"Kau, tunggu apa lagi? Ambil semua barangmu dan pergi dari rumah ini," usirku.Rama tersentak kaget. Dia juga langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar belakang."Ambil semua barang kalian! Jangan ada yang tertinggal," ucapku setengah berteriak. Dari pada nanti mereka kembali ke rumah ini dengan alasan ada barang yang tertinggal. Malas kali bertemu mereka lagi. Kalau bisa sekalian di telan bumi aja, mereka berdua.Manusia nggak ada akhlak! "Sabar, ya, dekku! Semua pasti yang terbaik untukmu dekku," ujar Bu Saidah menguatkanku. Tangannya mengelus pelan pundakku. Sebagai tetangga, kami memang cukup dekat. Ya, walaupun tidak terlalu.Meskipun sibuk, biasanya aku tetap menyempatkan diri untuk bergabung dengan para tetangga, agar lebih dekat dan terjalin kekeluargaan. Jadi, ketika kita butuh bantuan, mereka tidak akan segan membantunya."Pasti, masih banyak lelaki yang suka samamu. Masih cantik kau, rajin cari uang lagi. Suami seperti itu, memang cocok di campakkan. Sabar ya, dekku!" Ki
"Besok sore, Abang, mau ke rumah Mamak. Kamu ikut nggak?" tanya Bang Randi, setelah selesai makan.Saat ini, kami berdua sedang duduk di ruang tv untuk sekedar berbincang. "Nggak, lah. Nanti mereka marah, dengar aku cerai." Aku belum siap untuk pulang kampung dan bertemu ibu, bapak.Bukan hanya takut dimarah, tapi juga malu dengan mereka. Pernikahan baru tiga tahun, harus kandas.Nanti, jika sudah siap. Aku akan pulang kampung, dan mengatakan semua yang terjadi padaku. Untuk saat ini, biarlah mereka tidak tahu dulu."Halah, paling berapa lama lah mereka marah." "Ya, tetap aja, bakal kena marah. Abang, aja duluan yang pulang. Nanti tiga bulan lagi aku nyusul.""Terserahmu lah. Yang penting, tetap ingat pulang.""Iya, beres.""Tidurlah kita. Ngantuk kali, Abang."Aku mengangguk. Bang Randi beranjak menuju sofa. Malam ini, dia akan tidur di sana.Kamar belakang belum kubelikan kasur. Jadi tak bisa untuk di tempati tamu.Aku kembali ke dapur. Membersihkan sisa makanan kami, dan menyusun
Oh, ya sudahlah.""Hati-hati kamu di rumah. Kalau ada apa-apa, hubungi Abang. Tapi, bila butuh bantuan, cepat lapor saja keperangkat desa," ujarnya mengingatkan."Iya, Bang. Beres semua itu. Tenang saja abang. Adikmu ini, bukan kaleng-kaleng. Suami aja diusir, apalagi penjahat...""Nggak usah bercanda, Kamu! Abang serius," gerutunya."Iya, Bang," jawabku mengalah."Ya, udah. Abang, berangkat dulu!""Nggak sarapan?" tanyaku basa basi."Sarapan apa? Kamu aja baru bangun! Apapun tak ada di dapur," sungutnya."Hehehehe. Lupa aku tadi. Keenakan tidur.""Lanjutkan prestasi tidurmu itu!" ejeknya.Aku hanya bisa nyengir kuda. Dia sangat tau tingkah lakuku."Ya udah. Abang pergi dulu. Assalamualaikum," pamitnya aku mengantarkan sampai teras rumah."Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan." Bang Randi hanya memberikan jempolnya, pertanda oke.Ternyata sudah ada ojek online yang menunggunya. Mungkin abangku tau, adiknya sibuk, tak sempat untuk mengantarkannya.Iya, sibuk membuat pulau seribu di bant
Kasihan juga sih, dia. Karena abangnya belum menikah. Dia juga tidak boleh menikah. Padahal usianya sudah cukup untuk berumah tangga."Iya, lah. Tapi nggak gratis. Kau harus bantu aku berjualan olnline. Dari belanja, packing, kau harus bantu!" ucapku, memberinya syarat."Oke, sipp. Pasti kubantu. Gampang itu, cuma pekerjaan itu, mah kecil. Yang penting boleh numpang disini," jawabnya mantap.Memang, temanku satu ini. Ada saja tingkahnya. Sampe minggat segala, gara-gara tak boleh menikah."Ya sudah, bawa tas kamu ke kamar belakang. Susun, di sana ada lemari tak dipakai.""Oke. Terimakasih teman terbaikku," ucapnya, lalu mengambil tas yang dari tadi masih teronggok di teras.*Tiga bulan kemudian.Aku dan Karina selalu disibukkan dengan orderan para resellerku yang selalu menggunung. Alhamdulillah, selama menjadi janda, rezekiku semakin berlimpah.Aku sampai menyewa mobil pickup untuk membawa semua barang dari pajak sambu ke rumah.Uangku belum cukup untuk membeli mobil, makanya aku men
"Tadi, terjadi sedikit insiden," jawabnya santai. Aku tahu, pasti tadi dia main jambak-jambakan dengan tetangga.Wanita bar bar satu ini, sudah bisa di tebak. Aku juga ketularan dia, bar barnya."Oh, ya sudah."Kami kembali mengerjakan tugas dengan tenang. Tak sia-sia aku mengizinkan Karin tinggal di sini. Ada gunanya juga dia.Tak terasa, sudah jam lima sore. Saking sibuknya bekerja, sampai lupa waktu."Aku, ke warung dulu, ya. Mau cari lauk untuk nanti sore," pamitku pada Karina yang masih memasukkan baju kedalam karung."Oke!""Mau makan sama apa, malam ini?""Arsik ikan mas.""Ya, udah. Aku pergi dulu."Tidak perlu menggunakan sepeda motor. Karena warung yang berjualan sayuran dan berbagai jenis ikan, tidaklah jauh. Hanya seratus meter dari rumah.Kebetulan arahnya sebelah kiri, jadi bisa sekalian melihat tetangga baru, tak tahu diri itu.Tapi, rumahnya tampak kosong. Entah kemana pemiliknya. Aku terus berjalan melewatinya."Kak Butet! Beli ikan mas dua ekor!" seruku pada pemilik
Matanya menatapku lekat. Tapi, tak ada sedikitpun senyum yang tersungging di bibirnya.Apakah dia yang menguhi rumah ini?Kalau memang iya, kenapa harus di samping rumahku?Apakah aku harus bertetangga dengan mantan?Mungkinkah dia masih kepo dengan kehidupanku?Dan, apakah wanita yang bertemu denganku tadi adalah istrinya?Kepalaku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tetangnya. Aku pikir, setelah bercerai, kami tidak akan bertemu lagi. Namun kenyataannya, dia malah jadi tetanggaku. Mungkin dia ingin memamerkan istri barunya.Aku, terus berlalu dari hadapannya. Sama seperti dirinya, aku juga tidak tersenyum sedikitpun. Takut kege-eran pula nanti.Ah, sudahlah. Malas sekali memikirkannya. Biarkan saja dia mau apa. Mungkin dia ingin menunjukkan bahwa dirinya laris manis kayak lupis.Sungguh kekanakan mantan suamiku ini.Peceraian kami sudah resmi secara agama dan negara. Ya walaupun secara negara baru seminggu yang lalu.Tung!"Awwww!" Kepalaku terbentur pagar rumah yang tingginya meleb
"Kau, udah tiga bulan kabur, nggak dicari sama keluarga, Rin?" tanyaku penasaran. Selama dia tinggal bersamaku. Sekalipun tak pernah ada keluarga yang datang mencarinya."Kurasa mereka lupa, kalau punya anak perempuan," celetuknya malas.Kasihan juga dia. Sudah jelas-jelas minggat, bukannya dicari, eh malah di biarkan."Mungkin juga! Anak macam kau, untuk apa dipelihara. Yang ada cuma ngabisin duit,""Memang, kau ini. Nggak ada prihatinnya sama aku!""Hahahah, malas aku prihatin samamu!""Sukamulah, Markonah! Oh, ya. Kau nggak cemburu mantanmu udah menikah lagi?" tanya Karin serius. Masih penasaran aja dia sama kehidupan masa laluku. Atau, temanku ini hanya ingin mengejek saja?"Ya enggaklah. Ngapain juga cemburu. Saat aku memutuskan untuk berpisah, berarti aku harus udah siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk melihatnya menikah lagi," jawabku santai. Untuk apa cemburu, macam hanya dia saja lelaki di dunia ini."Tapi, aneh aja, gitu ya. Masa dia tinggal di samping rumahmu! Apa se
"Halah! Kalian berdua itu, sama aja! Yang satu janda gatel, yang satu perawan tua! Uppss, gadis tua bukan perawan maksudnya!" ucapnya sambil menutup mulutnya dengan tangan. Aku yakin dia sengaja mengatakannya. "Apa kau bilang?" teriak Karin marah lalu maju kedepan menghadap wanita itu dan langsung menjambak rambutnya kasar."Awwwww. Sakittt!" teriak wanita itu kesakitan. Tangannya mencoba melepaskan cengkraman di kepalanya.Tidak hanya tangan yang bermain, kaki Karin juga menendang-nendang kaki lawannya tersebut.Aku masih berdiri menonton mereka, tanpa berusaha melerainya.Biar tahu rasa wanita itu dibuat Karin. Para tetangga yang mendengar keributan, langsung datang berbondong-bondong. Mereka juga tidak ada yang mau melerainya.Jarang-jarang dapat tontonan gratis seperti ini."Hajar ...!""Jambak!""Cakar!""Sikat!""Ramas itu, muncungnya!" teriak para tetangga menyoraki bergantian."Huhuhuhuuu... Sakit! Lepaskan, sial4n!" teriak wanita tersebut meronta-ronta."Rasakan! Kau bilang