Pov Dendi.Lelah sekali rasanya. Tiap hari harus tarik urat bila berbicara dengan Melia. Wanita yang sudah tiga tahun kunikahi.Dia sangat berubah semenjak mengetahui adik lelakiku meminta ponsel seharga lima juta. Memang aku meminta untuk dia terlebih dahulu yang membelikannya. Tanggal tua, sudah pasti uangku tidak bersisah. Biasanya juga aku meminta padanya bila kekurangan uang untuk membeli bensin.Aku tahu, bahkan ponsel miliknya tidak semahal itu. Tapi demi adik, masa dia tidak mau menurutinya. Apalagi adik bungsuku belum bekerja. Kan kasihan jika dia meminta tapi tidak diberikan.Mengapa dia menjadi sangat perhitungan begini. Bukankah selama ini uangku adalah uangnya. Dan uangnya adalah uangku?Selama ini juga dia tidak pernah protes bila kuberi uang satu juta untuk keperluan rumah. Apa betul yang dikatakan Rama, bahwa dia sudah memiliki pria idaman lain?Melia istriku, kenapa kamu sampai seperti ini!Dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Melia, aku langsung jatuh cinta pad
Pov Dendi.Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat aku baru saja sampai di rumah. Kulihat Melia sedang duduk bersantai di sofa.Apakah dia sengaja menungguku pulang bekerja? Apa dia tahu hari ini aku gajian? Tanya hatiku bertubi.Setelah melepas sepatu, aku berjalan mendekatinya. Dan setelah sampai kujatukan bok*ng di sampingnya."Dek, hari ini abang gajian," ucapku membuka percakapan.Melia hanya melirik sekilas. "Terus?" tanyanya, seperti tidak tertarik dengan bahasanku."Ini, Mas kasih uang untuk belanja bulanan." Kuserahkan uang satu juta padanya.Melia menerima lalu menghitungnya."Jadi, sekarang, Adek udah bisa masak untuk abang dan Rama lagi 'kan?" sambungku. Kulihat ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan."Huuuufffttt." Melia mendesah lelah."Uang sejuta untuk makan kalian berdua? Ini nggak cukup," ujarnya, seraya meletakkan kembali uang yang telah kuberi ke tanganku."Tapi biasanya, 'kan memang segini, Dek," jawabku."Itu, karena kamu sendiri. Sekarang kan berdua. Ja
"Sudahlah, tinggalkan saja wanita seperti Melia, Bang! Untuk apa lagi dipertahankan. Bahkan sampai sekarang dia belum memiliki anak. Padahal pernikahan kalian sudah berjalan tiga tahun. Jangan-jangan dia mandul. Masih banyak kok, wanita lain yang mau menerimamu," ujar Rama. Suaranya sangat keras. Aku yang baru saja sampai di ruang tamu mendengar dia berucap seperti itu. Sengaja kaki ini kulangkahkan dengan perlahan. Aku ingin mendengar semua yang diucapkan Rama di belakangku. Dan teryata adik iparku sangat berbisa.Sungguh tajam sekali lidahnya. Bisanya dia mengatakan bahwa aku mandul. Sudah yakin sekali dia bahwa akulah yang bermasalah. Tidak bisa kubiarkan ini. Harus segera ditumpas.Sehabis maghrib tadi, memang aku keluar untuk menjemput, Bang Randi, abang kandungku. Kami hanya dua bersaudara. Setelah menikah, dia bersama sang istri tinggal di kota lain.Dari kemarin dia sudah mengabariku bahwa akan datang berkunjung. Sebenarnya ingin melihat ibuku di kampung. Sudah lama dia tidak
Aku duduk di samping Bang Randi, sedangkan Mas Dendi dan Rama di hadapan kami. "Jadi, apalah pokok permasalahannya?" tanya Pak Jupri, marga harahap, selaku ketua RT di lorong kami. Kami memang tinggal diperumahan yang dibangun pemerintah untuk dibeli secara kredit. Tak taulah aku apa namanya. Rumah kpr atau apalah itu. Yang penting, rumahlah setauku. "Saya ingin berpisah dengan suami saya, Pak!" jawabku mantap, tanpa ragu sedikitpun. Semangat Melia! Hatiku menyorakiku. "Saya juga ingin berpisah dengan dia, Pak." Mas Dendi ikut bersuara tak mau kalah. Mungkin malu, jika hanya aku yang minta berpisah. "Apakah sudah tidak bisa dicari jalan keluarnya? Pernikahan kalian, masih bisa dipertahankan. Jangan sampai menyesal belakangan." Pak Umar sekalu imam desa, menasehati kami. "Sudah tidak bisa lagi dipertahankan, Pak. Istri saya menjadi pembangkang. Apapun yang saya ucapkan, selalu dibantahnya. Belum lagi dia tidak akur dengan adik saya. Bahkan tidak membolehkan saya memberikan apa kei
"Cepat kumpulkan barangmu dan pergi tinggalkan rumah ini," imbuhnya mengusirku dan Bang Randi. Wahhh, minta dilempar ke kandang buaya nih, kamvret. Dia pikir, dirinya siapa sampai bisa mengusirku? Perlu dijelaskan sepertinya. Biar tahu diri dia. "Oh, ya Bapak-bapak dan ibu. Saya juga ingin kalian semua menjadi saksi pembagian harta gono gini," ujarku mengintrupsi. Semuanya mengangguk sepakat. Rama tersenyum miring mengejek. "Jadi, seluruh berkakas yang ada dirumah ini adalah milik saya. Dari mulai, kulkas, TV, Sofa, seluruh lemari, kasur, dan beberapa perabotan dapur, saya yang membelinya sendir. Pakai uang dari kantong pribadi-" "Bohong dia Pak, Bu! Mana mungkin dia bisa membeli semua ini," potong Rama. Memang mulutnya. Tak ada sopan santunnya sama sekali! Belum siap aku berbicara, dia langsung memotong. "Kau! Kalau tidak tau apa-apa, lebih baik diam aja!" tegurku jengkel. "Apa kau tidak sadar semua ini milik abangku?" tanyanya sok tau. Tengik sekali gayanya. Serasa pengen men
"Apa begini yang dinamakan pembagian harta, Pak Umar? Seharusnya, semua dibagi dua karena kami sudah menikah. Seperti orang cerai pada umumnya, harta dibagi dua." Mas Dendi protes dengan semua yang kukatakan. Mungkin dia tidak terima karena tak mendapatkan apa-apa.Apa tidak tau malu dirinya? sampai bisa berkata begitu! Kurasa, udah putus urat malunya. Seenak muncun9 kalau bicara.Bagi dua katanya? Ngimpi!"Masa, saya hanya kebagian motor butut, kompor butut, dan beberapa berkakas saja?" keluhnya. Bibirnya manyun lima senti. Bila dikuncir dengan karet gelang, kurasa bisa.Mungkin nyawanya belum menyatu dengan raganya, jadi dia sedikit lupa ingatan. Yang dia punya memang hanya itu. Masa iya, mau minta yang lainnya. Huuufffftt, Tuhan! Salah apa aku pada-Mu, dapat suami macam dia."Pak Dendi. Harta yang dibagi dua adalah harta yang anda cari sendiri tanpa bantuan istri. Misalnya, istri anda hanya dirumah, menyiapkan semuanya untuk anda, ya seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Duduk man
"Kau, tunggu apa lagi? Ambil semua barangmu dan pergi dari rumah ini," usirku.Rama tersentak kaget. Dia juga langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar belakang."Ambil semua barang kalian! Jangan ada yang tertinggal," ucapku setengah berteriak. Dari pada nanti mereka kembali ke rumah ini dengan alasan ada barang yang tertinggal. Malas kali bertemu mereka lagi. Kalau bisa sekalian di telan bumi aja, mereka berdua.Manusia nggak ada akhlak! "Sabar, ya, dekku! Semua pasti yang terbaik untukmu dekku," ujar Bu Saidah menguatkanku. Tangannya mengelus pelan pundakku. Sebagai tetangga, kami memang cukup dekat. Ya, walaupun tidak terlalu.Meskipun sibuk, biasanya aku tetap menyempatkan diri untuk bergabung dengan para tetangga, agar lebih dekat dan terjalin kekeluargaan. Jadi, ketika kita butuh bantuan, mereka tidak akan segan membantunya."Pasti, masih banyak lelaki yang suka samamu. Masih cantik kau, rajin cari uang lagi. Suami seperti itu, memang cocok di campakkan. Sabar ya, dekku!" Ki
"Besok sore, Abang, mau ke rumah Mamak. Kamu ikut nggak?" tanya Bang Randi, setelah selesai makan.Saat ini, kami berdua sedang duduk di ruang tv untuk sekedar berbincang. "Nggak, lah. Nanti mereka marah, dengar aku cerai." Aku belum siap untuk pulang kampung dan bertemu ibu, bapak.Bukan hanya takut dimarah, tapi juga malu dengan mereka. Pernikahan baru tiga tahun, harus kandas.Nanti, jika sudah siap. Aku akan pulang kampung, dan mengatakan semua yang terjadi padaku. Untuk saat ini, biarlah mereka tidak tahu dulu."Halah, paling berapa lama lah mereka marah." "Ya, tetap aja, bakal kena marah. Abang, aja duluan yang pulang. Nanti tiga bulan lagi aku nyusul.""Terserahmu lah. Yang penting, tetap ingat pulang.""Iya, beres.""Tidurlah kita. Ngantuk kali, Abang."Aku mengangguk. Bang Randi beranjak menuju sofa. Malam ini, dia akan tidur di sana.Kamar belakang belum kubelikan kasur. Jadi tak bisa untuk di tempati tamu.Aku kembali ke dapur. Membersihkan sisa makanan kami, dan menyusun