Laki dan istri sama saja!" celetuk Habib dengan wajah memerah. "Cepat minta maaf kepada Habib!" seru Fadli dengan sedikit memaksa. Sebelum semuanya terlambat," imbuhnya kembali."Terlambat atau tidaknya, aku tetap mendepak istrimu dari sini. Sebentar lagi dia bakalan surat cinta dari pemilik toko ini. Siap-siap menjadi gembel selamanya!" sindir Habib dengan senyum picik."Ja-jangan lakukan itu, Bib! Aku mohon?" ucapnya sambil berlari menghampiri Habib. Dia bersembah lutut di ke dua kalinya, Habib."Bukan kah pepatah mengatakan berpikir dulu sebelum berucap?" sindinya kembali dengan senyum tawa puas dan bahagia. "Dan penyesalan selalu datang terlambat."Benar ... itu semua benar adanya. Fadli kini sudah di pecat karena keangkuha. Dan kesombongannya kepada Habib. Kini hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat Celcius. Melempar lamaran ke sana ke mari, tidak ada yang mau menerima. Akhirnya dia kesal dan ada dendam terselubung kepada pria yang ada di depannya."Aku akan memaafkan is
Ponsel milik Habib kini jatuh dan pecah. Senyum sumringah terbit di raut wajah Rossa. "Jangan kamu kira bisa menang atau mengalahkan Rossa super king sejagat raya." Ketawanya menggelegar. Habib merasa dipermainkan ibu tirinya. Walaupun bagaimana, ia tidak mau kalah dari seorang benalu yang numpang hidup kepada harta ayahnya. "Suatu saat aku akan menjamin kamu bakalan datang bersimpuh di hadapanmu dengan uraian air mata," imbunya meyakinkan."Tidak bakalan! Jangan merasa mendahului kekuasaan Sang Penguasa Alam," jawab Habib lirih. Dadanya sudah bergemuruh, akan tetapi ia masih bisa menahan larva emosi yang sudah meronta-ronta dari tadi.Hermawan kini terbatuk dan segera meminta tolong. "Ros-Rossa ...!" teriaknya parau. Suara panggilan itu memecahkan keheningan. Tanpa menunggu aba-aba, Habib berlari melangkah menuju asal suara itu. Namun, langkahnya terhenti. "Kamu mau ke mana?!" tanya Rossa dengan menarik lengan Habib. Sorot matanya menyeringai sangat tajam."Aku mau melihat ayahku!" j
"Cepat tangkap gembel itu, Pak!" seru Rasti dengan wajah memerah."Ha-Habib," ucap pria yang memegang pistol itu terbata. Dia tidak menyangka kenapa kawan dekatnya itu disuruh ditangkap. Seketika Habib mengedipkan mata agar lelaki berseragam itu tidak menyebutkan namanya kembali. Ia tidak mau kalau jati dirinya diketahui oleh ibu dan saudara tirinya."Kenapa kamu masih diam?!" desak Rasti mencoba mendorong Lukman. Namanya pria itu adalah Lukman. Dia sahabat dekat Habib waktu mencicipi masa putih abu-abu."Cepat tangkap gembel itu!" desaknya lagi tidak sabaran. Sebelum melanjutkan perintah, Rasti berkata kembali "Dan dia itu seorang pembunuh!"Lukman tidak tega melakukan penangkapan. Ini pasti ada salah paham. Sejenak dia berpikir untuk mencari solusi. Namun, otaknya tidak bisa diajak kompromi."Kalau kamu berani menangkapku, silakan!" tantang Habib dengan sorot mata menyeringai. "Sebelum aku ditangkap, kupastikan kalian manusia bedebah bakalan menyesal," imbuhnya. "Mau beli makan ses
Tidak berapa lama, Lukman datang menghampiri Habib. "Belum selesai laporannya?" tanya Lukman sembari duduk tepat di samping Habib. Habib hanya menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.Pria itu menunduk tidak berani mendongak. Panas dingin itulah yang dia rasakan pada saat ini. Bagaimana tidak tenang, baru saja naik jabatan kini sudah terancam dipecat akibat keteledorannya."Aa-aku mohon jangan pecat saya, Pak," ucap pria itu dengan mengiba. Lukman heran mendengar perkataan kawan kerjanya itu."Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Lukman penuh penasaran. Dia menatap Habib dan lelaki yang sedang bertugas sebagai piket pada saat itu. Tidak ada sama sekali jawaban yang dia terima. Rasa penasaran kini menyeringai otaknya. Sehingga tidak bisa diam dan terus menggali informasi apa yang disembunyikan ke dua pria itu."Tolong pecat abdi negara yang tidak berkompeten dan bad attitude," jelas Habib dengan nada santai. Namun, sorot matanya sangat menyalang melihat pria yang di depan mata kepa
"Itu hasil rekaman semua percakapan ibu tirimu! Kamu akan mengetahui itu semua.""Tanpa dikasih tahu ayahnya, ia sudah tahu akal busuknya ibu tirinya. Namun, dengan adanya hasil rekaman itu. Bisa dijadikan bukti yang kuat."Kalau kamu mau balas dendam dan ingin mendapatkan apa yang kamu inginkan, bisa saja. Asal kamu bisa menyingkirkan Habib dari keluarga kita." Habib dan Hermawan diam dan menguping percakapan Rossa dengan seseorang. Suara itu jelas tertangkap Indra pendengar mereka berdua karena pintu kamar tidak tertutup rapat. Masih ada celah yang terbuka walaupun hanya sedikit.Suara langkah kaki terdengar jelas menghampiri kamar Hermawan. "Apa aku bersembunyi saja, Yah?" tanya Habib pelan tepat di daun telinga sang ayah. "Tidak perlu, Nak!" jawab Hermawan parau.Tidak berapa lama suara pintu terbuka dan Rossa melahirkan wajah terkejut atas kehadiran Habib."Oh Tuhan, ternyata ada gembel di sini." Rossa berucap dengan memonyongkan bibir ke atas. Dia mengedipkan mata memberi kode
Habib tidak habis pikir atas ulah ibu tirinya yang sudah kelewat batas. Segala macam cara dia lakukan demi mendapat harta warisan dari sang ayah. Akhirnya ia memilih angkat kaki dari rumah milik sang ibu kandung demi bisa bebas dari keluarga benalu tirinya.Sesampainya di hotel tempat menginap. Ia langsung menempelkan kunci kamar. Tanpa buang-buang waktu dirinya langsung membuka baju untuk segera mandi. Namun, dirinya baru saja teringat atas istri tercinta."Nabila!" teriak Habib parau. Baru saja ia menanggalkan celana bagian dalam. Baru teringat kepada sang istri. Namun, tidak ada sama sekali sahutan. Ke mana Nabila?!" tanya Habib penuh ragu. Cepat-cepat ia membasuh tubuhnya dengan air lalu memakai sabun dan shampo. Tidak butuh waktu lama ia sudah selesai dan tubuhnya kini dibalut handuk. Sesekali ia mencatut wajahnya di depan lemari kaca. Sudah mau hampir seminggu Habib dan Nabila tinggal di hotel pilihan Habib. Namun, ia tidak ada merasa rugi untuk sekedar mengeluarkan uang buat t
Habib merasa senang ketika mendapat kabar kalau istrinya sudah aman terkendali. 'Tidak sia-sia aku memakai jasa Intel dengan membayar mahal,' ucapnya dalam hati setelah membaca pesan chat di ponselnya."Apakah kamu sudah memutar video itu?!" tanya Habib memastikan kepada Rossa dengan gaya sombong. Ia tidak mau melewatkan momen di mana sebentar lagi ibu tirinya akan mendekam di balik jeruji besi."Tidak perlu. Orang aku tidak bersalah dan terlibat dalam peristiwa kehilangan Nabila." Rossa mencoba bersikap tenang agar tidak terkecoh oleh keadaan. "Oh ya, kalau tidak ada uang, nggak usah sok blagu mau melaporkanku segala ke pihak berwajib. Buat makan saja kamu tidak sanggup. Bagaimana mau bayar pengacara untuk mengurus ini dan itu.""Bukan urusanmu, Rossa!" jawab Habib datar dan tenang. "Aku tidak pernah meminta uang sama sekali kepadamu. Bahkan kamu dan anakmu lah yang menumpang hidup kepada harta kekayaan ayahku sudah lebih dua tahun."Rossa merasa panas akibat sindiran tajam yang dilo
"Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi, sayang," ucap Habib setelah bersua dengan Nabila-istrinya. Ia menghujani ciuman baik di kening maupun di pucuk kepala."Seharusnya aku yang meminta maaf dan ini mutlak salahku, sayang," balas Nabila parau. Dia mau pergi mencari camilan, akan tetapi ada segerombolan preman membekap mulut dan tidak lama Nabila tidak sadarkan diri. Semenjak itulah, Nabila tidak tahu lagi ke mana dirinya dibawa oleh preman itu."Kalau ada perlu apa-apa, kamu telepon aku, sayang. Aku akan siap menjadi suami yang baik selama dua puluh empat jam." Habib tidak mau kecolongan lagi atas tragedi yang ada."Kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Habib memperhatikan dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan seksamaNabila masih merasa lelah diikat satu malam di rumah tertinggal itu. Tidak tahu itu rumah siapa."Aku baik-baik saja, sayang. Cuma, aku takut janin yang ada di dalam rahimku terganggu karena satu harian aku tidak ada makan dan minum.""Kalau begitu, kita ke rum