Sungguh hari yang melelahkan, padahal ini masih pagi. Sungguh tak pernah Siera bayangkan bahwa ia akan sejauh ini.
Perempuan dengan jaket membalut tubuh itu turun dari taksi. Menatapi kediaman Mike dan Ana, hatinya berdenyut nyeri.
Hari pengakuan. Hari penghakiman itu datang juga. Pagi ini juga, Siera akan menceritakan semuanya pada sang mertua. Pernikahan pura-pura, hubungan Dean dan Nara dan rencananya untuk menggugat cerai si suami.
Semuanya. Semuanya akan Siera ceritakan. Ia lelah. Ia sudah tak sanggup menghadapi segala keras kepala Dean.
Benar kata orang bijak. Mencoba untuk mengubah orang yang tidak ingin berubah adalah pekerjaan sia-sia. Siera terlalu jumawa hingga menganggap dirinya mampu melakukan itu.
Siera akan melewati pagar rumah yang sudah dibukakan seorang satpam, tetapi tangannya lebih dulu diraih.
"Pikirkan lagi, Siera. Ayah saya bisa meninggal jika kamu membongkar semua." Dean kehilangan
Setelah menikah. Apa yang akan terjadi?Bagi pasangan yang saling mencintai, mungkin akan menjadi fase penuh kebahagiaan. Pagi, siang, malam, hidup dilalui bersama orang yang dicintai. Setiap hari penuh hal baru, harapan baru.Bagi mereka yang menikah tanpa cinta, mungkin bisa mencoba saling mengerti. Lama-lama, bukan tidak mungkin cinta akan datang. Sepeti yang biasa ada di drama TV.Bagi Seira, setelah menikah, maka perceraian adalah tahap selanjutnya. Meski tak pernah punya niat melakukan itu, di titik ini, Siera mantap menggaungkan perpisahan.Ana dan Mike masih tidak setuju. Dua orang itu tegas menolak, getol membujuk. Dean, apa yang bisa diharapkan? Pria itu jelas tak menginginkan pernikahan ini jika bukan karena orang tuanya. Dan Siera sendiri? Walau ia yang menginginkan, tetap saja rencana perpisahan membuat hati tak baik.Sore ini, mencari angin, perempuan itu berjalan-jelan di sekitar kompleks perumahan. Wala
Gugatan sudah dibuat. Sidang pertama akan digelar minggu depan. Hari ini, Siera tengah berkemas.Perempuan itu memutuskan untuk pindah dari rumah Dean. Semua pakaian sudah dipindah ke koper yang kecil. Barang miliknya tidak ada lagi yang menghuni sudut rumah. Siera hendak pamit ketika menemukan si suami ada di ruang tamu. Duduk dengan tangan terlipat di dada."Awas kesurupan, Paksu." Ia berusaha mencarikan suasana. "Aku pamit." Ia menepuk koper hitam di samping.Dean hanya menatapi, tak berniat buka suara. Ia habis kata. Seperti kata Siera, sudah tidak ada lagi yang bisa dijadikan alasan untuk mereka bersama."Makan malam udah aku siapkan, ya. Kalau nanti dingin, panaskan aja." Berat sekali rasanya kaki Siera melangkah. Di saat seperti ini, ia malah jadi sangat ingin memeluk Dean.Lama disahut, Siera memaksa kakinya bergerak. Baru saja berbalik, suara Dean akhirnya terdengar."Sudah sore. Apa tidak bisa pe
Kaki Siera berayun riang menyusuri jalan menuju salah satu rumah di kompleks elit itu. Saat mata sudah bisa menangkap julangan pagar berwarna emas itu, bibir membentuk kurva sempurna.Sebulan. Tiga puluh hari. Rasanya rindu sekali. Siera sudah tak sabra bersua Ana dan Mike. Sore ini, sepulang bekerja, dengan buah tangan, ia mengunjungi orang tua yang sudah sangat dirindukan itu."Maa!"Dibukakan pagar, melempar senyum pada si satpam yang terlihat terkejut, perempuan itu setengah berlari menuju pintu.Bel ia tekan tak sabar. "Pa! Ma!"Saat daun pintu itu ditarik ke dalam, Siera langsung menghambur ke pelukan Ana."Rinduu!" Erat sekali Siera mendekap ibunya Dean itu. Selama ini, setelah resmi berpisah dengan Dean, Siera hanya bertukar kabar lewat telepon atau pesan dengan Mike dan Ana. Sangat bersyukur karena dua orang itu tetap mau menerimanya."Kamu kenapa tidak bilang mau datang? Papa bisa je
"Kak Ciela!"Panggilan manis itu membuat Siera yang semula menunduk, seketika mendongak. Senyum riang ia berikan sebagai balasan pada bocah tiga tahun yang berlari menghampiri."Galen! Jangan lari-lari gitu, ah. Aku takut kamu jatuh." Berpelukan sebentar, Siera mengusap sayang puncak kepala Galen, anaknya Arkan."Kita jadi pelgi, 'kan? Kakak udah janji." Galen memegangi tangan Siera kuat. Menagih janji yang si perempuan buat seminggu lalu. Mereka akan ke pasar malam, tepat setelah Siera selesai bekerja.Yang ditanyai mengangguk pasti. Ia berdiri, berjalan menuju mobil Arkan sambil menggandeng Galen."Kita makan dulu, ya, Gal. Kak Siera kan baru pulang kerja." Arkan yang baru saja melajukan mobil meninggalkan area parkiran mini market mencoba merayu putranya.Galen di pangkuan Siera menggeleng. "Pasal malam ulu." Ia bersandar pada dada Siera. Menikmati benar usapan tangan si perempuan yang tak berhenti di k
"Pelan-pelan, Siera."Tangan Nara yang hendak meraih ponsel di nakas terhenti geraknya. Perempuan yang setengah berbaring itu menoleh pada Dean di sisi kiri ranjang."Tidur di kamar saya, Siera."Wanita dengan gaun tidur berwarna merah itu menganga. Di sana Dean tengah mengigau rupanya. Tentang Siera?"Dean!" Naik pitam, Nara memukulkan bantal pada tubuh Dean. Laki-laki itu tersentak dengan dahi berlipat."Bisa bangunkan orang dengan cara lebih sopan?" Dean menegakkan punggung, mengusap wajah."Apa manggil-manggil nama perempuan lain di ranjang pacar sendiri itu sopan, Dean?"Dean menatap Nara tak paham."Kamu mimpiin Siera barusan? Kamu manggil-manggil nama dia dalam tidur? Kamu mimpi lagi ngapain sama dia?" Nara tak sabar. Mendengar jawaban juga memberi Dean pelajaran.Pelan-pelan ingatan soal mimpi tadi diperoleh Dean. Laki-laki itu mendesah berat. "Bukan apa-apa,"
Suara tawa Siera mengalun merdu. Perempuan dengan blouse krem itu tak kuasa menahan diri kala melihat Arkan tengah berupaya meniru anak burung di hadapannya."Berhenti, Ar. Aku capek." Ia berjongkok di tepi jalan setapak taman. Berusaha menghentikan tawa, tetapi Arkan malah semakin getol menggerakkan tangan, meniru kepakan sayap anak burung.Arkan berhenti, ikut duduk di samping Siera. Ia perhatikan baik-baik wajah cantik yang memerah karena tawa itu. Bodoh sekali Dean melepaskan perempuan sempurna seperti ini, pikirnya."Kamu senang?" tanya Arkan setelah Siera berhenti tertawa.Yang ditanyai mengangguk. Berjalan-jalan di taman. Bermain gelembung sabun, membeli balon dan memecahkannya, ini jalan-jalan paling menyenangkan."Baguslah. Aku juga.""Kamu enggak anggap ini aneh?" Siera meraih daun kuning yang barusa jatuh di rambut Arkan. Perempuan itu terkesiap kala tangannya d
"Kamu lagi marah sama aku, ya?"Dean tak bersuara. Jemarinya menekan remote TV asal."Aku ngerasa gitu. Kamu diam sejak tadi, noleh aja enggak."Menekan tombol merah, lelaki dengan kemeja berwarna abu-abu itu bersedekap, menatapi layar gelap di depan."Dean? Iya, kayaknya kamu lagi marah. Tapi, karena apa?"Siera tampak berpikir. Mencari-cari bagian yang terlewat, alasan mengapa sejak tadi si mantan suami tidak bicara padanya, mengabaikan pertanyaannya dan enggan membalas tatapan.Sejak siang tadi, Siera ada di rumah Mike dan Ana. Menghabiskan waktu liburnya bersama dua orang itu, kebetulan Dean tengah berkunjung.Sebenarnya cukup senang, tetapi si perempuan berusaha terlihat biasa saja. Mencoba tenang, ia malah mendapat sikap aneh dari Dean. Pria itu seolah menghindar dan sejak tadi terus menekuk wajah ke arahnya.Dean bicara pada Ana. Menimpali ucapan Mike, tetapi berpura tak me
Siera terlihat ragu melangkah melewati pagar rumah Dean. Pegangan totebag di bahu ia remas. Haruskah masuk?Sekitar setengah jam tadi, saat dirinya hendak berangkat kerja, Siera mendapat telepon dari Dean. Pria itu tanpa basa-basi mengutarakan maksud.[Saya terluka. Tolong datang ke rumah.]Tanpa pikir panjang, si perempuan mengubah tujuannya. Tidak jadi ke tempat kerja, melainkan ke rumah Dean. Namun, setibanya di sini, ia malah ragu untuk masuk.Gerbang masih tergembok. Siera punya kunci cadangan. Tidak seharusnya datang ke rumah mantan suami yang tinggal sendiri. Namun, Dean sedang terluka.Secepat kilat tangan perempuan itu merogoh tas. Kunci pagar terbuka, langkahnya terburu menuju pintu."Dean!" Seraya berjalan masuk, ia memanggil. Pria itu dia temukan di sofa ruang tamu.Terperanjat, Siera menutup mulut kala mendapati noda merah di bagian depan kemeja biru Dean. Menghampiri, ia merasa m