"Tapi, Pak…" Lia berusaha menghentikan laju roda kursinya. Dia tak mau tinggal di rumah Revan. Bagaimana jika suatu saat orang tuanya datang lagi? Atau mungkin yang lebih parah, istrinya datang? Ah! Membayangkannya saja, kaki Lia langsung terasa lemas dan perutnya seperti diaduk-aduk, rasanya mual dan ingin muntah. "Saya nggak bisa! Tolong jangan paksa Saya!" Pekik Lia. Revan terdiam, dia langsung menghentikan langkah kakinya. "Tolong jangan buat aku makin stres! Gara-gara tingkah konyol mu kemarin, aku jadi stres dan membuat diriku sendiri sakit! Aku mau sendiri! Aku butuh istirahat!" Bentak Lia, kesal. "Maafkan sikapku kemarin, Lia. Aku tau aku salah karena kekanak-kanakan," sesal Revan. Lia hanya menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan keras. Saat melihat Anita dan Tristan dari kejauhan, Lia merasa lega. Buru-buru dia memanggil sahabatnya. "Anita!" Lia berusaha bangun dari duduknya. "Lho, Lia? kamu sudah boleh pulang?" Anita langsung mendekat dan memegangi tang
"Lia, makan dulu, yuk." Anita berusaha membangunkan Lia yang masih tertidur."Bubur ayamnya sudah datang, mumpung masih anget loh," lanjut Anita."Hmm, aku malas makan, Nit," jawab Lia dengan malas. Dia hanya ingin tidur dan beristirahat."Makan dulu lah, dari pagi belum makan loh, ntar nggak sembuh-sembuh.""Biar lah, nggak sembuh juga nggak apa-apa, biar bisa ketemu Ibu…" desis Lia. Entah bisikan apa yang merasuki Lia sehingga dia bicara ngelantur seperti itu. Lia terlihat lesu dan tak punya semangat."Amalia Hapsari!" teriak Anita marah. "Jaga bicaramu ya! kamu mau aku pukul pakai sapu! cepat bangun dan makan!"Anita menarik tangan Lia dengan keras dan membuat Lia dengan terpaksa terbangun dari tidurannya."Buka mulutmu!" titah Anita sambil menyuapkan sesendok bubur ke mulut Lia.Dengan malas, Lia membuka mulutnya dan menelan bubur yang disuapkan Anita."Sudah, Nit," Lia berusaha menepis suapan ke dua, namun Anita tak menggubrisnya. Dia tetap memaksakan sendok berisi bubur itu agar
"Lia…" Revan mengetuk pintu rumah Lia. "Baru jam delapan malam, apa mungkin dia sudah tidur?" ucap Revan bermonolog ketika pintu yang dia ketuk tak kunjung dibuka. Namun tak lama kemudian, pintu rumah Lia pun dibuka, dan muncullah Lia yang hanya mengenakan gaun tidur yang dipadukan dengan sweater. "Ada apa Pak Revan ke sini?" tanya Lia kebingungan. "Saya tadi telepon Anita, katanya dia nggak nginep di sini. Jadi kamu sendirian?" Revan masih berdiri di ambang pintu, dia tak berani masuk mengingat waktu sudah malam dan Lia tinggal di rumah ini sendirian. Revan takut jika warga sekitar tak suka dan membuat Lia kesusahan nantinya. "Iya, Saya yang suruh dia pulang buat istirahat." Lia menarik sweater nya agar menutupi bagian dadanya yang sedikit terbuka. Apalagi Lia sudah melepas bra nya tadi, karena memang Lia tak pernah tidur menggunakan bra. "Tapi kamu kan masih sakit, kalau ada apa-apa tengah malam bagaimana?" Omel Revan. "Aku sudah sembuh kok, lihat jalan ku sudah nggak bungkuk
Lia terbangun saat cahaya matahari menusuk kelopak matanya yang masih terpejam. Dengan senyum cerah, Lia merenggangkan tangannya, mengendurkan otot-ototnya yang kaku.Dia merasa sangat segar pagi ini. Perutnya tak terasa sakit, tidurnya pun nyenyak tak seperti biasanya yang sering terbangun di malam hari."Kenapa ya? bisa nyenyak sekali tidurku? mungkin karena kasurnya empuk?" gumam Lia bermonolog.Lia melihat sekitarnya, dia tidak melihat Revan, di mana kekasihnya yang bawel itu? Byur!Lia terdiam saat mendengar suara berisik air dari luar, dengan segera dia beranjak dan tak lupa menyambar sweaternya, kemudian berjalan keluar dari kamar mewah itu.Saat sudah sampai di luar kamar, Lia langsung tahu asal suara berisik barusan, ternyata Revan sedang asyik berenang di kolam renang yang berada tepat di depan kamar yang dia tempati semalam. .Revan menghentikan aktivitasnya saat melihat Lia sedang berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan dirinya. Dia tersenyum lalu berenang ke arah si
Lia menuju kamarnya dan mengambil tas jinjing yang semalam di bawa Revan. Dia mulai mencari-cari baju apa yang bisa dia pakai untuk berenang.Ya, Lia sebenarnya sangat ingin berenang tapi dia malu pada Revan."Berenang nggak ya?" gumamnya sambil memandangi kaos ketat tak berlengan yang dia temukan di dalam tas nya. Kriing! Lia terkejut karena tiba-tiba teleponnya berdering. Buru-buru dia mencari asal suara itu dan akhirnya menemukannya di meja bulat yang ada di tengah kamarnya. "Anita?" Lirih Lia saat membaca nama sahabatnya muncul di layar ponselnya. "Halo?""Halo! Kamu di mana, Lia!" Seru Anita dari seberang. "Aku… aku… di…" Lia terbata, dia bingung harus menjawab apa. "Aku di rumah kamu, dan pintunya terkunci. Kamu ada di mana? Jangan bilang kamu tidur di rumah Pak Revan!""Ee.. ini, di… villa…""Amalia!" Teriak Anita setengah emosi. "Kamu nggak dengerin ucapanku!" sambungnya kesal. "Soalnya semalam…""Di apain kamu sama dia! Kamu nggak macam-macam, kan? Kalian nggak tidur
"Pagi…"Lia menoleh untuk melihat siapa yang menyapanya pagi-pagi. "Pak Tristan," Lia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Sebenarnya Lia merasa malu bertemu Tristan, karena Tristan sudah mengetahui hubungannya dengan Revan dan Tristan pun mengetahui status Revan. Tristan berjalan persis di sebelah Lia. Mereka hanya diam sambil berjalan melewati lorong panjang yang menghubungkan area parkir dan ruang perkantoran. "Mmm… kamu sudah baikan?" Tanya Tristan, dia berusaha menghilangkan aura canggung di antara mereka berdua. "Sudah, Pak. Terima kasih atas bantuannya kemarin," jawab Lia sopan. Dia masih menunduk dan tak berani menatap mata Tristan. "Mmm… Saya… Kamu tidak usah khawatir. Saya bukan orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain…" Tristan menatap Lia, menunggu reaksinya. Namun Lia masih menunduk dan tak mau menatapnya. "Saya cuma terkejut," Tristan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Revan yang Saya kenal berbeda sekali dengan Revan yang sekaran
Lia meregangkan otot-otot nya yang sedikit kaku. Sedari pagi, dia sudah berjibaku dengan pekerjaan yang menggunung karena dia bolos bekerja kemarin. Novi bilang, pekerjaannya bertambah banyak karena Lia tak masuk, namun kenyataannya tak ada satupun tugas-tugas Lia yang diselesaikan oleh Novi. Semuanya masih sama seperti saat Lia tinggalkan kemarin. Lia sadar betul, dan dia tak menyalahkan Novi. Karena Novi memang tak bisa diberi tanggung jawab. Lia bangkit dari duduknya, hendak menuju pantry untuk membuat kopi. Dia butuh asupan semangat dari wangi kopi. "Mau ke mana?" Tanya Novi ketus. "Pantry, kenapa?""Kirain mau pacaran!" Jawab Novi sambil mencibir. Lia mengerutkan alisnya sambil menggeleng pelan. Tak berniat melanjutkan perdebatan, Lia memilih segera pergi untuk membuat kopi. "Eh, Lia. Mau kemana?""Pak Tristan? Dari mana?" Bukannya menjawab pertanyaan Tristan, Lia malah balik bertanya. "Hmmm.. Ditanya, malah balik nanya!"Lia tersenyum di kulum, "Saya mau ke pantry, bikin
"Revan, sayang!"Revan, Tristan dan Lia, sontak menoleh saat mendengar suara merdu seorang wanita memanggil Revan. "Asti… " Gumam Revan yang tampak terkejut. Lia tersentak saat mendengar ucapan Revan. Jantungnya berdebar kencang saat menatap wanita yang sedang berjalan perlahan ke arahnya. Asti benar-benar sangat cantik, kulitnya putih seperti susu, wajahnya mulus dan glowing seperti artis-artis korea. Bukan hanya kulit wajahnya yang menawan, hidungnya pun menjulang sempurna dan bibirnya penuh berisi dan sangat seksi. Dan dari seluruh kesempurnaan itu, tubuh langsingnya yang bagaikan gitar spanyol melengkapi semuanya. Dengan rambut lurus selembut sutra sepanjang baju, dan dada serta pantat yang menonjol sempurna, bagaimana mungkin Revan tidak mencintainya? Seketika Lia merasa insecure, dia jika dibandingkan Asti -istri Revan- bagaikan langit dan bumi. Bagaikan burung merak dan burung gagak. Lia sungguh tak bisa dibandingkan dengan Asti, sudah pasti kalah telak! "Hai… perkenalka