Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!
Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan?
"Kenapa harus tinggal di sini? Dia kan bisa ngekost!" protesku padanya.
Aku tidak bisa menerima adiknya untuk tinggal di sini. Malas jika harus direpotkan dengan kehadirannya.
"Rama belum ada uang, Mel. Makanya biarkan dia tinggal di sini dulu," jelasnya. Selalu saja mengatakan belum punya uang! Jadi selama hidupnya, apa saja yang sudah dilakukannya. Sampai-sampai tak punya uang!
Begini, jika terlalu dimanja. Baru kerja seminggu, tidak betah, langsung disuruh pulang.
Bekerja sedikit berat, langsung menyerah, dan mengatakan nggak sanggup.
Jika bisa sobek, kurasa sudah sobek mulut ini dari dulu karena menasehati suamiku. Padahal sudah kubilang, biarkan saja adiknya itu bekerja. Agar bisa lebih mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya dan pekerjaan. Tapi selalu saja dibela. Nggak abangnya, nggak Ibunya, nggak Kakaknya semua selalu memanjakannya.
Bagaimana kehidupannya nanti setelah memiliki jodoh, jika masih harus bergantung seperti ini pada ibu, bapak, abang dan kakaknya.
Untung adik ipar, kalau adik kandungku sendiri, sudah babak belur kubuat.
"Sampai kapan?" tanyaku ketus. Biar saja dia tahu bahwa aku tidak menyukai kehadiran adiknya. Sama seperti adiknya yang tak menyukaiku.
"Ya, sampai dia dapat kerjaan," ujarnya santai.
"Jadi, dia ke sini masih mau mencari pekerjaan? Belum pasti kerja? Gitu!" cecarku.
Sampai kapan harus menunggu adiknya mendapatkan pekerjaan. Sedangkan dia terlalu pemilih. Kerja ini nggak mau, kerja itu, nggak sanggup.
"Iya, lagi-"
"Wahhh. Luar biasa kamu, Mas! Aku bekerja pontang panting bantuin keuanganmu. Kamu malah seenaknya menambah benalu di rumah ini?" Kupotong ucapannya. Biarkan saja dia berpikir aku tidak sopan. Siapa suruh mendatangkan adiknya tanpa meminta pendapat padaku dulu.
"Mel, Rama adikku, bukan benalu!" protesnya. Wajahnya sudah sedikit tegang. Mungkin akan marah lagi. Biar saja, aku tidak takut.
Jika sudah menyangkut adiknya seperti ini. Selalu saja berujung dengan pertengkaran.
Muak sebenarnya. Tapi aku harus bertahan demi keutuhan rumah tangga. Pernikahan yang kujalani baru seumur jagung. Bila bercerai, maka pasti akan menjadi bahan omongan orang. Dan orang tuaku tidak akan menerima perceraian.
Selama ini, aku selalu menampilkan keharmonisan rumah tangga di depan orang tuaku. Mereka tak ada yang pernah tahu bagaimana kehidupan yang kujalani sesungguhnya.
Biarlah, hanya aku yang merasakan pahitnya. Jika sudah saatnya dan Mas Dandi tidak berubah, maka aku akan bertindak.
Jangan ajari ikan berenang!
"Jadi, apa namanya kalau bukan benalu? Lelaki sudah berusia 21 tahun, sehat, tidak bekerja. Jika menginginkan apapun tinggal minta! Dan sekarang menumpang di rumah kita!" cerocosku.
Rama masih terlihat duduk santai di sofa. Apakah dia tidak mendengar perdebatan kami? Dia masih dengan santainya duduk di sana sambil ongkang kaki.
"Kamu, jangan begitu dong, Mel! Rama sudah mau bekerja. Seharusnya kita bersyukur."
Bersyukur? Tidak salah dengar aku? Sudah dewasa loh, adiknya! Memang sudah seharusnya bekerja. Bukan malah disyukuri karena sudah mau bekerja!
Aku nggak ngerti sama pemikiran abang yang seperti ini. Apakah nanti jika adiknya menikah, dia juga yang akan memberi makan istrinya?
"Masih mau, bekerja Mas. Bukan sudah bekerja. Jadi apa yang harus aku syukuri?" tanyaku mengejek.
Memang benar, kan? Belum tentu Rama mendapatkan pekerjaan. Jika sampai seminggu, sebulan, bahkan setahun dia tidak dapat pekerjaan, bagaimana?
"Memang susah bicara denganmu, Mel. Kenapa sekarang kau menjadi begini?" sungutnya. Dia terlihat begitu lela.
Dari semalam bertengkar denganku. Bagaimana tak lelah!
"Ini semua karena ulahmu yang selama ini membodohiku."
"Membodohimu bagaimana?" tanyanya tak terima. Mungkin dia lupa, atau pura-pura lupa dengan semua kelakuannya yang selalu membedakan antara keluargaku dan keluarganya.
Belum lagi dia selalu memprioritaskan keluarganya dibanding aku.
Untung, aku belum memiliki anak. Jadi gampang untuk bekerja dan mendapatkan uang. Tak perlu lagi bergantung padanya.
"Pikir aja sendiri!" jawabku cuek. Kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya.
Aku harus segera packing barang. Nanti sore barang yang sudah dipesan akan diambil sebagian.
"Mel, tunggu!" cegahnya. Aku berhenti karena pergelangan tanganku dicekal olehnya.
"Apa lagi?" tanyaku ketus.
"Kamu, masak dulu untuk kami! Aku dan Rama sudah lapar," pintanya dengan wajah memelas.
Apa dia bilang? Masakkan untuknya dan adiknya? Enak sekali bibirnya berucap. Apa dia pikir aku b*bu?
"Aku capek! Kalau mau makan, ya masak sendiri dong! Pada punya tangan kan?"
"Tapi Rama adalah tamu, Dek. Yang harus muliakan!"
"Heiiii, muncun9 itu, kalau ngomong disaring dulu! Tamu seperti apa yang harus dimuliakan? Sedangkan aku masuk ke dalam rumah saja, dia tidak menyapa, ataupun menyalamiku. Dia sebagai adik ipar tidak menghargaiku! Untuk apa aku memuliakan dan repot mikirin perutnya? Mau lapar, mau keroncongan, aku tidak peduli!"
"Haaahhh. Sini uangmu! Biar kubeli makanan untuk kami. Jika kau tidak mau memasak!" Tangannya menengadadah padaku.
"Enak saja! Kalau mau makan! Ya, beli sendiri pakai uangmu! Aku tak sudi hasil keringatku dimakan oleh adikmu yang tak punya tatakrama itu!" tunjukku pada Rama yang sedang duduk di sofa, dengan kaki ditaruh di sofa lainnya.
Sudah seperti tuan raja saja apa-apa minta disediakan. Bertamu di rumah orang pun seenak ud*lnya sendiri, kaki di taruh ke atas begitu. Tak ada sopan santunya.
"Aku belum gajian, Mel! Tak ada uangku!" rengeknya.
"Terus, aku, harus peduli gitu?" tunjukku pada diri sendiri.
"Pikirkan, bagaimana caranya kalian berdua bisa makan, malam ini! Dan bilang sama adikmu. Kakinya jangan ditaruh di atas sofaku, nanti kotor dan terkena kuman parasit!" sambungku. Lalu pergi meninggalkannya.
Bersambung
Tinggalkan jejak di bawah, ya... ππ
πΎπΎπΎ
Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci gudang. Mas Dendi sudah tidak lagi mengikutiku.Biarkan saja mereka berdua kelaparan. Masa lelaki tidak bisa berpikir dan berusaha untuk mengisi perutnya. Mau hutang kek, mau mencuri kek, terserah!Entah pernikahan apa yang kujalani saat ini. Sepertinya sudah sangat jauh dari kata harmonis.Setelah mengambil kunci, aku berjalan keluar melewati ruang tamu. Kebetulan pintu gudang hanya bisa dibuka dari depan. Bangunan berukuran 3x4 meter hanya memiliki satu pintu di depan. Cukuplah untuk menampung barang daganganku.Mas Dendi dan Rama duduk dengan bibir dimonyongkan di sofa. Mungkin sebal karena tidak kuberi uang untuk membeli makanan.Kulewati saja mereka setelah meliriknya sekilas. Pekerjaanku lebih penting dibandingkan mengurusi mereka berdua. Udah tua ini 'kan! Aku membuka gudang lebar, agar bisa memaskukkan barang dengan leluasa. Di dalam juga sudah sangat banyak pakaian yang belum diambil oleh reseller. Mungkin sore ini mereka akaan
"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.Ini, tipe orang yang sekolah hanya datang lalu pulang. Ilmunya nggak nyampe di benak. Bisa-bisanya mengatakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat wanita. Apa dia tidak tahu apa itu kodrat?"What? Belajar ilmu agama dari mana kau rupanya?" tanyaku, melihat sinis ke arahnya. Aku menarik napas kasar. Menjelaskan padanya butuh tenaga ekstra. Apalagi dengan manusia sejenis kadal."Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, itu bukan kodrat wanita. Keong sawah! Kodrat wanita itu, hanya ada 4. Menstruas*, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya itu, bukan kodrat!" imbuhku menjelaskan. Agar lelaki seperti dia tau mana kodrat, mana bukan."Nggak usah mengguruiku, kau!" sungutnya berkacak pinggang. Napasnya kembang kempis, sepertinya menahan amarah.Mau berdebat sampai gimana, tetap gue jabani! Loe jual gue beli!"Lah, kau itu o*n, atau beg*? Ngatain aku b
Pov Rama.Entah apa maksud Melia. Sedang asyik menonton tv, malah main matikan saklar saja. Apa dia merasa bahwa rumah ini adalah miliknya? Makanya berlaku sesuka hatinya? Tak sadar dia bahwa rumah beserta isinya milik abangku. Mana mungkin wanita sepertinya bisa membeli semua ini.Sekolah juga palingan cuma tamat SD. Dia yang menumpang dengan abangku. Dia pula sok berkuasa di rumah ini. Ada ya, wanita tak tahu malu seperti Melia!Kakak iparku itu, adalah wanita tidak tahu diri! Tidak bersyukur dia mendapatkan suami seperti abangku. Lelaki rajin, dan pekerja keras. Bahkan memiliki gaji besar. Masih saja disia-siakan.Melihat suami hendak berangkat bekerja, bukannya dibuatkan kopi dan sarapan. Eehh, malah dia asyik mencuci pakaian dan membiarkan abangku berangkat bekerja dengan perut keroncongan. Bahkan lebih parahnya lagi, Melia hanya mencuci pakayannya sendiri, sedangkan punyaku dan bang Dendi diserak di lantai. Apa bisa dibenarkan kelakuan istri seperti itu?Aku ini adalah tamu, dan
Pov Dendi.Lelah sekali rasanya. Tiap hari harus tarik urat bila berbicara dengan Melia. Wanita yang sudah tiga tahun kunikahi.Dia sangat berubah semenjak mengetahui adik lelakiku meminta ponsel seharga lima juta. Memang aku meminta untuk dia terlebih dahulu yang membelikannya. Tanggal tua, sudah pasti uangku tidak bersisah. Biasanya juga aku meminta padanya bila kekurangan uang untuk membeli bensin.Aku tahu, bahkan ponsel miliknya tidak semahal itu. Tapi demi adik, masa dia tidak mau menurutinya. Apalagi adik bungsuku belum bekerja. Kan kasihan jika dia meminta tapi tidak diberikan.Mengapa dia menjadi sangat perhitungan begini. Bukankah selama ini uangku adalah uangnya. Dan uangnya adalah uangku?Selama ini juga dia tidak pernah protes bila kuberi uang satu juta untuk keperluan rumah. Apa betul yang dikatakan Rama, bahwa dia sudah memiliki pria idaman lain?Melia istriku, kenapa kamu sampai seperti ini!Dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Melia, aku langsung jatuh cinta pad
Pov Dendi.Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat aku baru saja sampai di rumah. Kulihat Melia sedang duduk bersantai di sofa.Apakah dia sengaja menungguku pulang bekerja? Apa dia tahu hari ini aku gajian? Tanya hatiku bertubi.Setelah melepas sepatu, aku berjalan mendekatinya. Dan setelah sampai kujatukan bok*ng di sampingnya."Dek, hari ini abang gajian," ucapku membuka percakapan.Melia hanya melirik sekilas. "Terus?" tanyanya, seperti tidak tertarik dengan bahasanku."Ini, Mas kasih uang untuk belanja bulanan." Kuserahkan uang satu juta padanya.Melia menerima lalu menghitungnya."Jadi, sekarang, Adek udah bisa masak untuk abang dan Rama lagi 'kan?" sambungku. Kulihat ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan."Huuuufffttt." Melia mendesah lelah."Uang sejuta untuk makan kalian berdua? Ini nggak cukup," ujarnya, seraya meletakkan kembali uang yang telah kuberi ke tanganku."Tapi biasanya, 'kan memang segini, Dek," jawabku."Itu, karena kamu sendiri. Sekarang kan berdua. Ja
"Sudahlah, tinggalkan saja wanita seperti Melia, Bang! Untuk apa lagi dipertahankan. Bahkan sampai sekarang dia belum memiliki anak. Padahal pernikahan kalian sudah berjalan tiga tahun. Jangan-jangan dia mandul. Masih banyak kok, wanita lain yang mau menerimamu," ujar Rama. Suaranya sangat keras. Aku yang baru saja sampai di ruang tamu mendengar dia berucap seperti itu. Sengaja kaki ini kulangkahkan dengan perlahan. Aku ingin mendengar semua yang diucapkan Rama di belakangku. Dan teryata adik iparku sangat berbisa.Sungguh tajam sekali lidahnya. Bisanya dia mengatakan bahwa aku mandul. Sudah yakin sekali dia bahwa akulah yang bermasalah. Tidak bisa kubiarkan ini. Harus segera ditumpas.Sehabis maghrib tadi, memang aku keluar untuk menjemput, Bang Randi, abang kandungku. Kami hanya dua bersaudara. Setelah menikah, dia bersama sang istri tinggal di kota lain.Dari kemarin dia sudah mengabariku bahwa akan datang berkunjung. Sebenarnya ingin melihat ibuku di kampung. Sudah lama dia tidak
Aku duduk di samping Bang Randi, sedangkan Mas Dendi dan Rama di hadapan kami. "Jadi, apalah pokok permasalahannya?" tanya Pak Jupri, marga harahap, selaku ketua RT di lorong kami. Kami memang tinggal diperumahan yang dibangun pemerintah untuk dibeli secara kredit. Tak taulah aku apa namanya. Rumah kpr atau apalah itu. Yang penting, rumahlah setauku. "Saya ingin berpisah dengan suami saya, Pak!" jawabku mantap, tanpa ragu sedikitpun. Semangat Melia! Hatiku menyorakiku. "Saya juga ingin berpisah dengan dia, Pak." Mas Dendi ikut bersuara tak mau kalah. Mungkin malu, jika hanya aku yang minta berpisah. "Apakah sudah tidak bisa dicari jalan keluarnya? Pernikahan kalian, masih bisa dipertahankan. Jangan sampai menyesal belakangan." Pak Umar sekalu imam desa, menasehati kami. "Sudah tidak bisa lagi dipertahankan, Pak. Istri saya menjadi pembangkang. Apapun yang saya ucapkan, selalu dibantahnya. Belum lagi dia tidak akur dengan adik saya. Bahkan tidak membolehkan saya memberikan apa kei
"Cepat kumpulkan barangmu dan pergi tinggalkan rumah ini," imbuhnya mengusirku dan Bang Randi. Wahhh, minta dilempar ke kandang buaya nih, kamvret. Dia pikir, dirinya siapa sampai bisa mengusirku? Perlu dijelaskan sepertinya. Biar tahu diri dia. "Oh, ya Bapak-bapak dan ibu. Saya juga ingin kalian semua menjadi saksi pembagian harta gono gini," ujarku mengintrupsi. Semuanya mengangguk sepakat. Rama tersenyum miring mengejek. "Jadi, seluruh berkakas yang ada dirumah ini adalah milik saya. Dari mulai, kulkas, TV, Sofa, seluruh lemari, kasur, dan beberapa perabotan dapur, saya yang membelinya sendir. Pakai uang dari kantong pribadi-" "Bohong dia Pak, Bu! Mana mungkin dia bisa membeli semua ini," potong Rama. Memang mulutnya. Tak ada sopan santunnya sama sekali! Belum siap aku berbicara, dia langsung memotong. "Kau! Kalau tidak tau apa-apa, lebih baik diam aja!" tegurku jengkel. "Apa kau tidak sadar semua ini milik abangku?" tanyanya sok tau. Tengik sekali gayanya. Serasa pengen men