirahat makan siang bersama."Gak papa, Mar. Pagi tadi, aku habis ribut sama Ibu," jawabku.Biarlah, aku jujur saja pada Maryam. Sebab tak ingin ada sesuatu yang aku sembunyikan dari Maryam. Karena dalam hitungan hari, kami akan segera menikah. Aku berharap, tak akan ada rahasia apapun diantara kami. Aku ingin Maryam kuat mental dan tak kaget, jika suatu saat, Ibu berucap yang menyakitkan hati Maryam. Jangankan Maryam, aku yang anaknya sendiri saja, sakit hati dengan ucapan Ibu."Kamu yang sabar ya, Mas. Maaf, gara-gara mau menikah sama aku, kamu jadi sasaran kemarahan Ibu kamu," ucap Maryam."Berapa kali aku harus bilang, Mar. Ini semua bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Seandainya aku gak mau nikah sama kamu sekalipun, masalah ini tetap ada. Aku memang benar-benar gak mau rujuk sama Anggun," jelasku."Memangnya, apa yang membuat Ibu kamu begitu kekeh nyuruh kamu balik sama mantan istri kamu itu, Mas?" tanya Mary
"Kok muka kamu tegang gitu, Mar? Kamu takut?" tanyaku pada Maryam.Saat ini, kami sedang berada di angkutan umum untuk pulang menuju ke rumahku. Seperti pesan Ibu siang tadi, yang menyuruh aku membawa Maryam untuk bertemu dengan Ibu. Wajah Maryam yang terlihat tegang menyiratkan ada ketakutan di wajah Maryam."Gak papa, Mas. Cuma gugup aja, ini pertama kalinya aku mau ketemu Ibu kamu. Takut kalau Ibu kamu gak suka sama aku, Mas," jawab Maryam."Kamu gak perlu takut, Mar. Kan ada aku, apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu," kataku berusaha menenangkan Maryam."Iya, Mas. Aku tahu kok, aku cuma ... ngerasa gimana gitu. Apalagi, sudah jelas Ibu kamu gak suka sama aku.""Ya, aku ngerti, Mar. Meskipun Ibu bilang mau menerima kamu, aku gak bisa percaya sepenuhnya dengan omongan Ibu. Makanya, kita harus siapkan mental dengan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi nanti. Apa kamu siap?""Siap gak siap sih, Mas. Karena mau nikah sama kamu, ya harus siap.