"GUE beneran udah jatuh cinta sama dia, Va."
Sekali lagi tamparan itu diberikan Risa padanya untuk memperjelas status di antara mereka. Penolakan tegas dan teramat jelas, jika takkan ada apa pun di antara mereka ke depannya. Alva tersenyum miring setelah dirinya terdiam cukup lama.
Ditatapnya Risa dengan tatapan penuh makna. "Kenapa lo bisa mikir, kalau lo udah jatuh cinta sama dia?" tanyanya. Nada suaranya begitu tenang, layaknya air mengalir yang menghanyutkan. Alva melepas peluk di antara mereka dengan perlahan.
"Karena ...," Risa terdiam, dengan susah payah dia mengatakan kelanjutan kalimatnya, "gue ngerasa sakit hati waktu ngirim pesan buat minta putus ke dia tadi."
"Apa itu cukup buat buktiin lo udah jatuh cinta sama dia?" tanya Alva sekali lagi. Dicengkeramnya bahu kiri dan kanan Risa dengan lembut sambil menatap lurus di kedua bola matanya. "Semua itu bukan bukti kalau lo udah jatuh cinta sama dia.
"CUMA perasaan gue doang, apa emang muka lo kelihatan jelek banget hari ini?" tanya Alva begitu dia melihat Ralf yang baru datang dan terlihat begitu mengenaskan.Tubuh Ralf terlihat lesu layaknya tak berdaya. Langkah kakinya bahkan agak sedikit sempoyongan. Dan jangan lupakan, kantung hitam di bawah matanya yang kini terlihat begitu mencolok dari penampilannya.Alva mengernyitkan dahi, menatap Ralf dengan wajah serius sebelum bertanya, "Lo nggak lagi abis diputusin sama Sienna semalam, kan?"Ralf langsung mendelik dengan mata nyaris melompat keluar dari matanya. "Lo jangan ngomong yang enggak-enggak. Gue sobek mulut lo yang lemes itu, tahu rasa!""Terus, ngapain aja lo semalaman sampai nggak tidur dan jadi zombie berjalan kayak gini?" Alva mengerling dengan tatapan tidak percaya. "Nggak mungkin, kan, kalau lo tiba-tiba aja ke kelab malam terus lepas perjaka sama salah satu cewek yang ada
"LO mau ngomong soal apa?" tanya Risa begitu waktu sudah memasuki jam istirahat dan Ralf datang menghampirinya.Perempuan itu memasang senyuman seperti tak pernah terjadi apa-apa, tapi sedikit kantung hitam di bawah mata dan warna mata yang agak kemerahan membuktikan jika Risa telah menangis semalam. Walau entah apa yang terjadi kemudian hingga membuatnya terlihat begitu tenang dan tampak baik-baik saja sekarang."Lo baik-baik aja, kan?" tanya Ralf dengan nada tenangnya.Tak ada niat membela siapa pun, tidak ada niat untuk membantu siapa pun, dia hanya ingin memastikan jika tidak terjadi apa pun dengan Risa dan ia memang sedang baik-baik saja."Lo bisa lihat sendiri kalau gue baik-baik aja, bahkan mungkin lebih baik dari sebelumnya, kan?" Risa masih tersenyum, senyuman yang terlihat tulus hingga mencapai kedua bola matanya."Gue mau nanya apa aja yang terjadi sama kalian b
ALVA tidak tahu apa yang hilang atau kembali dari diri Risa yang sekarang. Karena menurutnya, Risa masih terlihat sama saja dengan Risa yang dikenalnya sebelum ini. Kecuali, mungkin, aura yang menguar di sekeliling tubuhnya terlihat agak berbeda.Risa sekarang lebih terlihat begitu memikat dan teramat mempesona. Alva tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta dan menginginkan Risa dalam dekapan tubuhnya. Alva ingin membagi suhu tubuh dalam dinginnya malam bersama, tak lupa memuja seluruh inci tubuh perempuan itu dengan perasaan bangga luar biasa.Namun, dia sadar sepenuhnya kalau sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk meminta hal seperti itu dari perempuan itu. Terutama, setelah apa yang baru saja dialami oleh Risa tiga hari lalu.Alva tahu batas untuk tidak mengganggu ketenangan yang kini dibangun dengan susah payah oleh Risa. Jadi, Alva tidak akan mengganggunya, tapi bukan berarti dia hanya terdia
RISA memegangi lengan kirinya dengan perasaan gelisah. Tatapannya terus berubah-ubah, menatap satu arah lalu arah lainnya secara bergantian. Bahkan semenjak Alva membukakan pintu untuknya, perempuan itu sudah tidak bisa menyembunyikan rasa tidak nyaman yang menggerogoti dadanya secara perlahan.Padahal, dia datang kali ini bukan karena ingin lepas perawan. Dia sudah tidak perawan sejak minggu lalu dan pria itu pula yang mengambil kesuciannya itu.Risa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Tepat saat itu Alva menyentuh bahunya dan menggiringnya untuk lantas duduk di sofa yang ada di ruang utama."Nggak usah tegang kayak gitu juga kali, Sa. Sini makan dulu! Gue baru pesan seafood khusus buat makan malam kita hari ini."Risa menelan ludah susah payah. Ditatapnya Alva dengan dahi mengernyit penuh tanya. Bukannya mereka akan melakukannya? Kenapa Alva malah menyuruhnya makan? Apa ini tipe
ALVA terpaksa mengiyakan dan berhenti mengusik Risa lagi. Pendapat seseorang memang tidak bisa dipaksakan, tidak bisa langsung diubah begitu saja, terlebih jika orang itu sejatinya sangat keras kepala seperti perempuan dalam dekapannya."Oke, gue ngerti." Alva mengeratkan pelukannya sembari menciumi setiap sisi wajah Risa dan sesekali mengerang pelan di dekat telinganya. "Kalau menurut lo semua rasa ini cuma euforia aja, gue pasti bakal ngerasa bosan suatu hari nanti, kan?"Risa mengangguk pelan. Dia menatap Alva dengan tatapan tak mengerti. Terutama saat pria itu kembali mencium bibirnya, memagutnya dengan pelan, sebelum ciumannya turun ke leher dan mulai memberikan sebuah gigitan di sana.Risa mengerjap, dia langsung mendorong Alva menjauh dan menatapnya tajam. Tidak, dia tidak akan membiarkan Alva meninggalkan tanda apa pun di lehernya mulai sekarang."Kenapa?" protes Alva tampak tak te
RISA mulai menanyakan kembali keputusan yang ia ambil minggu lalu. Apakah langkah yang diambilnya benar? Apakah dengan membiarkan dirinya menjadi wanita murahan yang tubuhnya rela dinikmati setiap malam memang tindakan yang tepat untuk membuat Alva lekas bosan padanya?Sepertinya ... tidak. Bahkan sebaliknya, Alva kian bernafsu dan makin bersemangat begitu tahu Risa lagi dan lagi akan menginap di tempatnya.Baru seminggu ... kenapa gue udah mulai ngerasa ragu? Dilihatnya Alva yang bekerja dengan serius di balik meja kerjanya. Di sisi lainnya ada Ralf yang diam-diam menatapnya penuh tanya.Risa mengulum senyum, menggeleng pelan, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Baru seminggu ... sebulan lagi dia pasti udah bosan sama gue. Tenang, Sa, dia nggak mungkin suka sama lo, dia cuma berambisi buat dapatin lo. Itu semua hanyalah obsesi gila dia yang ditambah dengan euforia, dan semua itu bukanlah c
RISA sedang berpikir. Apakah tidak apa-apa jika malam ini ia tidur di sini? Mengingat, sekarang dia sedang berpura-pura mendapat tamu bulanan. Bagaimana kalau Alva tiba-tiba saja ingin memeriksanya secara langsung, karena dia tidak percaya pada Risa?Risa bergidik ngeri membayangkan pemikirannya sendiri. Perempuan itu baru saja berbaring saat Alva keluar dari kamar mandi hanya menggunakan celana pendek sampai lutut. Pria itu bertelanjang dada dengan santainya, sedang di tangan kirinya sebuah handuk putih yang sedang digunakan untuk mengusap rambutnya yang basah."Va?" panggilnya terdengar ketakutan saat Alva melemparkan handuk kecil itu ke keranjang pakaian kotor, lalu bergabung dengannya di atas ranjang."Hm? Kenapa?"Risa melirik perut Alva yang entah kenapa terlihat menggoda. Dia merasa ingin menyentuhnya, tapi gelengan cepat dia lakukan untuk kembali menyadarkan dirinya.
MALAM itu, kepala Risa terasa begitu penuh. Pertanyaan demi pertanyaan menghantui isi pikiran, tapi tak ada satu pun tanya yang keluar dari bibirnya. Dia hanya diam saja dan mencoba untuk memejamkan mata. Tepat di sebelahnya, Alva terus memandanginya. Pria itu mengamati Risa, sejak Risa sedang mengobati bekas luka di wajahnya."Kalau lo mau ngomong sesuatu, ngomong aja, jangan hanya diem aja kayak gini," kata Alva sembari mengulurkan tangan, menyentuh pipi Risa yang terpaksa kembali membuka mata dan menatap pria di sebelahnya tanpa ekspresi. "Sa, kalau lo ngerasa nggak ngerti, lo bisa nanya ke gue."Risa hanya tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Itu semua nggak perlu, Va. Kalau gue emang mau tahu, bukan lo orang yang tepat buat gue tanyain soal itu."Alva membungkam bibirnya rapat-rapat. Risa benar, jika dia ingin mengetahui sesuatu, maka dia harus membicarakan masalah itu dengan Alan, bu