Share

Bab 7 Istri Tidak Berhak Atas Rumah Suami

Pov Rama.

Entah apa maksud Melia. Sedang asyik menonton tv, malah main matikan saklar saja. Apa dia merasa bahwa rumah ini adalah miliknya? Makanya berlaku sesuka hatinya? Tak sadar dia bahwa rumah beserta isinya milik abangku. Mana mungkin wanita sepertinya bisa membeli semua ini.

Sekolah juga palingan cuma tamat SD. Dia yang menumpang dengan abangku. Dia pula sok berkuasa di rumah ini. Ada ya, wanita tak tahu malu seperti Melia!

Kakak iparku itu, adalah wanita tidak tahu diri! Tidak bersyukur dia mendapatkan suami seperti abangku. Lelaki rajin, dan pekerja keras. Bahkan memiliki gaji besar. Masih saja disia-siakan.

Melihat suami hendak berangkat bekerja, bukannya dibuatkan kopi dan sarapan. Eehh, malah dia asyik mencuci pakaian dan membiarkan abangku berangkat bekerja dengan perut keroncongan. Bahkan lebih parahnya lagi, Melia hanya mencuci pakayannya sendiri, sedangkan punyaku dan bang Dendi diserak di lantai. Apa bisa dibenarkan kelakuan istri seperti itu?

Aku ini adalah tamu, dan sebagai adik dari suaminya. Seharusnya dia bisa lebih menghargaiku dong!  Tanpa abangku, dia bukan apa-apa. Kurasa juga tak mungkin hidup nyaman seperti sekarang ini. Sudah memiliki rumah, bahkan perabot juga sudah lengkap. Aku yakin, semua ini dibeli oleh gaji abangku. 

Dari awal bertemu dengan Melia, aku memang sudah tidak suka padanya. Wajahnya cantik, tapi terlihat sinis. Beberapa kali bertemu, kami tidak saling tegur. Entah kenapa ada rasa benci di hatiku melihatnya. Mungkin karena kami nggak selevel.

Ibu juga sebenarnya tidak suka pada kakak iparku itu. Tapi karena Bang Dendi sendiri yang memilih, makanya kami menerima. Daripada abangku tidak mau menikah selamanya.

Melia ini, baru memiliki usaha dagang online, sombongnya minta ampun. Padahal, uang yang didapatkannya tidak sebanding dengan gaji abangku. Mungkin perbulan daganggan online miliknya cuma menghasilkan uang sejuta. Cukup apa uang segitu? 

Seharusnya dia mengerti. Jika abangku pemilik rumah ini, maka aku juga berhak sesuka hati di sini. Mau makan mau nonton seharian, mau jungkir balik, tak ada yang boleh melarangnya.

Tadi aku sengaja membanting pintu. Agar dia tahu siapa yang berhak berkuasa di rumah ini. Aku sebagai adik kandung yang sedarah dengan Bang Dendi, atau dia wanita yang bukan siapa-siapa jika tidak menikah dengan abangku. Bukankah darah lebih kental dari pada air?

Istri jika sudah bercerai, maka akan menjadi mantan yang berarti bukan siapa -siapa lagi. Sedangkan Adik, mau sampai kapanpun tidak ada yang namanya mantan. Sampai sini paham, dong. Jika akulah yang lebih berhak dari pada Melia.

Aku datang ke sini bukan berniat bekerja. Memang sengaja ingin membuat Melia pergi dari rumah ini. Untuk apa aku bekerja bila semua yang kuinginkan sudah dipenuhi oleh orang tua, abang dan kakakku. Aku ini anak bungsu, mana mungkin tega mereka melihatku kesusahan bekerja. Jika bisa minta, kenapa harus usaha? 

Ponsel yang kuinginkan juga belum dibelikan oleh abang. Jadi nggak salah dong aku tinggal di sini. Dan Melia, tidak layak untuk menolak, karena rumah ini mutlak milik abangku.

Aku masih punya ponsel yang dibelikan oleh orang tuaku. Tapi sudah ketinggalan zaman. Aku ingin yang keluaran terbaru seperti milik teman yang lain. Pemuda tampan sepertiku tak boleh ketinggalan zaman.

[Bang, istrimu itu. Aku masih menonton tv, dia seenaknya main matikan saklar lampu.] send. Sengaja kuadukan semua kelakuannya pada abangku. Biar tahu rasa dia.

Aku harus memikirkan cara. Bagaimana Melia pergi dari rumah ini. Apa perlu kuundang ibu sekalian ke sini?

Ah, entahlah. Lebih baik aku tidur dulu.

*

Sore.

Jam 6, Bang Dendi baru pulang bekerja. Mungkin dia lembur, makanya pulang terlambat. Kakak iparku juga dari tadi tak kelihatan. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk berbicara dengannya.

"Baru pulang kerja, Bang?" tanyaku membuka percakapan.

"Iyalah. Masa pulang main sih!" jawabnya seraya tersenyum.

Abangku ini, selalu tersenyum meski beban hidupnya berat. Memiliki istri seperti Melia, pasti dong beban tersendiri baginya.

Hingga detik ini, aku tak pernah dimarah olehnya. Dia sangat sayang padaku, karena adik paling bungsu.

Kami tiga bersaudara, Bang dendi pertama, Kak Laras kedua, dan aku yang terakhir. Makanya, apapun yang kuinginkan, pasti diturutinya.

Biasanya, tiap bulan Abangku ini mengirimkan uang ke kampung dua juta rupiah. Sejuta untuk ibu, sejuta lagi untukku. Baik sekali bukan abangku ini?

Kalau Kak Laras, jarang diberikan uang, karena sudah menikah juga. Hanya jika dia sedang ada keperluan saja, barulah meminta bantuan pada Bang Dendi.

Dengan senang hati, abang akan membantunya. Apalagi jika berkaitan dengan keponakanku yang baru berusia satu satun. Pastilah dia langsung cepat tanggap.

Mungkin karena dirinya belum memiliki anak. Makanya dia sangat menyayangi  Siva, anak kak Laras.

Aku jadi heran, kenapa Ban Dendi masih bertahan dengan Melia. Padahal, sudah tiga tahun menikah, mereka belum memiliki keturunan. Bukankah tujuan menikah adalah untuk memiliki keturunan?

Jangan-jangan istri abangku ini mandul. Makanya sudah lama menikah, tapi tak kunjung hamil.

"Ram, kenapa melamun!" tanyanya, menepuk pundakku.

Aku langsung tersadar dari lamunan, tentang hidupnya.

"Ah, iya. Banyak pikiran aku," jawabku ngasal.

"Mikirkan apa?" tanyanya, lalu duduk di sofa.

"Mikirin hape baru," jawabku sekenanya.

"Tenang aja. Besok abang gajian. Kita beli ponsel untukmu," katanya masih dengan senyuman dibibirnya.

Wahhh, mataku langsung berbinar mendengarnya. Akhirnya, yang kuinginkan akan segera kumiliki. 

"Beneran, Bang?" tanyaku lagi, meyakinkan.

"Ya, bener loh. Oh, ya, Melia kemana?" tanyanya. Mungkin karena dari tadi tak melihat  istrinya tersebut.

"Nggak tau. Mungkin pergi keluyuran. Aku dari tadi siang gak lihat dia," jawabku sekenanya.

Memang dari siang aku tak melihatnya. Karena tidak keluar kamar sih.

"Huuufftt. Udah cape. Istri nggak di rumah lagi," keluhnya seraya membuang napas kasar.

"Biarkan aja sih, Bang. Ngapain juga terlalu dipikirin."

"Abang capek, seharusnya dia di rumah kayak biasanya. Nyediakan kopi sama makanan untuk abang."

"Mungkin sekarang dia nggak peduli sama abang, karena udah ada lelaki idaman lain." Aku nyeletuk asal. Biarkan saja abangku ini kesal. Terus pisah sama perempuan ular itu.

"Kok bisa, kamu, bilang begitu?" tanyanya penasaran. Wajah Bang Dendi juga sedikit berubah. Mungkin khawatir, apa yang aku katakan ini benar.

"Ya, siapa yang tau, sih, Bang! Istrimu itu kan sering kali berpergian," ujarku menerka.

"Dia pergi, karena belanja untuk jualan online."

"Tapi masa sampe setengah harian?" tanyaku menggoyahkan hatinya.

Bang Dendi terdiam. Sepertinya dia sedang berpikir.

"Udahlah, nggak usah dipikirkan. Sekarang abang mandi dulu, terus kita pergi jalan. Bosan kali aku di rumah terus," saranku.

Kesempatan. Kapan lagi jalan-jalan. Tiap hari cuma di rumah, membuat pikiran jenuh.

Sekali-kali keluar melihat cewek cantik, kan segar mata. 

Tinggalkan jejak di bawah, ya... 

🐾🐾🐾🐾

Komen (2)
goodnovel comment avatar
ivanov44
Bagus top kau mbak ha ha.. lawan terus jgn mundur habis kau nanti kl kau ngalah sm suami parasit ha ha…
goodnovel comment avatar
Azalea Putri
next donk.. suka banget klo mak mak medan ngamuk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status