Terima kasih sudah membaca~ Mohon dukungannya ~
Jevan menyamankan posisi duduk di mobilnya. Ia membuka kotak itu perlahan. ‘Ini barang masa kecil gue ya.’ Batin Jevan menatap mainan mobil – mobillan yang dibelikan sang Ibu saat ia menginjak usia lima tahun. Jevan mengeluarkan berbagai mainan masa kecilnya. Dimulai dari mobil mainan, action figure favoritnya, dan robot yang bisa berubah menjadi mobil. Jevan tersenyum sendu melihat mainan masa kecilnya. Jevan mengambil surat yang terletak di paling dasar kotak itu. Jevan menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan. ia berusaha mengatur detak jantungnya. Sret Halo Jevan, anak kebanggaan Ibu Kalau surat ini ada di kamu dan dibuka olehmu, artinya kamu sudah berhasil menemukan tempat terpencil ini. Jalanannya rusak ya. Kamu pasti kesulitan menghadapi rintangan. Mobilmu tidak apa, kan? Jevan menutup surat dari Ibunya. Ia terkekeh kecil membacanya. “Mobil aku gak apa, Bu,” tanggap Jevan sembari kembali membuka surat dari Ibunya. Sayang… Ibu minta maaf ya sudah meni
Naren membungkuk sopan pada pria di depannya. “Maaf, saya datang terlambat,” kata Naren sopan. “Apa saja yang kamu lakukan dari kemarin?” tanya pria itu dingin. Naren mengangkat kepalanya. “Saya sibuk akan tugas –“ Prang Naren menahan napasnya melihat atasannya melemparkan vas bunga ke lantai hingga pecah. “Kamu! Akhir – akhir ini kerjamu berantakan!” sentak pria itu kesal. Naren menundukkan kepalanya mendengar emosi yang meledak dari atasannya. “Saya memang salah. Tapi, saya sudah mendapatkan rekomendasi tempat untuk makan malam,” kata Naren pelan. “Ambil itu, Na,” perintah Tuan Zarhan pada sekertarisnya yang bernama Naziah. “Baik, Bos,” sahut sekertaris itu sembari mendekati Naren. Naziah memberikan map pada Tuan Zarhan. Sekertaris itu mengambil posisi berdiri di samping atasannya. Tuan Zarhan membaca dengan tenang isi map itu. Pria setengah abad itu tak mau melewati detail yang ada dari masing – masing tempat. “Saya akan kesini dengan keluarga inti,” terang Tuan Zarhan me
Rara meneguk jus tomatnya pelan. Ia dan Jevan sudah selesai makan. Rara melirik Jevan yang mengeluarkan ponselnya. Jevan menunjukkan layar ponselnya pada Rara. “Gue kemarin kesini. Ini tuh tempat loker yang ada maknanya,” cerita Jevan memulai pembicaraan. Rara manggut – manggut mengerti. Ia menatap Jevan yang kembali menarik ponselnya. “Di kertas yang lo kasih ada alamat yang harus gue datengin. Pas gue kesana, gue dikasih tahu sama pemiliknya kalau Nyokap kesana…” Jevan menjeda ucapannya. Rara dengan hati berdebar menunggu kelanjutan cerita Jevan. “Nyokap gue kasih gue kotak. Isinya kaya surat perpisahan…” lanjut Jevan setelah menghela napas. “Nyokap gue juga bilang kalau lo emang gak bisa kasih tahu tentang penyakitnya.” Rara menatap Jevan yang tampak berkaca – kaca. Rara mengeluarkan tisu dari tasnya dan memberikan pada lelaki di depannya. “Gue minta maaf, Ra. Udah emosi dan nyalahin lo atas segalanya,” sesal Jevan menunduk. “Lo gak usah minta maaf, Jev. Gue pun sadar kalau
Jevan membeku mendengar ucapan sang ayah. Ia mengerutkan keningnya. “Ayah tahu kalau Ibu punya penyakit?” tanya Jevan selidik. Ayah Haris tersenyum hangat menatap putranya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. “Kenapa…kenapa Ayah gak bilang ke aku?” tanya Jevan lemah. Ayah Haris menghela napas panjang. Ia menatap bingkai foto yang terletak di atas meja kerjanya. “Awalnya, ayah pun gak tahu, Nak. Ibumu tiba – tiba meminta berpisah rumah…” sahut Ayah Haris menggantungkan ucapannya. “Terus gimana lagi?” tanya Jevan tak sabar. “Ayah menyelidiki ke rumah Ibumu, meski semua pelayan membungkam mulut,” terang Ayah Haris. “Lalu, Ayah bertemu dengan dokter yang menangani Ibumu. Akhirnya, mereka ngaku setelah Ayah paksa.” “Terus Ayah gak berusaha bujuk Ibu?” tanya Jevan berharap. “Ayah berusaha, Jev. Tapi, Ibumu tak mendengar dan selalu menolak,” ungkap Ayah Haris. “Ibu gak benci aku kan?” tanya Jevan. “Tidak, Nak. Dia sangat menyayangi kamu, Ibumu takut kalau kamu tahu tentang penyakitny
Naren masuk dengan perlahan. Di belakangnya, Rara mengikuti dengan menggenggam erat parfum yang berisi bubuk cabai. Rara menutup mulutnya melihat kondisi ruang tamu Panti Asuhan Bahagia. Buku berserakan, vas bunga yang pecah, dan bingkai foto yang retak. “Apa yang terjadi disini?” tanya Rara kaget. Rara memunguti bingkai foto yang retak, ia menatap sendu wajah orang yang ada di foto. “Nona, saya rasa di dalam ada suara yang menangis,” kata Naren menatap langit – langit ruang tamu. Lelaki itu mencari CCTV. “Lo ikut masuk ke dalam?” tanya Rara. Naren mengangguk. Lelaki itu berjalan terlebih dahulu, Rara di belakangnya berlindung. “Saya rasa aman, Non,” kata Naren memperhatikan sekelilingnya. Rara berlari ke taman belakang. Ia mendapati Bu Unike dan Jessica yang menyapu pecahan piring. Resti menenangkan Darel yang menangis keras. “Ibu!” Rara berlari kecil mendekati Bu Unike. Bu Unike menoleh pada Rara, wanita cantik itu tampak terkejut. “Rara..” gumam Bu Unike. “Apa yang terjadi
Rara mendekati Naren yang sibuk dengan ponselnya. Gadis cantik itu menepuk bahu Naren pelan. “Mereka akan datang sebentar lagi,” info Naren melirik Rara. Rara berdiri di sebelah Naren. Ia menatap laki – laki itu dari atas ke bawah, seolah menilainya. ‘Ternyata dia lebih tinggi dibanding Jevan,’ batin Rara. “Ada apa, Non?” tanya Naren tanpa menoleh pada Rara. Rara mengedipkan matanya beberapa kali. Ia mengalihkan pandangannya ke depan. “Nanti mereka akan nanya apa?” tanya Rara mengalihkan pembicaraan. “Itu tergantung mereka. Saya meminta untuk membersihkan keadaan panti,” terang Naren. Beberapa saat kemudian, lima mobil datang. Naren dan Rara menatap mobil itu, mereka otomatis mundur karena mobil itu berhenti di depan keduanya. Seorang wanita dan seorang pria turun dari mobil paling depan. Keduanya mendekati Rara dan Naren. ‘Ngapain sekertaris Tuan Besar disini?’ batin Naren bingung. “Perkenalkan, saya Naziah, sekertaris Tuan Besar,” ucap wanita cantik itu mengulurkan tangann
Naren berjalan dengan cepat tanpa memedulikan Rara yang berusaha menyamakan langkah kakinya. Naren segera mendekati Satria. “Ada apa, Pak?” tanya Naren dengan napas terengah – engah. Satria melirik Rara yang menyusul langkah Naren. Langkah gadis cantik itu terhenti karena Naziah memberikan sebotol air mineral padanya. “Kamu tidak menunggu Nona Rara?” tanya Satria. Naziah dan Rara mendekati Satria dan Naren. Naren melirik Rara, kemudian menatap pria di depannya. “Anda menyuruh saya untuk datang kesini dengan cepat. Jadi, ada apa?” tanya Naren mengabaikan pertanyaan Satria sebelumnya. “Tadi hanya untuk mengetes kegesitan kamu, Naren,” sahut Naziah. “Siapa sangka, kamu malah mengabaikan keselamatan Nona Rara,” timpal Satria. Rara yang tak tahu apapun, memilih berusaha berpikir keras akan ucapan kedua orang dewasa itu. Ia rasa pengawalnya dalam posisi yang tidak menguntungkan. “Tapi, logikanya kalau disuruh cepat datang, orang gak bisa berpikir jernih. Biasanya akan langsung panik
Jarvis mengangakat wajahnya begitu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Laki – laki itu menemukan Sandra yang berdiri tepat di depannya. “Jev,” panggil Sandra lirih. “Naren bareng Rara pas kecelakaan?” Jarvis menatap Sandra sekilas, ia menepuk kursi di sebelahnya, mengkode Rara untuk duduk di sebelahnya. “Mereka mau ke suatu tempat,” duga Jevan. Gadis yang ceria itu mengacak rambutnya asal. “Kemana? Lo tahu?” tanya Sandra. “Gue udah suruh orang baut check. Gue rasa ada yang berniat nyelakai mereka,” ungkap Jevan. Sandra mengerutkan keningnya, ia menoleh pada temannya. Sandra tertawa kecil sebagai tanggapan. “Jangan bercanda, Jev. Mereka masih SMA, kenapa harus ada yang bikin mereka celaka?” tanya Sandra serius. “Mungkin, ada orang yang gak mau mereka ke tempat itu,” celetuk Jevan mengangkat bahunya “Mereka baru 17 tahun, Jev,” sentak Sandra. “Tapi, lo tahu kejamnya dunia bisnis,” kata Jevan. Sandra menyadar di kursi rumah sakit. Ia menghela napas panjang, gadis cantik