RISA mengeluarkan ponselnya yang kehabisan daya sejak kemarin dan mulai mengisi dayanya. Dia sengaja melakukannya, membiarkan ponselnya kehabisan baterai dan membuat Alan bertanya-tanya akan keberadaannya. Dia ingin Alan memperhatikannya, dia ingin Alan mengkhawatirkannya, syukur-syukur pria itu akan datang ke tempatnya.
Namun, semua harapannya pupus begitu ponsel menyala dan tak menemukan satu pun pesan atau panggilan dari Alan. Pria itu seperti mengabaikannya dan menganggapnya benar-benar tak lagi ada di dunia.
Lalu, untuk apa dia tetap bertahan dengan hubungan aneh ini?
Risa mencari kontak Alan, lalu menghubunginya tanpa pikir panjang. Namun, Alan sama sekali tak menjawab panggilannya. Nomornya aktif, tapi teleponnya tak diangkat. Padahal sebagai seorang direktur utama di perusahaan yang dipimpin olehnya, Alan tidak pernah bisa lepas begitu saja dari ponsel apalagi telepon dari siapa pun.
ALVA kembali ke kos-kosan Risa setelah ia pulang untuk mengganti pakaian juga membelikan beberapa buah segar. Dia membeli cukup banyak buah, karena ia yakin, Risa akan kembali memakan mie instan simpanannya ketika dia kelaparan saat malam. Sesuatu yang sukses membuat Alva merasa tidak tenang setiap kali membayangkan hal itu dilakukan oleh Risa di balik punggungnya.Bagaimana mungkin dia bisa tenang, ketika Risa terus mengonsumsi makanan tidak sehat itu saat dia sedang mengandung anaknya?Walaupun itu belum pasti. Namun, dia sangat mengharapkan Risa benar-benar sedang hamil dan meninggalkan Alan secara paksa, lalu menikah dengannya. Ide yang sangat buruk. Namun, itu adalah salah satu opsi yang bisa dia harapkan selain menyentuh hati Risa secara perlahan-lahan.Alva sudah mengetuk pintu kamar kos Risa berulang kali, tapi tak ada tanggapan sama sekali. Dia masih menunggu di depan pintu kamar dengan sebuah harapan, bahwa Risa tidak sedang pergi."Risa!" pangg
ALVA tidak tahu harus memulai percakapan ini dari mana, tapi dirinya sangat penasaran dengan alasan yang telah membuat Risa menangis setengah jam di kamar mandi kos-kosannya. Pria itu masih membawa mobilnya melaju hingga hampir mencapai perbatasan kota. Kepalanya sesekali melirik Risa yang masih terdiam dengan tatapan hampa terarah ke luar jendela. Bahkan, saat Alva memutar mobilnya dan kembali ke tempat semula. Risa tak berkata apa-apa, seperti dia tidak menyadari ... atau dia memang tidak melihatnya. Alva menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya perlahan. Tangannya terulur menyentuh puncak kepala Risa yang sontak membuat perempuan itu menoleh ke arahnya. Dia membelai puncak rambut Risa dengan lembut sambil menatap jalan raya dan sedikit mengurangi kecepatan mobilnya. Pria itu menoleh, lalu tersenyum tipis. "Lo mau ke mana?" "Hm ...." Risa menggeleng pelan. "Gue nggak tahu. G
"GUE beneran udah jatuh cinta sama dia, Va."Sekali lagi tamparan itu diberikan Risa padanya untuk memperjelas status di antara mereka. Penolakan tegas dan teramat jelas, jika takkan ada apa pun di antara mereka ke depannya. Alva tersenyum miring setelah dirinya terdiam cukup lama.Ditatapnya Risa dengan tatapan penuh makna. "Kenapa lo bisa mikir, kalau lo udah jatuh cinta sama dia?" tanyanya. Nada suaranya begitu tenang, layaknya air mengalir yang menghanyutkan. Alva melepas peluk di antara mereka dengan perlahan."Karena ...," Risa terdiam, dengan susah payah dia mengatakan kelanjutan kalimatnya, "gue ngerasa sakit hati waktu ngirim pesan buat minta putus ke dia tadi.""Apa itu cukup buat buktiin lo udah jatuh cinta sama dia?" tanya Alva sekali lagi. Dicengkeramnya bahu kiri dan kanan Risa dengan lembut sambil menatap lurus di kedua bola matanya. "Semua itu bukan bukti kalau lo udah jatuh cinta sama dia.
"CUMA perasaan gue doang, apa emang muka lo kelihatan jelek banget hari ini?" tanya Alva begitu dia melihat Ralf yang baru datang dan terlihat begitu mengenaskan.Tubuh Ralf terlihat lesu layaknya tak berdaya. Langkah kakinya bahkan agak sedikit sempoyongan. Dan jangan lupakan, kantung hitam di bawah matanya yang kini terlihat begitu mencolok dari penampilannya.Alva mengernyitkan dahi, menatap Ralf dengan wajah serius sebelum bertanya, "Lo nggak lagi abis diputusin sama Sienna semalam, kan?"Ralf langsung mendelik dengan mata nyaris melompat keluar dari matanya. "Lo jangan ngomong yang enggak-enggak. Gue sobek mulut lo yang lemes itu, tahu rasa!""Terus, ngapain aja lo semalaman sampai nggak tidur dan jadi zombie berjalan kayak gini?" Alva mengerling dengan tatapan tidak percaya. "Nggak mungkin, kan, kalau lo tiba-tiba aja ke kelab malam terus lepas perjaka sama salah satu cewek yang ada
"LO mau ngomong soal apa?" tanya Risa begitu waktu sudah memasuki jam istirahat dan Ralf datang menghampirinya.Perempuan itu memasang senyuman seperti tak pernah terjadi apa-apa, tapi sedikit kantung hitam di bawah mata dan warna mata yang agak kemerahan membuktikan jika Risa telah menangis semalam. Walau entah apa yang terjadi kemudian hingga membuatnya terlihat begitu tenang dan tampak baik-baik saja sekarang."Lo baik-baik aja, kan?" tanya Ralf dengan nada tenangnya.Tak ada niat membela siapa pun, tidak ada niat untuk membantu siapa pun, dia hanya ingin memastikan jika tidak terjadi apa pun dengan Risa dan ia memang sedang baik-baik saja."Lo bisa lihat sendiri kalau gue baik-baik aja, bahkan mungkin lebih baik dari sebelumnya, kan?" Risa masih tersenyum, senyuman yang terlihat tulus hingga mencapai kedua bola matanya."Gue mau nanya apa aja yang terjadi sama kalian b
ALVA tidak tahu apa yang hilang atau kembali dari diri Risa yang sekarang. Karena menurutnya, Risa masih terlihat sama saja dengan Risa yang dikenalnya sebelum ini. Kecuali, mungkin, aura yang menguar di sekeliling tubuhnya terlihat agak berbeda.Risa sekarang lebih terlihat begitu memikat dan teramat mempesona. Alva tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta dan menginginkan Risa dalam dekapan tubuhnya. Alva ingin membagi suhu tubuh dalam dinginnya malam bersama, tak lupa memuja seluruh inci tubuh perempuan itu dengan perasaan bangga luar biasa.Namun, dia sadar sepenuhnya kalau sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk meminta hal seperti itu dari perempuan itu. Terutama, setelah apa yang baru saja dialami oleh Risa tiga hari lalu.Alva tahu batas untuk tidak mengganggu ketenangan yang kini dibangun dengan susah payah oleh Risa. Jadi, Alva tidak akan mengganggunya, tapi bukan berarti dia hanya terdia
RISA memegangi lengan kirinya dengan perasaan gelisah. Tatapannya terus berubah-ubah, menatap satu arah lalu arah lainnya secara bergantian. Bahkan semenjak Alva membukakan pintu untuknya, perempuan itu sudah tidak bisa menyembunyikan rasa tidak nyaman yang menggerogoti dadanya secara perlahan.Padahal, dia datang kali ini bukan karena ingin lepas perawan. Dia sudah tidak perawan sejak minggu lalu dan pria itu pula yang mengambil kesuciannya itu.Risa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Tepat saat itu Alva menyentuh bahunya dan menggiringnya untuk lantas duduk di sofa yang ada di ruang utama."Nggak usah tegang kayak gitu juga kali, Sa. Sini makan dulu! Gue baru pesan seafood khusus buat makan malam kita hari ini."Risa menelan ludah susah payah. Ditatapnya Alva dengan dahi mengernyit penuh tanya. Bukannya mereka akan melakukannya? Kenapa Alva malah menyuruhnya makan? Apa ini tipe
ALVA terpaksa mengiyakan dan berhenti mengusik Risa lagi. Pendapat seseorang memang tidak bisa dipaksakan, tidak bisa langsung diubah begitu saja, terlebih jika orang itu sejatinya sangat keras kepala seperti perempuan dalam dekapannya."Oke, gue ngerti." Alva mengeratkan pelukannya sembari menciumi setiap sisi wajah Risa dan sesekali mengerang pelan di dekat telinganya. "Kalau menurut lo semua rasa ini cuma euforia aja, gue pasti bakal ngerasa bosan suatu hari nanti, kan?"Risa mengangguk pelan. Dia menatap Alva dengan tatapan tak mengerti. Terutama saat pria itu kembali mencium bibirnya, memagutnya dengan pelan, sebelum ciumannya turun ke leher dan mulai memberikan sebuah gigitan di sana.Risa mengerjap, dia langsung mendorong Alva menjauh dan menatapnya tajam. Tidak, dia tidak akan membiarkan Alva meninggalkan tanda apa pun di lehernya mulai sekarang."Kenapa?" protes Alva tampak tak te