Share

Bab 4 Tidak Peduli

Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!

Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan? 

"Kenapa harus tinggal di sini? Dia kan bisa ngekost!" protesku padanya.

Aku tidak bisa menerima adiknya untuk tinggal di sini. Malas jika harus direpotkan dengan kehadirannya.

"Rama belum ada uang, Mel. Makanya biarkan dia tinggal di sini dulu," jelasnya. Selalu saja mengatakan belum punya uang! Jadi selama hidupnya, apa saja yang sudah dilakukannya. Sampai-sampai tak punya uang!

Begini, jika terlalu dimanja. Baru kerja seminggu, tidak betah, langsung disuruh pulang.

Bekerja sedikit berat, langsung menyerah, dan mengatakan nggak sanggup.

Jika bisa sobek, kurasa sudah sobek mulut ini dari dulu karena menasehati suamiku. Padahal sudah kubilang, biarkan saja adiknya itu bekerja. Agar bisa lebih mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya dan pekerjaan. Tapi selalu saja dibela. Nggak abangnya, nggak Ibunya, nggak Kakaknya semua selalu memanjakannya.

Bagaimana kehidupannya nanti setelah memiliki jodoh, jika masih harus bergantung seperti ini pada ibu, bapak, abang dan kakaknya.

Untung adik ipar, kalau adik kandungku sendiri, sudah babak belur kubuat.

"Sampai kapan?" tanyaku ketus. Biar saja dia tahu bahwa aku tidak menyukai kehadiran adiknya. Sama seperti adiknya yang tak menyukaiku.

"Ya, sampai dia dapat kerjaan," ujarnya santai.

"Jadi, dia ke sini masih mau mencari pekerjaan? Belum pasti kerja? Gitu!" cecarku.

Sampai kapan harus menunggu adiknya mendapatkan pekerjaan. Sedangkan dia terlalu pemilih. Kerja ini nggak mau, kerja itu, nggak sanggup.

"Iya, lagi-"

"Wahhh. Luar biasa kamu, Mas! Aku bekerja pontang panting bantuin keuanganmu. Kamu malah seenaknya menambah benalu di rumah ini?" Kupotong ucapannya. Biarkan saja dia berpikir aku tidak sopan. Siapa suruh mendatangkan adiknya tanpa meminta pendapat padaku dulu.

"Mel, Rama adikku, bukan benalu!" protesnya. Wajahnya sudah sedikit tegang. Mungkin akan marah lagi. Biar saja, aku tidak takut. 

Jika sudah menyangkut adiknya seperti ini. Selalu saja berujung dengan pertengkaran.

Muak sebenarnya. Tapi aku harus bertahan demi keutuhan rumah tangga. Pernikahan yang kujalani baru seumur jagung. Bila bercerai, maka pasti akan menjadi bahan omongan orang. Dan orang tuaku tidak akan menerima perceraian.

Selama ini, aku selalu menampilkan keharmonisan rumah tangga di depan orang tuaku. Mereka tak ada yang pernah tahu bagaimana kehidupan yang kujalani sesungguhnya.

Biarlah, hanya aku yang merasakan pahitnya. Jika sudah saatnya dan Mas Dandi tidak berubah, maka aku akan bertindak.

Jangan ajari ikan berenang! 

"Jadi, apa namanya kalau bukan benalu? Lelaki sudah berusia 21 tahun, sehat, tidak bekerja. Jika menginginkan apapun tinggal minta! Dan sekarang menumpang di rumah kita!" cerocosku.

Rama masih terlihat duduk santai di sofa. Apakah dia tidak mendengar perdebatan kami? Dia masih dengan santainya duduk di sana sambil ongkang kaki.

"Kamu, jangan begitu dong, Mel! Rama sudah mau bekerja. Seharusnya kita bersyukur."

Bersyukur? Tidak salah dengar aku? Sudah dewasa loh, adiknya! Memang sudah seharusnya bekerja. Bukan malah disyukuri karena sudah mau bekerja!

Aku nggak ngerti sama pemikiran abang yang seperti ini. Apakah nanti jika adiknya menikah, dia juga yang akan memberi makan istrinya?

"Masih mau, bekerja Mas. Bukan sudah bekerja. Jadi apa yang harus aku syukuri?" tanyaku mengejek.

Memang benar, kan? Belum tentu Rama mendapatkan pekerjaan. Jika sampai seminggu, sebulan, bahkan setahun dia tidak dapat pekerjaan, bagaimana?

"Memang susah bicara denganmu, Mel. Kenapa sekarang kau menjadi begini?" sungutnya. Dia terlihat begitu lela.

Dari semalam bertengkar denganku. Bagaimana tak lelah!

"Ini semua karena ulahmu yang selama ini membodohiku."

"Membodohimu bagaimana?" tanyanya tak terima. Mungkin dia lupa, atau pura-pura lupa dengan semua kelakuannya yang selalu membedakan antara keluargaku dan keluarganya.

Belum lagi dia selalu memprioritaskan keluarganya dibanding aku.

Untung, aku belum memiliki anak. Jadi gampang untuk bekerja dan mendapatkan uang. Tak perlu lagi bergantung padanya.

"Pikir aja sendiri!" jawabku cuek. Kulangkahkan kaki untuk menjauh darinya.

Aku harus segera packing barang. Nanti sore barang yang sudah dipesan akan diambil sebagian.

"Mel, tunggu!" cegahnya. Aku berhenti karena pergelangan tanganku dicekal olehnya.

"Apa lagi?" tanyaku ketus. 

"Kamu, masak dulu untuk kami! Aku dan Rama sudah lapar," pintanya dengan wajah memelas.

Apa dia bilang? Masakkan untuknya dan adiknya? Enak sekali bibirnya berucap. Apa dia pikir aku b*bu?

"Aku capek! Kalau mau makan, ya masak sendiri dong! Pada punya tangan kan?"

"Tapi Rama adalah tamu, Dek. Yang harus muliakan!"

"Heiiii, muncun9 itu, kalau ngomong disaring dulu! Tamu seperti apa yang harus dimuliakan? Sedangkan aku masuk ke dalam rumah saja, dia tidak menyapa, ataupun menyalamiku. Dia sebagai adik ipar tidak menghargaiku! Untuk apa aku memuliakan dan repot mikirin perutnya? Mau lapar, mau keroncongan, aku tidak peduli!"

"Haaahhh. Sini uangmu! Biar kubeli makanan untuk kami. Jika kau tidak mau memasak!" Tangannya menengadadah padaku.

"Enak saja! Kalau mau makan! Ya, beli sendiri pakai uangmu! Aku tak sudi hasil keringatku dimakan oleh adikmu yang tak punya tatakrama itu!" tunjukku pada Rama yang sedang duduk di sofa, dengan kaki ditaruh di sofa lainnya.

Sudah seperti tuan raja saja apa-apa minta disediakan. Bertamu di rumah orang pun seenak ud*lnya sendiri, kaki di taruh ke atas begitu. Tak ada sopan santunya.

"Aku belum gajian, Mel! Tak ada uangku!" rengeknya.

"Terus, aku, harus peduli gitu?" tunjukku pada diri sendiri.

"Pikirkan, bagaimana caranya kalian berdua bisa makan, malam ini! Dan bilang sama adikmu. Kakinya jangan ditaruh di atas sofaku, nanti kotor dan terkena kuman parasit!" sambungku. Lalu pergi meninggalkannya.

Bersambung

 Tinggalkan jejak di bawah, ya... πŸ˜‰πŸ˜‰

🐾🐾🐾

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status