Part 15: Ceramah atau Mengejek?"Lepaskan!" murka Habib. Walau bagaimana pun. Ia tidak tega melihat ayah kandungnya disiksa begitu saja di depan mata kepalanya sendiri."Bilang sama pria sampah ini lekas ditandatanganinya surat warisan itu!" jawabnya memekakkan telinga. Habib mencoba melepas tangan ibu tirinya dari leher ayahnya. Kamu kira dia lepas begitu saja!" imbuhnya menyeringai.Rasti mengambil kuda-kuda kalau Habib berbuat tidak senonoh kepada ibunya. "Bunuh saja aku sekarang juga!" desak Hermawan. Rossa tertawa bahagia. Dia menunduk lalu mendekatkan wajahnya ke arah muka suaminya. Kini jaraknya sudah sejengkal. Habib melihat reaksi ibu tirinya dengan seksama dan mempersiapkan kuda-kuda juga. "Aku bukan seekor keledai yang sangat bodoh. Sebelum kertas itu kamu tandatangani, aku tidak akan membiarkanmu mati konyol begitu saja." "Kalau kamu memang haus akan harta warisan. Kenapa tidak menyuruh kakek nenek moyangmu kaya raya?! Kenapa harta suami ke duamu yang kamu incar?!" ucapan
"Gembel kok ada di sini?!" sindir Fadli. Dia heran kenapa Habib ada di dalam restauran hotal bintang lima. Ide jahat menjalar di otaknya. "Silakan bersihkan lantai itu!" desaknya sembari menyuruh Habib jongkok untuk mengeringkan lantai yang baru saja dia siram dengan air putih dari gelasnya. "Kenapa kamu masih diam! Kamu itu tidak cocok sebagai tamu di sini. Cocoknya itu sebagai cleaning service!" imbuhnya dengan menaikkan volume suaranya dari biasanya. Semua mata tertuju kepadanya.Nabila terkejut melihat suaminya diperlakukan dengan tidak wajar. "Kenapa kamu menyiram suamiku!" ucap Nabila sembari melangkah menghampiri Habib. Tadi dirinya ke arah dessert sehingga berpisah dengan suaminya. Nabila jongkok lalu mencoba membersihkan kepala suaminya yang disiram Fadli dengan kuah curry.Dia memang pantas diperlakukan seperti ini!" Perkataan Fadli membuat Nabila heran. "Asal kamu tahu! Suamimu ini penipu dan sebentar lagi aku akan memastikan kalian berdua bakalan mencuci piring karena tida
Sudah dua hari Habib dan Nabila menginap di hotel itu. Namun, Nabila hendak buka suara semenjak kejadian yang dialaminya. Meskipun itu dalam mimpi. Akan tetapi, dia tidak berani buka suara. Dia takut kalau mimpinya itu jadi kenyataan."Apa yang terjadi sama kamu, Nabila?!" tanya Habib. Ia heran melihat istrinya uring-uringan dan awut-awutan. Habib memang berniat mau membahagiakan istrinya dengan konsep stay cation. Usahnya sia-sia melihat Nabila tidak bahagia.Nabila menggeliat dan langsung terbangun dari atas dipan. "Aa-aku tidak mau mati mengenaskan," jawabnya sambil melihat perutnya yang sudah mulai buncit.Habib merasa heran mendengar perkataan istrinya. Ma-maksudnya?!" tanya Habib dengan melahirkan wajah bingung."Aku mati mengenaskan." Nabila mengatur duduknya agar lebih leluasa bernapas. "Kemarin malam aku ditikam Bu Rossa." Ekor matanya mengarah kepada Habib. Dia takut kalau suaminya marah karena berhubungan dengan ibu tirinya. "Untung saja tragedi itu mimpi.""Sudahlah! Lupak
Laki dan istri sama saja!" celetuk Habib dengan wajah memerah. "Cepat minta maaf kepada Habib!" seru Fadli dengan sedikit memaksa. Sebelum semuanya terlambat," imbuhnya kembali."Terlambat atau tidaknya, aku tetap mendepak istrimu dari sini. Sebentar lagi dia bakalan surat cinta dari pemilik toko ini. Siap-siap menjadi gembel selamanya!" sindir Habib dengan senyum picik."Ja-jangan lakukan itu, Bib! Aku mohon?" ucapnya sambil berlari menghampiri Habib. Dia bersembah lutut di ke dua kalinya, Habib."Bukan kah pepatah mengatakan berpikir dulu sebelum berucap?" sindinya kembali dengan senyum tawa puas dan bahagia. "Dan penyesalan selalu datang terlambat."Benar ... itu semua benar adanya. Fadli kini sudah di pecat karena keangkuha. Dan kesombongannya kepada Habib. Kini hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat Celcius. Melempar lamaran ke sana ke mari, tidak ada yang mau menerima. Akhirnya dia kesal dan ada dendam terselubung kepada pria yang ada di depannya."Aku akan memaafkan is
Ponsel milik Habib kini jatuh dan pecah. Senyum sumringah terbit di raut wajah Rossa. "Jangan kamu kira bisa menang atau mengalahkan Rossa super king sejagat raya." Ketawanya menggelegar. Habib merasa dipermainkan ibu tirinya. Walaupun bagaimana, ia tidak mau kalah dari seorang benalu yang numpang hidup kepada harta ayahnya. "Suatu saat aku akan menjamin kamu bakalan datang bersimpuh di hadapanmu dengan uraian air mata," imbunya meyakinkan."Tidak bakalan! Jangan merasa mendahului kekuasaan Sang Penguasa Alam," jawab Habib lirih. Dadanya sudah bergemuruh, akan tetapi ia masih bisa menahan larva emosi yang sudah meronta-ronta dari tadi.Hermawan kini terbatuk dan segera meminta tolong. "Ros-Rossa ...!" teriaknya parau. Suara panggilan itu memecahkan keheningan. Tanpa menunggu aba-aba, Habib berlari melangkah menuju asal suara itu. Namun, langkahnya terhenti. "Kamu mau ke mana?!" tanya Rossa dengan menarik lengan Habib. Sorot matanya menyeringai sangat tajam."Aku mau melihat ayahku!" j
"Cepat tangkap gembel itu, Pak!" seru Rasti dengan wajah memerah."Ha-Habib," ucap pria yang memegang pistol itu terbata. Dia tidak menyangka kenapa kawan dekatnya itu disuruh ditangkap. Seketika Habib mengedipkan mata agar lelaki berseragam itu tidak menyebutkan namanya kembali. Ia tidak mau kalau jati dirinya diketahui oleh ibu dan saudara tirinya."Kenapa kamu masih diam?!" desak Rasti mencoba mendorong Lukman. Namanya pria itu adalah Lukman. Dia sahabat dekat Habib waktu mencicipi masa putih abu-abu."Cepat tangkap gembel itu!" desaknya lagi tidak sabaran. Sebelum melanjutkan perintah, Rasti berkata kembali "Dan dia itu seorang pembunuh!"Lukman tidak tega melakukan penangkapan. Ini pasti ada salah paham. Sejenak dia berpikir untuk mencari solusi. Namun, otaknya tidak bisa diajak kompromi."Kalau kamu berani menangkapku, silakan!" tantang Habib dengan sorot mata menyeringai. "Sebelum aku ditangkap, kupastikan kalian manusia bedebah bakalan menyesal," imbuhnya. "Mau beli makan ses
Tidak berapa lama, Lukman datang menghampiri Habib. "Belum selesai laporannya?" tanya Lukman sembari duduk tepat di samping Habib. Habib hanya menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.Pria itu menunduk tidak berani mendongak. Panas dingin itulah yang dia rasakan pada saat ini. Bagaimana tidak tenang, baru saja naik jabatan kini sudah terancam dipecat akibat keteledorannya."Aa-aku mohon jangan pecat saya, Pak," ucap pria itu dengan mengiba. Lukman heran mendengar perkataan kawan kerjanya itu."Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Lukman penuh penasaran. Dia menatap Habib dan lelaki yang sedang bertugas sebagai piket pada saat itu. Tidak ada sama sekali jawaban yang dia terima. Rasa penasaran kini menyeringai otaknya. Sehingga tidak bisa diam dan terus menggali informasi apa yang disembunyikan ke dua pria itu."Tolong pecat abdi negara yang tidak berkompeten dan bad attitude," jelas Habib dengan nada santai. Namun, sorot matanya sangat menyalang melihat pria yang di depan mata kepa
"Itu hasil rekaman semua percakapan ibu tirimu! Kamu akan mengetahui itu semua.""Tanpa dikasih tahu ayahnya, ia sudah tahu akal busuknya ibu tirinya. Namun, dengan adanya hasil rekaman itu. Bisa dijadikan bukti yang kuat."Kalau kamu mau balas dendam dan ingin mendapatkan apa yang kamu inginkan, bisa saja. Asal kamu bisa menyingkirkan Habib dari keluarga kita." Habib dan Hermawan diam dan menguping percakapan Rossa dengan seseorang. Suara itu jelas tertangkap Indra pendengar mereka berdua karena pintu kamar tidak tertutup rapat. Masih ada celah yang terbuka walaupun hanya sedikit.Suara langkah kaki terdengar jelas menghampiri kamar Hermawan. "Apa aku bersembunyi saja, Yah?" tanya Habib pelan tepat di daun telinga sang ayah. "Tidak perlu, Nak!" jawab Hermawan parau.Tidak berapa lama suara pintu terbuka dan Rossa melahirkan wajah terkejut atas kehadiran Habib."Oh Tuhan, ternyata ada gembel di sini." Rossa berucap dengan memonyongkan bibir ke atas. Dia mengedipkan mata memberi kode